TEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA DENGAN JUJUR DAN BENAR

HUKUM ADALAH KUMPULAN PERATURAN-PERATURAN ATAU KAEDAH-KAEDAH DALAM SUATU KEHIDUPAN BERSAMA : KESELURUHAN PERATURAN TENTANG TINGKAH LAKU YANG BERLAKU DALAM SUATU KEHIDUPAN BERSAMA, YANG DAPAT DIPAKSAKAN DENGAN SUATU SANKSI. (Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH)

Sabtu, 12 April 2014

STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN



STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN
Minggu, 23 Oktober 2011



















BAB I
A.              Pendahuluan

Dalam kehidupan manusia perkawinan merupakan suatu peristiwa yang suci dan sangat penting, karena perkawinan tidak hanya menyangkut hubungan antara pribadi calon suami isteri, melainkan menyangkut  antara keluarga dan masyarakat.
Di zaman globalisasi ini, kebutuhan hidup masyarakat sangat meningkat. Kebutuhan yang meningkat ini membawa suatu negara terbuka atau melakukan hubungan internasional dengan negara lain. Adanya hubungan internasional ini telah membantu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Salah satunya adalah perkawinan. Yang lebih dikenal dengan perkawinan campuran.
Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia.[1]
Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis merumuskan masalah untuk mempermudah pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana status hukum kewarganegaraan bagi anak hasil perkawinan campuran?
2.    Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak hasil perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) yang tidak tercatat?

BAB II
PEMBAHASAN

1.         Pengertian Perkawinan Campuran
Jika diperhatikan kata-kata yang dipakai oleh pembuat undang-undang waktu  mengadakan interpretasi otentik mengenai apa yang diartikan dengan istilah perkawinan campuran (gemegde huwelijk), dipergunakan perumusan yang luas: “Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berbeda adalah perkawinan campuran” (huwelijken tusschen personen, die in Indonesie aan een verschillend recht onderwopen zijn, worden gemegde huwelijken genoemd).
Menurut Pasal 1 GHR, perkawinan campuran adalah perkawinan antara ”orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”.
Pasal 1 GHR memberikan penekanan pada verschillend rech onderwopen, yaitu yang takluk pada hukum berlainan. Seperti disebutkan di atas, warisan stelsel hukum kolonial mengakibatkan pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia, antara lain suku bangsa, golongan, penganut-penganut agama, berlaku hukum yang berlainan terutama di lapangan hukum perdata. Hal ini agar dapat memenuhi kebutuhan hukum dari semua golongan yang bersangkutan. Karena faktor perbedaan agama dan kepercayaan masing-masing pihak, tidak mungkin mengadakan hukum yang seragam.
Sementara itu, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan definisi yang sedikit berbeda dengan definisi di atas. Adapun pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan adalah:
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional sebagai berikut:[2]
Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur asing. Unsur asing tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya.

2.         ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM
Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.[3] Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda.
Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.
3.         PENGATURAN MENGENAI ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN
A.     Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan[4], apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal[5]. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).[6] Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya.[7] Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.[8]
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.[9]


B.     Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958
Permasalahan dalam perkawinan campuran
A.       Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:
1.      Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara Indonesia (WNI)
Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa.[10] Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal (faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.
2.      Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)
Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU No.62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati, maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa.[11] Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas. Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor.[12] Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun.  Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.
B.       Anak hasil perkawinan campuran
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :
1.    Menjadi warganegara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anaknya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri) meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.
2.    Menjadi warganegara asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).[13]

C.     Menurut UU Kewarganegaraan Baru
1.             Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal, yaitu sebagai berikut:[14]
1.      Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2.      Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3.      Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4.      Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.[15] Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.[16]
2.             Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.[17]
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.[18] Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.[19]
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal Indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berarti warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya, tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional Indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka.[20] Dalam jurisprudensi Indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.[21]
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum[22] pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

4.         Perlindungan Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Campuran Yang Tidak Tercatat
Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang diberikan oleh Pegawai Pencatatan Sipil. Jika tidak mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim dapat memakai bukti-bukti lain asal saja keadaan yang nampak keluar, menunjukkan adanya hubungan seperti antara anak dengan orang tuanya. Oleh hakim yang menerima gugatan penyangkalan itu, harus ditunjuk seorang wali khusus yang akan mewakili anak yang disangkal itu. Ibu si anak yang disangkal itu, yang tentunya paling banyak mengetahui tentang keadaan mengenai anak itu dan juga paling mempunyai kepentingan, haruslah dipanggil di muka hakim. Anak yang lahir di luar perkawinan, dinamakan “natuurlijk kind”. la dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya.[23]
Masalah anak sah diatur di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pada pasal 42, 43 dan 44.
Pasal 42:
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Pasal 43:
1.      Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2.      Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44:
1.      “Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.”
2.      Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, Undang-Undang Perkawinan di dalam pasal 55 menegaskan:
1.      Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2.      Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3.      atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Di dalam pasal-pasal di atas ada beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah adalah yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan:
1.      Anak sah lahir akibat perkawinan yang sah
2.      Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
Pemberlakuan UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI dan petunjuk pelaksanaannya itu rupanya belum membuat urusan kawin campuran selesai seratus persen. Banyak pasangan yang telah maupun mau melakukan perkawinan campuran masih mengeluhkan kesulitan yang dihadapi di lapangan. Bisa jadi, keengganan pasangan antar negara mendaftar karena sosialisasi kurang, pilihan untuk tidak menjadi WNI, plus prosedur pengurusan yang dirasa panjang, serta menguras tenaga dan uang.
Pemerintah masih memberikan toleransi bagi anak dari hasil perkawinan campuran yang tidak tercatat setelah Undang-Undang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Toleransi diberikan untuk memberikan waktu mencatatkan status kewarganegaraan atau menentukan opsi kewarganegaraan. Batas waktu pendaftaran status kewarganegaraan Indonesia bagi anak-anak hasil perkawinan campuran ke Depkumham adalah 1 Agustus 2010.
Kalau tak sempat daftar, pintu masih terbuka. Sebelum Undang-undang Kewarganegaraan direvisi, anak yang lahir dari istri WNI dan ayah WNA, sebelum umur 18 tahun akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Setelah Undang-Undang Kewarganegaraan 2006 berlaku, anak-anak yang lahir dari hasil perkawinan antar negara itu dapat memiliki kewarganegaraan ganda terbatas. Aturan itu dilengkapi dengan Peraturan Menteri (Permen) nomor M.01-HL.03.01 yang terbit pada 2006. Permenkumham tadi masih diperjelas pula lewat Surat Edaran Menkumham No.M.09-IZ.03.01 tentang fasilitas Keimigrasian bagi Anak Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas yang lahir sebelum 2006.
Apabila, sampai tenggat waktu 1 Agustus 2010 anak-anak hasil perkawinan campuran ini tidak didaftarkan ke Depkumham, maka mereka akan kehilangan hak menjadi WNI sebagai suatu konsekuensi. Mereka akan diperlakukan sebagai WNA yang izin tinggalnya memakai KITAS dan masuk ke Indonesia memakai Visa.
Seandainya, ibu-ibu tidak mendaftarkan anaknya jadi WNI sampai 2010, maka anaknya akan tetap meneruskan perpanjangan KITAS atau KITAP. Posesnya pakai re-entry permit, buku biru, sama seperti bapaknya. Selama anak tersebut berstatus WNA, ia tidak masuk yurisdiksi Indonesia. Jadi kalau anaknya di luar negeri, tidak bisa masuk KBRI untuk minta perlindungan.



BAB III
PENUTUP

1.        Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan yang ada pada bab II diaatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan status hukum kewarganegaraan hasil perkawinan campuran dan juga tata cara pendaftaran kewarganegaraan ganda bagi anak hasil perkawinan campuran, yaitu :
a.         Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena Undang-Undang baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.
b.        Tata cara pendaftaran kewarganegaraan ganda bagi anak hasil prkawinan campuran diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.
2.        Saran
Perkawianan campuran sudah jadi hal yang wajar di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah diharap dapat menerapkan Undang-Undang kewarganegaraan dengan baik demi mengurangi konsekuensi yang dapat ditimbulkan dari adanya perkawinan campuran terutama berkaitan dengan status hukum dan tatacara pendaftaran kewarganegaraan ganda bagi anak hasil perkawinan caampuran. perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi hukum.


Daftar Pustaka
1.    Buku
Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo. 1997. Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional Suatu Orientasi. Raja Grafindo Persada:Jakarta.
Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono. 2005. Hukum Perdata; Suatu Pengantar. Gitama Jaya Jakarta: Jakarta
Sudargo Gautama. 1995. Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7. Penerbit Alumni: Bandung.
Sudargo Gautama. 1977. Ketertiban umum dapat diartikan sebagai sendi-sendi azasi hukum nasional sang hakim., Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Binacipta: Bandung.
2.    Peraturan Perundang-undangan
1.      UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawian
2.      UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
3.      UU No.62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan
4.      UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
3.    Website
1.       MUH. JUFRI, Selasa, 12 Juli 2011,” Paradigma Status Hukum Kewarganegaraan Hasil Perkawinan Campuran Dan Tata Cara Pendaftaran Kewarganegaraan Ganda Bagi Anak Sebagai Hasil Perkawinan Campuran“, tersedia di website http://muhjufri.blogspot.com/2011/07/paradigma-status-hukum-kewarganegaraan.html, diakses pada tanggal 6 Oktober 2011.
2.       Ayip Iqbal, 18 Juli 2010, “Makalah KWN – Status Anak Hasil Kawin Campur”, tersedia di website http://makuliye.wordpress.com/2010/07/18/makalah-kwn-status-anak-hasil-kawin-campur, diakses pada tanggal 11 Oktober 2011.
3.       Angel of Justice , Kamis, 14 April 2011, “Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum Nasional Indonesia”, tersedia di website http://norickyujustice.blogspot.com/2011/04/status-hukum-anak-dari-hasil-perkawinan.html, diakses pada tanggal 11 Oktober 2011.
4.       Nuning Hallet, 10 Mar 2006,” Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan”, tersedia di website  http://nuninghallett.multiply.com/journal/item/4/dari_Kompas_10_September_2005, diakses 11 Oktober 2011.





[1]Nuning Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, http://nuninghallett.multiply.com/journal/item/4/dari_Kompas_10_September_2005, diakses 11 Oktober 2011






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar