MAKALAH TENTANG EXISTENSI BADAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DEMI PENEGAKAN SISTEM HUKUM PERDATA DI DUNIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Menurut Prof. Sudargo Gautama Hukum Perdata Internasional adalah “Keseluruhan
peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan stelsel hukum manakah
yang berlaku atau apakah yang merupakann hukum jikan hubungan-hubungan
dan peristiwa-peristiwa antara warga negara pada suatu waktu tertentu
memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah
hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa,
tempat, pribadi dan soal-soal” (Seto, Bayu.1994:6)
Dalam penyelesaian arbitase internasional terdapat beberapa azas yaitu yang pertama Asaz Nasionalitas
yang artinya adanya pernyataan dapat atau tidak dikualifikasikan
sebagai putusan asing harus diteliti dengan hukum nasional, kedua Azas Resiporitas yang artinya tidak semua ptusan arbitrase asing dapat diakui (recognize) dan dieksekusi (enforcement).
Putusan arbitrase asing yang diakui dapat dieksekusi hanya terbatas
pada putusan yang diambil di negara asing yang punya ikatan bilateral
dan terikat dalam konvensi internasional (Margono Sayud, 2004:hal.133).
Dalam penerapan azas tersebut untuk meyelesaikan tiap kasus-kasus
perdata internasionl banyak hambatan dan tantangan yang menyebabkan
perjalanan dlam penegakan hukum perdata internasional akan berjalan
lumpuh dan tidak akan mencerminkan rasa keadilan yang banyak diharapkan
oleh masyarakat internasional.
Ada lima prinsip yang terdapat di pasal 16 Konvensi New York tentang
existensi dari badan arbitrase internasional yaitu: pertama
adalah prinsip pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar
negeri dan menempatkan keputusan tersebut pada kedudukan yang sama
dengan keputusan peradilan nasional, kedua adalah keputusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu dikritik dalam keptusannya, ketiga adalah menghindari proses pelaksanaan ganda(double enforcement process), keempat
adalah penyederhanaan dokumentasi uang diberikan oleh pihak yang
mencari pengakuan dan pelaksanaan konvensi dan dalam hal ini hanya
mensyaratkan dua dokumen saja untuk dapat melaksanakan suatu keputusan
dan kelima adalah pada
perjanjanjian ini maka akan lebih komprehensif daripda hukum nasionalnya
(Huala, Adolf, 2002:hal.106-107). Waupun telah ada prinsip yang diakaui
secara internasional ternyata prinsip yang ada justru di abaikan dan
tidak digunakan sebagai landasan dalam tiap penyelesaian kasus perdata
internasional. Prinsip tersebut terkadang digunakan sebagai celah untuk
melemahkan rasa keadilan hukum dan menghancurkan kepastian hukum.
Walaupun dalam proses penegakan hukum perdata internasional terdapat
hambatan, tapi jika azas dan prinsip hukumya teralisasi dengan baik maka
keadilan di dunia yang diharapkan pasti tercapai. Badan arbitrase
internasional merupakan alat penegakan hukum perdata internasional yang
siftanya non litigasi, dengan demikian jalan arbitrase ini akan makin
membuka peluang prosesnya lebih mudah, transparan dan bertanggung jawab.
B.Perumusan Masalah
Dari beberapa uraian yang telah diterangkan di atas maka dapat diambil
beberapa perumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implementasi dari badan arbitrase internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus perdata internasional?
2. Apakah
yang menjadi hambatan dan tantangan dalam sistem hukum perdata
internasional terkait penyelesian kasus dari badan arbitrase
internasional?
BAB II
PEMBAHASAN
A.SUBSTANSI DARI BADAN ARBITRASE INTERNASIONAL SEBAGAI MANIVESTASI DALAM PENYELESAIAN KASUS PERDATA INTERNASIONAL
Ada dua perjanjian internasional berkaiatan dengan arbitrase yaitu Convention on the recognition and enforcement of foreign arbitrase awards (Konvesi New York tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan asbitrase asing) dan Convention on the settlement of investments dispute (konvensi penyelesaian invertasi konvensi ICSD / Washington). Dalam perjanjian ini terdapat syarat-syarat berupa “lex arbitri”1.
Jika negara tempat keputusan arbitrase akan dilaksanakan dengan
menganggap keptusan arbitrase merupaka keputusan domestic, maka
keputusan tesebut tidak akan tunduk kepada konvensi New York, kemudian
akan ditinjau berdasarkan lex arbitri dari negara yang bersangkutan
yang mungkin memperbolehkan memeriksa materi pokok (merit) dari keputusa
tersebut (Agnes, M.Tahar, dkk.1995: hal.31). Berkenaan hal tersebut
maka adanya perjanjian New York hanya akan berlaku dan diterapkan
terhadap perjanjian dan keputusan domestik di negara di mana pengakuan
dan [1]pelaksanaan
diminta. Dua pedoman tersebut merupakan landasan yuridis formal dalam
tiap peneyelesaian lewat jalur arbitrase, tapi juga dapat digunakan
dengan jalur konsiliasi. Dalam tiap kontrak yang dijalankan dari kedu
belah pihak biasanya aturan tersebut selalu dicantumkan untuk mengatasi
dan menanggulangi jika ke depannya timbul masalah dari kesepakatan yang
telah disetujui bersama.
Menurut Hikmahanto Juwono menuliskan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi dalan perancanagn kontrak yaitu adalah sebagai berikut, Penawaran dan penerimaan, Kesepakatan, Pembuatan kontrak, Penelaahan, Negoisiasi, Adanya tanda tangan, Pelaksanaanm, Sengketa
(Wayuning, Wiwiek dkk.2006:hal.83). Kontrak yang dibuat juga akan
mempengaruhi proses penyelesaian dari badan arbitrase internasional,
sebab mekanisme yang akan dijalankan juga akan mengacu pada isi kontrak
yang dibuat oleh kedua belah pihak. Hal yang akan menjadi kendala dan
hambatan adalah jika dalam kontrak tersebut tidak dicantumkan pilihan
hukum mana yang akan digunakan. Hal ini akan memberikan persoalan dan
bahkan akan menimbulkan sengketa baru. Dalam keadaan yang demikian maka
peran badan arbitrase internasioanl sangat diperlukan untuk memberikan
penengah dan mengarahakan pilihan hukum mana yang sebaiknya digunakan.
Pasal 3 pada perjanjian New York disebutkan”Setiap
negeri perserta untuk mengakui keputusan arbitrase yang diikat di luar
negeri mempunyi kekuatan hukum dan malaksanakannya sesuai dengan hukum
di mana keputusan itu akan dilaksanakan dan tidak ada aturan siapa yang
berwenng mengadili Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah
Agung”. Dengan demikian jika berpedoman dari aturan tersebut maka
tiap keputusan yang telah dibuat dan ditentukan oleh badan arbitrase
internasional harus dijalankan dan mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat pada kedua belah pihak yang bersengketa. Keduanya harus
menjalankan keputusan yang telah ditetapkan dan tidak boleh
melanggarnya. Pengadilan yang telah memutusakn aturan tersebut juga
mempunyai hak memaksakan agar keputusannya dapat ditaati.
Prinsip-prinsip
dan batas-batas pilihan hukum yang dapat digunakan oleh para pihak yang
saling bersengketa adalah sebagai berikut:
1. Partijautonomie,
menurut prinsip ini para pihak merupakan pihak yang paling berhak
menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar
transaksi termasuk sebagai dasar penyelesian sengketan dari kontrak
transaksi yang dibuat.
2. Bonafide,
merupakan suatu pilihan hukum harus didasarkan etikad baik yang
bertujuan kepastian, perlindungan yang adil dan jaminan yang lebih pasti
bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi dari ini perjanjian.
3. Real Conection,
merupakan sistem hukum yang mensyaratkan keharusan adanya hubungan
nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak
ditundukan atau didasarkan pada sistem hukum yang dipilih.
4. Larangan Penyelundupan Hukum,
merupakan pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum
hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu dengan tujuan sewenang wenang
demi keuntungan diri sendiri.
5. Ketertiban Umum,
merupakan pilihan hukum yang tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum maksudnya adalah tidak akan bertentangan sendi-sendi asasi hukum
yang ada di masyarakat dan para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa
ketertiban umum merupkan pembatas pertama kemauan seseorang dalam
melakukan piliha hukum (Ida, Bagus, W.P,.1997:70-71)
Adapun syarat-syarat yang menjadi tolak ukur dalam penerapan jalan
arbitrase internasional berdasarkan UNCITRAL yaitu sebagai berikut:
1. Jika pada soal penandatanganan kontrak yang menjadi sengketa para pihak mempunyai tempat yang di negara yang berbeda.
2. Jika tempat arbitrase sesuai dengan kontrak arbitrase berada di luar tempat para pihak.
3. Jika
pelaksanaan sebagian besar kewajiban dalam kontrak berada diluar para
pihak atau pokok sengketa sangat terkait dengan tempat yang berada di
luar para pihak
4. Para
pihak dengan tegas lebih menyetujui bahwa pokok persoalan dalam kontrak
arbitase berhubungan dengan lebih satu negara (Hasanudin Rahman,
2003:357)
Dengan menyelesaikan semua sengketa lewat jalur arbitase internasional
memiliki kelebihan dan manfaat antar lain sebagi berikut:
1. Tidak akan ada badan peradilan internasional yang dapat mengadili sengketa yang bertaraf internasional
2. Penyelesaian
lewat jalur arbitrase bersifat lebih cepat dan murah. Besifat cepat
karena berhubungan dengan proses dan prosedur arbitrase yang cenderung
lebih sederhana dibandingkan dengan prosedur presidangan biasa.
Sementara murah berhubungan dengan proses dan prosedur yang sederhana,
sehingga aturan yang cenderung bersifat formalitas dapat ditekan sekecil
mungkin.
3. Dengan
jalur arbitrase dapat terhindarkan dari efek negative suatu publikasi,
hal ini sangat penting sehubungn dengan sifat confidentio dari
pertimbangan-pertimbangan arbiter dalam memutus perkara. Ada juga tidak
seluruh hal yang berkaitan dengan sengketa yang diputus baik untuk
diketahui hukumnya.
4. Akan lebih terhindar dari hukum nasional yang terlalu berbelit-belit dan akan menyulitkan dari para pihak yang bersengketa.
5. Akan
terjadi kebebasan dari hakim yang bersifat nasional. Hal ini dapat
dilakukan dengan menetapkan klusula dalam kontrak yaitu klusula tentang
forum yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa. Dengan adanya
klusula itu para pihak dapt menentukan bahwa mereka jika ke depannya
timbul sengketa dapat digunakan pilihan hukum berdasarkan kesepakatan
kedus belah pihak.
6. Dapat
terhindarkan forum shopping yaitu cara pemilihan forum penyelesaian
sengketa oleh para pihak yang dimaksudkan untuk kepentingan diri
sendiri. Hal ini berkenaan dengan keadaan jika terdapat dua atau lebih
pengadilan dari negara yang berbeda yang berkompeten terhadap sengketa
yang timbul. Dalam perspektif penyelundupan hukum, hal ini merupakan
yang bertentangan dengan azas-azas hukum perdata internasional.
7. Dapat dicegah pengadilan ganda terhadap kasus yang sama, hal ini timbul dari perbedaan penafsiran dari para pihak.
Berkenaan dengan prosedur penggunaan arbitase internasional adalah sebagi berikut:
1. Adanya
pengajuan permintaan yang diajukan langsung atau melalui suatu komite
nasional kepada secretariat arbitrase. Permintaan itu dapat meliputi
nama lengkap,keterangan,alamat para pihak, tuntutan penuntut,
persetujuan yang khususnya persetujuan tentang piliha arbitase atau
dokumen dan informasi lainnya yang dapat menjelaskan sengketa dan
hal-hal yang bersifat khusus seperti masalah kebangsaan arbiter atau pun
jumlah arbiter.
2. Melewati kesekretariatan dengan mengirimkan gugatan kepada tergugat untuk mendapatkan jawaban.
3. Adanya
jawaban tergugat dalam jangka waktu 30 hari sejak penerimaan dokumen
gugatan harus membuat komentar tentang jumlah arbiter, prosedur
pemilihan dan penunujukkan. Bersamaan dengan itu juga harus membuat
sanggahan dan melengkapinya dengan dokumen-dokumen yang relevan. Dalam
batas waktu yang sama juga harus sudah dikirimkan pada secretariat.
4. Adanya
cuonterplain jika tergugat ingin sekaligus mengajukan sanggahan dalam
waktu yang sama, tergugat juga harus mengirimkan sanggahan kepada
secretariat
5. Adanya
penerikasaan perkara oleh hakim arbitrase dan dapat dilakukan dengan
segera setekah para pihak memenuhi syarat-syarat dan prosedur
pendahuluan.
6. Adanay
pemerikasaan akan diakhiri dengan pengambilan keputusan atas
persetujuan para pihak. Batas pengambilan keputusan adalah 6 bulan.
Keputusan yang telah ditanda tangani hakim akan diberitahukan kepada
para pihak oleh secretariat.
B.MASALAH PROBLEMATIK YANG MENGHAMBAT SISTEM PENEGAKAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Dalam upaya melaksanakan penegakan hukum perdata internasional dari
tiap kasus perdata yang dihadapi banyak halangan dan tantangannya.
Penghambat tersebur diantaranya adalah sebagai berikut:
.
a. Masalah Penghormatan terhadap hukum
Masalah
ini adalah sangatlah sentral, penaatan atau penghormatan terhadap hukum
masih sangat tipis. Pola pikir masyarakat terhadap hukum ini harus
diubah secara bertahap, berhati-hati dan terencana. Telah cukup banyak
upaya-upaya akademis atau pengkajian dilakukan.
b. Kepastian hukum
Salah
satu hal yang pasti mengenai hukum di Indonesia adalah ketidakpastian
hukum. Kasus-kasus yang tergolong besar yang melibatkan Indonesia di
forum-forum arbitrase internasional adalah karena tidak adanya kepastian
hukum, sehingga pada sengketa-sengketa kasus-kasus mendapat sorotan
keras masyarakat internasional.
c. Kewenangan dan putusan badan arbitrase
Masalah
ini sebenarnya masalah lama, tetapi masalah ini masih terus berlanjut.
Seakan-akan kontroversi mengenai masalah ini tiada hentinya. Hal yang
paling ironi adalah 99 % (sembilan puluh sembilan persen) hakim di
Indonesia tidak memahami arbitrase, sehingga jika ada kasus yang akan
diselesaikan lewat jalur arbitrase selalu mengalami kekalahan.
d. Kultur berperkara masyarakat
Kultur
masyarakat ini sebagai masalah cukup krusial dalam penyelesaian
sengketa. Ada keengganan untuk tidak mau melaksanakan putusan arbitrase
dan untuk mengulur-ulur waktu sebagai taktik untuk tidak melaksanakan
kewajibannya. Penulis pun berpendapat bahwa sengketa-sengketa mengenai
pembatalan putusan putusan arbitrase asing (dan perlawanan terhadap
putusan arbitrase domestik) yang sering timbul belakangan ini, mungkin
dapat dipandang ke dalam cakupan kultur ini.
e. Masalah perpajakan
Berkenaan
dengan perpajakan maka masalah yang timbul adalah kemungkinan
pengelakan pajak penghasilan yang telah dibebankan, dengan adanya
penghindaran pajak ini justru akan memberikan kerugian kepada negara
dalam persetujuan yang telah dibuat. Berdasarkan ketentuan Jurisdiksi
Majelis Pertimbangan Pajak juga belum jelas besarnya yang harus dibayar
oleh para pihak yang terdapat persetujuan kontrak.
f. Problematik antara pilihan hukum dari kedua belah pihak yang bersengketa
Pilihan
hukum dalam meyelesaikan sengketa banyak terjadi tarik ulur antara
kedua belah pihak dalam persetujuan yang telah disepakati. Choice Of Law 2 merupakan
tahap awal dalam menyelesaikan sengketa, jika dalam pilihan hukum ini
terjadi pertentangan maka proses penyelesaiannya juga akan mengalami
hambatan. Jika dalam kontrak yang disepakati bersama telah disetujui
tentang hukum yang akan dipakai jika ada perselisihan maka akan lebih
mudah untuk [2]mencari
titik temunya, tapi jika ternyata dalam kontrak tersebut belum
dicantumkan justru inilan merupakan titik awal terjadinya polemik.
g. Adanya perubahan pada forum arbitase
Maksudnya
adalah dapat terjadi jika pihak yang kalah mengelak untuk melaksanakan
kewajiban dan tidak mentaati keputusan yang telah ditetapkan. Hal itu
dapat terjadi jika pihak yang kalah melakukan oposisi dengan cara
meminta agar keputusan itu tidak dilaksanakan.
h. Adanya forum hanya untuk menghindarkan kewajiban
Maksdunya adalah cara-cara pembuatan penafsiran yang berbeda dengan unsur-unsur perjanjian
i. Forum yang ada hanya digunakan untuk penyelundupan hukum
Maksudnya
adalah dengan pembuatan forum shopping dan dilakukan dengan cara
membuat penafsiran-penafsiran yang berbeda terhadap syarat penentuan
adanya sengketa dan jurisdiksi arbitrase
C.APLIKASI
BADAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN SENGKEKTA DAN ANALISA
DALAM PERSPEKTIF PENCIPTAAN SISTEM KEADILAN INTERNASIONAL
1. Kasus PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) Sebagai Objek Kajian Dari Badan Arbitrase Internasional
Pemerintah
melalui Menteri Pertambangan dan Energi akhirnya mengadukan PT Newmont
Nusa Tenggara (NNT) ke badan arbitrase internasional. Pasalnya,
perusahaan tambang tembaga tersebut dinilai gagal (default) dalam
menjalankan kewajiban divestasi saham untuk tahun 2006 dan 2007 sesuai
perjanjian kontrak karya yang diteken oleh NNT dan pemerintah pada 2
Desember 1986. Dalam Kontrak Kerja dengan Pemerintah tersebut, NNT
diberi kewenangan untuk mengeksplorasi tambang Batu Hijau di Sumbawa,
NTB. Luasnya mencapai 1, 667 juta hektar dan merupakan tambang tembaga
tersebesar kesepuluh di dunia. Pada saat yang sama sebagaimana yan
tertuang di dalam pasal 24 ayat 3. Kontrak
Karya PT NNT, disebutkan bahwa saham-saham perusahaan asing harus
ditawarkan untuk dijual atau diterbitkan pertama kepada pemerintah,
kedua jika pemerintah tidak menyetujui penawaarn tersebut ditawarkan
kepada warga negara Indonesia atau perusahaan yang dikendalikan oleh
warga negara Indonesia.
Pada
pasal 24 ayat 4 juga dinyatakan bahwa jumlah saham yang wajib
ditawarkan dan dibeli oleh peserta Indonesia setelah tidak kurang dari
51 persen dari saham yang diterbitkan oleh perusahaan. Dalam pasal
tersebut juga diatur bahwa penawaran tersebut dimulai pada tahun kelima
produksi dengan besar sekurang-kurangnya: 15% (tahun ke-5), 23% (tahun
ke-6), 30 (tahun ke-7), 37% (tahun ke-8), 44% (tahun ke-9), dan
51%(tahun ke-10). Menurut Pemerintah meski saham NNT telah dimiliki oleh
PT Pukuafu Indah, namun NNT yang mulai beroperasi tahun 2000 tersebut
dianggap gagal (default) melaksanakan divestasi sahamnya untuk tahun
2006 (tahun ke-6) sebesar 3 persen dan tahun 2007 (tahun ke-7) sebesar 7
persen untuk memenuhi jumlah yang tertuang dalam perjanjian Kontrak
Karya di atas.
Pada
pasal 21 Kontrak Karya tersebut, diatur mekanisme penyelesaian
perselisihan diantara kedua belah pihak yakni melalui rekonsialiasi atau
arbitrase. Rekonsiliasi dalam perjanjian tersebut mengacu pada
peraturan-peraturan UNCITRAL yang telah disetujui oleh PBB melalui
resolusi 35/52. Sementara arbitrase didasarkan pada UNCITRAL yang telah
disetujui oleh PBB melalui resolusi 35/52 pada tanggal 15 Desember 1976
yang berjudul Arbitration Laws of United Nations Commition on
International Trade Law.(www.hukumonline.com).
Adapun tentang hak dan kewajiban atau isi perjanjian yang telah di
sepakati oleh pemerintah Indonesia dengan PT Newmont Nusa Tenggara
adalah sebagi berikut:
Pasal 2 berbunyi” perusahaan
dengan petunjuk sebegai kontraktor tunggal dari pemerintah yang
berkenaan dengan wilayah kontrak karya akan dilaksanakan pekerjaan dan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dalam Persetujuan ini
termasuk penanman modal di Indonesia dan pembayaran pajak-pajak kepada
pemerintah dan akan memperoleh semua pihak yang diberikan kepadanya
dalam persetujuan ini, khususnya hak tunggal untuk mencari maan akan
dirumuskan lebih lanjut, mengembangkan, menambang secara baik setiap
endapan mineral yang ditemukan di dalam wilayah pertambangan, mengelola,
memurnikan,menyimpan dan mengangkut dengan cara apa pun semua mineral
yang dihasilkan, memasarkan, menjual atau melepaskan semua produksinya
di dalam dam di luar Indonesia serta melekukan semua operasi dan
kegiatan-kegiatan lainnya yang mungkin perlu atau memudahkan serta akan
dilaksanakan dengan betul-betul memperhatikan persetujuan ini.”
Pasal 13 berbunyi” Dengan
mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini perusahaan
membayar kepaga pemerintah dan memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya
seperti yang ditetapkan sebagai berikut: Iuran tetap untuk wilayah
kontrak karya atau wilayah pertambangan, iuran eksplorasi produksi untuk
mineral yang diproduksi perusahaan, iuran eksplorasi produksi tambahan
atas mineral yang diekspor, pajak penghasilan atas segala jenis yang
keuntungan yang diterima atau yang diperoleh perusahaan, pajak
penghasilan perseorangan, pajak atas bunga deviden atau royalty, Pajak
pertambahna nilai atas pemebelian barang-barang kena pajak,bea materai
atas dokumen-dokumen yang sah,bea masuk atas barang-barang yang diimpor
ke Indonesia, pajak bumi dan bangunan untuk wilayah kontrak atau wilayah
pertambangan, pungutan-pungutan administrasi umum dan pembebanan dan
bea yang dikenakan oleh pemerintah daerah di Indonesia yang telah
disetujui oleh pemerintah pusat, pungutan-pungutan administrasi umum dan
pembenan untuk fasilitas atau jasa dan hak-hak khusus yang diberikan
oleh pemerintah sepanjang pungutan dan pembebanan itu telah disetujui
oleh pemerintah pusat dan pajak atas pemindahan hak pemilikan kendaraan
bermotor dan kapal di Indonesia” (Wiwiek Wayuning, dkk.2006:122-123)
2. Analisa Kasus PT Newmont Nusa Tenggara (NNT)
Penyelesaiaan sengketa melalui arbitrase diatur Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada praktek hukum di Indonesia penyelesaian
sengketa antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian dapat
diselesaikan melalui negosisasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase.
Arbitrase sendiri berdasarkan UU No. 30 tahun 99 pasal 1 ayat 1 adalah”cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa.” Adapun jenis
sengketa yang dapat menggunakan mekanisme arbitrase terbatas pada
bidang perdagangan yang meliputi: perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Kasus tersebut di atas termasuk dalam katagori pemasalahan di bidang industri.
a. Landasan yuridis formal dalam penyelesaian kasus
Dalam proses penyelesaian sengketa dari PT Newmont Nusa Tenggara yang
dibuat dengan pihak Indonesia juga telah disebutkan dalam pasal 21 yang
berbunyi” Pemerintah dan
perusahaan dengan ini bersepakat untuk menyerahkan kepada konsiliasi
dimana para pihak berkeinginan untuk meminta suatu peneyelesaian secara
baik dengan cara konsiliasi atau melalui arbitrase, semua sengketa
antara kedua belah pihak yang timbul sebelum atau sesudah pengakhiran
persetujuan ini, termasuk perselisihan-perselisihan dimana satu pihak
lalai dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya untuk penyelesaian
akhir.”. Dari aturan tersebut maka jelas bahwa untuk menyelesaikan
perkara yang timbul dapat ditempuh dengan dua cara yaitu konsiliasi dan
arbitrase. Jika dengan cara konsiliasi maka harus berpedoman pada United Nations Commision On International Trade Law (UNCITRAL)
dalam resolusi 35/52 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tapi jika dengan
cara arbitrase maka dapat berpedoman pada resolusi 31/98 Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada United Nations Commision On International Trade Law (UNCITRAL).
Berkenaan dengan pilihan hukum yang akan digunakan belum di atur
dengan jelas hukum Indonesia atau hukum Amerika Serikat yang digunakan
jika terjadi perselisihan, tapi jika bertolak dari pasal 32 yang
berbunyi”Kecuali ditetapkan lain
dalam persetujuan ini pelaksanaan dan operasi persetujuan ini akan
diatur dan tunduk kepada dan diyafsirkan sesuai dengan hukum Indonesia”.
Jelas titik awal hukum yang digunakan adalag dari hukum Indonesia, hal
ini juga sesuai dengan prinsip hukum perdata internasional lex loci contractus yang berarti tempat dimana kontrak tersebut ditanda tangani.
b. Kronologis dan Mekanisme Dasar Gugatan Dari Pihak Indonesia
Dari fenomena yang telah merugikan pihak masyarakat Indonesia, maka
dengan aturan yang terdapat di pasal 21 dari kontrak bersama yang telah
disepakati, Negara Indonesia mengambil langkah melalui jalur arbitrase
dengan alasan dan mengajukan bukti-bukti sebagai berikut sebagai
berikut:
1. Teluk
Buyat kebagian warisan lima juta ton limbah yang ditabur ke dasar
teluk. Banyak warga di sana sakit dengan kandungan merkuri (Hg) dan
arsenik (As), zat beracun yang cukup tinggi pada darah dan rambutnya.
2. Sejumlah
ikan yang ditangkap memiliki benjolan semacam tumor dan mengandung
cairan kental berwarna hitam serta lendir berwarna kuning keemasan.
Sejumlah penduduk memiliki benjol-benjol di leher, payudara, betis,
pergelangan, pantat dan kepala. Bayi-bayi lahir tak normal dan seorang
di antaranya malah meninggal dunia saat berumur lima bulan. Dari
laporan-laporan penelitian tersebut, ditemukan kesamaan pola penyebaran
arsenik (As), antimony (Sb), dan merkuri (Hg) dan Mangan (Mn) yang
konsentrasi tertinggi logam berbahaya itu ditemukan di sekitar lokasi
pembuangan tailing NMR. Ini mengindikasikan bahwa Sistem Pembuangan Limbah Tailing ke Dasar Laut atau Submarine Tailings Disposal
(STD) PT Newmont di Teluk Buyat adalah sumber pencemaran sejumlah logam
berbahaya. Sejumlah sampel ikan, dalam beberapa laporan kajian,
ditemukan mengandung arsenik dan merkuri alias air raksa yang cukup
tinggi.
3. Adanya
sifat racun sulfida dan logam berat seperti merkuri dan arsenik memang
terkandung pada tailing PT Newmont Nusa Tenggara, tapi yang mengejutkan
ternyata di sana juga pernah terungkap bahwa detoksifikasi atau
penghilangan logam toksik yang dilakukan tak stabil. Kandungan racunnya
justru meningkat setelah menjadi tailing. Meskipun detoksifikasi telah
dilakukan ternyata tailling yang dibuang ke perairan Teluk Buyat masih
mengandung sejumlah logam berat berbahaya arsenik dan
merkuri. (Sumber: www.liputan6.com)
4. PT
Newmont Nusa Tenggara melakukan pelanggaran terhadap kontrak karya.
Perusahaan ini berdasarkan kontrak karya yang ditandatangninya sejak
tahun 1986 yang lalu diharuskan melakukan divestasi saham perusahaan
kepada pihak nasional secara bertahap hingga 51 % pada ahir tahun ke 10.
Hal ini berdasarkan pasal 24 point 4 Kontrak Karya (KK/ 1986) yang
dijelaskan bahwa pada akhir tahun kelima perusahaan tambang PT Newmont
Nusa Tenggara harus mendivestasikan sahamnya sekurang-kurangnya 15 %,
pada akhir tahun keenam di tahun 2007 sekurang-kurangnya 23 % dan pada
akhir tahun ke tujuh sekurang-kurangnya 30 %. dan seterusnya pada akhir
tahun ke delapan dan kesembilan masing-masing 37 persen dan 44 persen.
Pada akhir tahun kesepuluh kepemilikan saham nasional pada PT Newmont
Nusa Tenggara telah mencapai mayoritas yaitu 51 persen, tatapi hal
tersebut tidak dilakukannya dan bahkan pada proses divestasi telah gagal
sejak pertama kalinya yaitu proses divestasi sebesar 3 saham tahun
2007 (www.tempointeraktif.com)
Dari berbagi alasan yang telah diajukan oleh pihak pemerintah tersebut
jika Indonesia memenangkan kasusnya, maka 50 persen saham akan dimiliki
pemerintah pusat, sementara 50 persen lagi milik pemerintah setempat.
Setelah melewati berbagai usaha dari pemerintah dengan pengumpulan
bukti-bukti yang telah diajukan ternyata tetap saja kalah oleh argument
yang disampaikan pihak PT Newmont Nusa Tenggara.
c. Sebab-sebab
Kekalahan Pihak Indonesia Pada Jalur Arbitrase Internasional Dalam
Penyelesaian Pelanggaran Dari PT Newmont Nusa Tenggara
PT
Newmont Nusa Tenggara menawarkan skema pinjaman kepada pemerintah
daerah agar hutangnya dapat dibayar dengan deviden yang akan diberikan
setiap tahun. Pemerintah Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah daerah
Kabupaten Sumbawa Barat menolak tawaran, tetapi pemerintah daerah
Sumbawa menerima tawaran yang akibatnya memecah koalisi dari ketiga
pemerintah daerah. Menurut Penulis adapun sebab-sebab yang menjadi
kekalahan pihak Indonesia dalam upaya penyalesaian lewat jalur arbitrase
internasional ini adalah sebagai berikut:
1. Adanya
perpecahan yang terjadi dijadikan alasan bagi PT Newmont Nusa Tenggara
bahwa ia telah melakukan upaya mendorong terjadinya divestasi. Terbukti
tawarannya diterima oleh salah satu pemerinta daerah yaitu Pemerintah
daerah Sumbawa.
2. Adanya
kurang kontrol dari masyarakat luas terhadap jalannya proses arbitase
yang dilakukan dan ini juga kesalah darp pemerintah dengan tidak
mempublikasikan secara luas pada masyarakat yang menyebabkan perpecahan
dari tiga wilayah di Nusa Tenggara.
3. Bukti-bukti
yang diajukan pihak pemerintah Indonesia baik secara tertulis atau pun
secara kongkrit belum begitu kuat, sehingga tiap bukti yang diajukan
dapat ditanggulangi oleh pihak PT Newmont Nusa Tenggara
4. Arbiter
yang dimiliki ole pihak Indonesia kurang berprofesioanal dan wawasannya
kurang luas dalam menangai kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh
PT Newmont Nusa Tenggara.
D.PROSES PENYELESAIAN SENGKETA BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DEMI MENCAPAI KEADILAN HUKUM
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase sudah semakin populer di kalangan pengusaha.
Kontrak-kontrak komersial sudah cukup banyak mencantumkan klausul
arbitrase dalam kontrak mereka. Dewasa ini Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI), sudah semakin popular. Badan-badan penyelesaian
sengketa sejenis telah pula lahir. Tantangan ke masa depan adalah
tantangan untuk membuktikan masing-masing badan penyelesaian sengketa
ini. Salah satu tolok ukur dari keberhasilan badan-badan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase adalah kualitas para arbitratornya. Bagaimana
pun juga, kualitas suatu badan arbitrase akan sangat banyak dipengaruhi
oleh kualitas para arbitratornya.
Salah satu contoh untuk menyelesaikan proses dari badan arbitrase
adalah dengan negosiasi sebagi sarana paling banyak digunakan. Sarana
ini telah dipandang sebagai sarana yang paling efektif. Lebih dari 80%
(delapan puluh persen) sengketa di bidang arbitrase tercapai
penyelesaiannya melalui cara ini. Penyelesaiannya tidak win-lose tetapi win-win.
Karena itu pula cara penyelesaian melalui cara ini memang dipandang
yang memuaskan para pihak. Walaupun Indonesia telah memiliki bentuk
badan arbitrase, tapi jika dihadapkan pada persoalan yang bersifat
lintas negara masih banyak mengalami kegagalan. Hal ini banyak
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya kurang profesionalnya para
arbiter dari Negara Indonesia dan wawasan tentang hukumnya masih lemah.
Mc Nair bependapat “Dalam
pekerjaan pendahuluan dapat mengahasilkan fakta-fakta dari tujuan
bersama para pihak yang memungkinkan dari itu tentang final draft dan
juga adanya pertukaran nota”(Ardhiwisastra, Yudha Bhakti.2000:123). Hal
ini akan memberikan peranan yang sangat penting ketika salah satu pihak
dalam sengketa tersebut harus menaghadirkan bukti-bukti untuk dijadikan
bahan-bahan gugatan bagi pihak yang merasa dirugikan. Bukti-bukti ini
akan menjadi parameter dari proses penyelesaian sengketa yang akan
digunakan di badan arbitase internasional. Tentang bukti yang akan
diajukan ini juga tergantung dari wawasan dan keprofesionalan dari
arbiter, makin ia paham dan mengerti tentang seluk-beluk prosedur
penyelesaian secara arbitase maka kemungkinan meraih kemengan terbuka
lebar.
Ada
lima teori yang dapat digunakan dalam peneyelesaian sengketa yang
terjadi antara para pihak, jika di dalam kontrak tersebut para pihak
tidak dapat menggunakan dan tidak menentukan sisten hukum mana yang akan
digunakan dalam meneyelesaiakn sengketa. Kelima teori itu adalah
sebagai berikut; Lex loci contractus, lex fori, lex rae sitae, the most characteristic connection, dan the proper law. (Wiwiek Wayuning, dkk.2006:65)
Ajaran pokok dari lex loci kontractus
merupakan penyelesaian pada kasus yang terjadi diamana kontrak tersebut
ditanda tangani, maka hukum nasional tempat penandatanganan itulah yang
akan digunaka untuk menyelesikan perkara yang terjadi. Kelebihan dari
penggunaan sistem ini adalah penerapannya lebih mudah dan sederhana,
penyelesainnya dapat diprediksi, dan teori itu merupakan cara yang
terbaik untuk menentukan hukum yang berlaku terhadap masalah keabsahan
kontrak atau keabsahan formalitas kontrak. Lex fori merupakan metode penyelesaian yang berdasarkan dari keputusan hakim memutuskan perkara. Lex rae sitae merupakan cara penyelesian sengketa yang berdasarkan tempat dimana barang atau benda berada. The most characteristic connection
merupakan pilihan hukum dalam kontrak yang dibuatnya, maka hukum yang
berlaku adalah hukum yang paling mempunyai karakteristik yang berkenaan
dengan kontrak tersebut. Doktrin ini merupakan cara penyelesian hukum
ketika prosesnya terjadi kebuntuan. The proper law
merupakan pilihan hukum yang berdasarkan alasan logis dan rasional
dengan objektif serta mengasumsikan bahwa kontrak yang telah dibuat
secara sah. Banyak kelemahan pada doktrin ini, karena belum terdapat
parameter yang cukup dalam mencari penyelesainnya. Menurut Profesor Van Den Berg 3
yaitu jika para telah menyetujui mengenai hukum arbitrase yang berbeda
daripada arbitrase ini dari tempat dimana arbitrase diperiksa dan negara
yang hukumnya telah dipilih oleh para pihak.
Fact Finding (neutral fact finding)
adalah pencarian fakta yang bersifat netral dan dalam beberapa perkara
yang benar-benar rumit dan para pihak sebenarnya tidak bersengketa
tentang hukum dan penerapannya hukum tentang fakta, sehingga akan
terjadi pertikaian saksi-saksi ahli yang dihadirkan dari masing-masing
pihak yang bersengketa. (Margono Sayud. 2004:hal.27). Adapun pada proses
menemukan hukum atau apa yang dapat menjadi hukum melalui berbagai cara
penafsiran dan konstruksi 4 hukum juga sudah sejak lama dikenal dalam lapangan hukum internasional khususnya berbagi penafsiran dalam pelaksanaan [3]perjanjian.
Pada proses pencariab fakta ini juga akan menjadi langkah awal apakah
pada akhirnya memperoleh kemenangan atau justru kekalahan yang akan
diterima.
Berdasarkan pada perjanjian New York telah diketahui juga tentang
proses penyelesaian dengan cara arbitsae internasional. Hal ini kerena
terdapat klausula arbitrase yang memilih arbitrase di luar negeri dan
akan berlaku ketentuan yang bukan saja tertera dalam hukum arbitrase
Indonesia, tapi juga akan menggunakan substansi di dalam perjanjian New
York. Adanya ketentuan ini juga telah diterapkan oleh beberapa negara di
dunia termasuk Indonesia. Konsekuensi dari aturan internasional
tersebut juga akan berdampak pada penerapan proses penyelesaian sengketa
yang diterapkan di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga telah
meratifikasi aturan yang terdapat dalam perjanjian New York dengan
Keputusan Presiden no.34 tahun 1991. Jelas dengan landasan ini akibatnya
jika timbul perselisihan maka selain dapat diselesaika dengan hukum
nasional Indonesia di hadapan Dewan Arbitase Badan Arbitase Nasional
dapat juga diselesaikan dengan jalur pilihan hukum luar negeri. Dengan
demikian akan terjadi komparasi dan implementasi dari penggunaan sistem
hukum internasional dan nasional akan saling terjadi hubungan dengan
mendapatkan rasa keadilan yang dapat berpihak pada para pihak. Hal ini
disebabkan karena proses penyelesaiannya menggunakan kekurangan dan
kelebihan yang terdapat dalan hukum nasional maupun hukum
internasional.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
1. Penegakan
hukum perdata internasional melalui jalan arbitrase pada kasus-kasus
kontrak antar dua negara atau lebih ternyata lebih mudah dan fleksibel
penyelesainnya.
2. Dalam
proses penyelesaian sengketa yang terjadi agar dapat diselesaikan
dengan baik, maka dalam sistem hukum perdata internasional ada beberapa
teori yang dapat digunakan yaitu; Lex loci contractus, lex fori, lex rae sitae, the most characteristic connection, dan the proper law.
3. Terdapat dua perjanjian internasional berkaiatan dengan penyelesaian melalui jalur arbitrase internasional yaitu Convention on the recognition and enforcement of foreign arbitrase awards (Konvesi New York tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan asbitrase asing) dan Convention on the settlement of investments dispute (konvensi penyelesaian invertasi konvensi ICSD / Washington)
4. Kekalahan
Indonesia dalam menggunakan jalur arbitrase dalam peyelesaian kasus
pencemaran yang dilakukan oleh PT Newmont Nusa Tenggara disebabkan
karena kurang profesionalnya arbiter dari pihak Indonesia.
5. Dalam
proses penyelesaian sengketa perdata internasional melalui jalur
arbitrase maka jika keputusan telah ditetapkan harus ditaati oleh para
pihak karena keputusab tersebut bersifat mengikat.
B.Rekomendasi
1. Dalam
penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase internasional harus
diperhatikan azas dan prinsip hukum perdata internasional, sehingga
keputusan yang dihasilkan akan mencerminkan rasa keadilan.
2. Agar
proses penyelesaian sengketa perdata internasional lewat jalur arbitase
dapat memperoleh kemenangan, maka seharusnya diperlukan seorang arbiter
yang profesional dan mempunyai wawasan yang luas, sehingga akan dapat
mengumpulkan bukti-bukti yang kuat untuk diajukan.
3. Agar
pelaksanaan penyelesian sengketa lewat arbitrase internasional berjalan
transparan dan efektif maka para pihak yang mengajukan gugatannya harus
melalui prosedur yang telah ditetapkan.
4. Sebaiknya
pemerintah Indonesia pasca ratifikasi dari perjanjian New York akan
lebih konsekuen dalam menggunakan hukum nasional dan aturan yang
terdapat dalam hukum internasionalnya agar dapat tercapai rasa keadilan.
Daftar Pustaka
Adolf, Huala.2002. Arbitrase Komersial Internasional.Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti.2000.Hukum Internasional Bunga
Rampai.Bandung: PT Alumni
Bagus, W.P,Ida.1997.Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam
Transaksi Bisnis Internasional. Bandung:Refika Aditama
Bhakti, A. Yudha.2000. Penafsiran Dan Konstruksi Hukum.Bandung: PT Aulmni
Gautama, Sudargo.2004. Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum
Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Margono, Sayud. 2004. Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Arbitrase
Proses Pelembagaan dan Asper Hukum.Bogor Selatan: Ghalia Indonesia
Seto, Bayu.1994.Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional.Bandung:PT Citra
Aditya Bakti
Rahman, Hasanudin.2003. Contract Drafting Seri Ketrampilan Merancabf
Kontrak Bisnis.Bandung: PT Citra Aditya Bakti
M.Tahar,Agnes dkk.1995.Arbitrase di Indonesia.Jakarta: PT Ghalia Indonesia
Wayuning, Wiwiek dkk.2006. Perancangan Kontrak dan Memorandum of
Understanding (MOU).Jakarta:Sinar Grafika
internet
http//www.hukumonline.com
http// www.liputan6.com
http// www.tempointeraktif.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar