TEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA DENGAN JUJUR DAN BENAR

HUKUM ADALAH KUMPULAN PERATURAN-PERATURAN ATAU KAEDAH-KAEDAH DALAM SUATU KEHIDUPAN BERSAMA : KESELURUHAN PERATURAN TENTANG TINGKAH LAKU YANG BERLAKU DALAM SUATU KEHIDUPAN BERSAMA, YANG DAPAT DIPAKSAKAN DENGAN SUATU SANKSI. (Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH)

Senin, 03 Maret 2014

“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERKARA KORUPSI YANG DIJATUHI PIDANA BERSYARAT” .



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Korupsi akhir-akhir ini semakin ramai diperbincangkan, baik di media cetak, elektronik maupun dalam seminar-seminar, lokakarya, diskusi dan sebagainya. Korupsi telah menjadi masalah serius bagi bangsa Indonesia, karena telah merambah ke seluruh lini kehidupan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, sehingga memunculkan stigma negatif bagi Negara dan Bangsa Indonesia di dalam pergaulan masyarakat internasional.[1][1] 
Korupsi adalah sesuatu hal yang sangat membahayakan dalam berlangsungnya suatu pemerintahan, bahkan jauh lebih berbahaya dari pada dampak kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam dan perang sekalipun.  Bahaya Korupsi dikarenakan dapat menghancurkan struktur negara hingga bagian terkecil dari suatu pemerintahan yang berdaulat, dan menghancurkan semangat persatuan dan kesatuan yang semakin lama kian terkikis.
Di Indonesia korupsi tumbuh dan berkembang dengan suburnya seperti jamur dimusim hujan, keberadaannya akan sangat sulit untuk diberantas apabila tidak ada tindakan yang nyata dari pemerintah dan pihak-pihak terkait. pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak era orde lama, hal ini dapat kita ketahui dengan berlakunya Undang-undang 24 Prp. 1960 yang berlaku sejak tahun 1960.  Beberapa upaya untuk pemberantasan korupsi berdasarkan undang-undang tersebut dilakukan, antara lain:
a.       Operasi Budhi, yang dipimpin oleh Menkohankam/Kasab yang bertugas menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan Negara serta Lembaga-lembaga Negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi.
b.      Pembentukan tim pemberantasan Korupsi berdasarkan keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967, yang dipimpin oleh Jaksa Agung.[2][2]
Tampaknya pemberantasan korupsi dengan undang-undang ini kurang berhasil, kemudian undang-undang Nomor 24 Prp. 1960 ini dicabut dan diganti dengan undang-undang Nomor 3 tahun 1971, yang kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang memuat beberapa hal yang berbeda dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Kemudian berubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui PP No.19 Tahun 2000. Namun ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui judicial Review Mahkamah Agung membubarkan TGPTPK. Sedangkan KPKPN melebur masuk kedalam KPK yang kemudian dibentuk.  
Tujuan Pemerintah dan pembuat Undang-Undang melakukan revisi atau mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum yang dapat dijadikan alasan bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat melepaskan dirinya dari jeratan hukum.
Dari rangkaian sejarah diatas, memperlihatkan keinginan memberantas korupsi tersebut selalu mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut antara lain adalah lemahnya political will pemerintah, kelemahan yuridis lembaga pemberantasan korupsi, adanya serangan balik para koruptor, dan berbagai faktor lain mengiringi penanganan perkara korupsi yang jauh dari professional dan efektif sehingga mengesankan adanya ketidaksanggupan dan tebang pilih. Belajar dari pengalaman sebelumnya, KPK dengan Pengadilan Tipikor merupakan refleksi dari belum maksimalnya berbagai upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan dan sekaligus menjadikan harapan besar akan upaya pemberantasan korupsi yang lebih progresif, efektif dan maksimal.
Namun, ditengah besarnya animo masyarakat akan pemberantasan korupsi di Indonesia justru di beberapa pengadilan negeri di Indonesia memvonis para pelaku tindak pidana korupsi dengan putusan percobaan atau lebih dikenal dengan pidana bersyarat. Dimana dengan putusan pidana bersyarat ini pelaku tidak harus menjalani hukuman pidana penjara sebagaimana layaknya pelaku kejahatan lain, dimana ditetapkan dalam amar putusan bahwa pidana yang dijatuhkan itu tidak perlu dijalankan dengan pembebanan syarat-syarat tertentu.
Dibawah ini beberapa putusan pidana bersyarat yang telah dijatuhkan kepada terdakwa korupsi:
Tabel.1
No
Perkara Korupsi
Kerugian Negara
Terdakwa
Hakim
Tingkat
Vonis
Tanggal
1.
Dobel anggaran dalam APBD Jateng 2003
Rp14,8 miliar
Mardijo, mantan Ketua DPRD Jateng
Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, dan M Baharudin Qaundy
Tingkat pertama PN Semarang
Mahkamah Agung
1 tahun penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun

Tuntutan JPU
7 tahun penjara
3 November 2009

No
Perkara Korupsi
Kerugian Negara
Terdakwa
Hakim
Tingkat
Vonis
Tanggal
2.
Dana operasional DPRD Kaltim periode 1999-2004
Rp 2,9 milar
Kasyful Anwar As'ad, Khairul Fuad dan Sukardi Jarwo Putro, (mantan Pimpinan DPRD Kaltim)
Parman Soeparman, Soedarno dan Imam Haryadi
Tingkat Pertama PN Samarinda
Mahkamah Agung

1 tahun masa percobaan 2 tahun
19 Februari 2008
3.
Penjualan aset di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat
Rp 69 juta
Ir Darizal dan Drg Helmy Rustam, MM
Lexsy Mamont, Agoeng Rahardjo, dan Makmun Masduki
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
1 tahun  masa percobaan 2 tahun
28 April 2008
4.
Anggaran Rumah Tangga Dewan (ARTD) DPRD Nganjuk periode 1999-2004
23 Juta
Basori, Anggota DPRD Nganjuk periode 1999-2004
Burhanuddin, Gatot Ardian, Agus Cahyo
Pengadilan Negeri Nganjuk
1 tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan
5 Juni 2008
5.
Dana APBD kabupaten Yapen Waropen
Rp 90 juta
ketua DPRD Amon Wanggai, S.Sos. Jhon Mansay. S.Sos dan Nehemia Payawa.S.Sos
Wayan Karya, Ben Ronald.P. Situmorang. dan Ahmad Rizal Nasution,
Pengadilan Negeri Serui
1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun
6 Juni 2008
6.
Proyek di Bappeda Lampung
Rp 196 juta
Kepala Bappeda Bandar Lampung Tjandra Tjahya dan Pemimpin Proyek Faisol Muchtar
Machmud Rachimi
Pengadilan Negeri Tanjungkarang
1 tahun penjara dengan masa percobaan 18 bulan
26 Juni 2008
7.
Proyek gedung loka monitor spektrum frekuensi radio dan orbit satelit Pangkalpinang tahun 2006
-
Ermansyah

Pengadilan Negeri  Pangkalpinang
1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun
22 Desember 2008
8.
Sewa ruko Jalan MS Rahman dan Jalan Jenderal Sudirman Pangkalpinang
43,5 juta
Andi Rozano
Rosidin, T Sirait dan Ernila
Pengadilan Negeri  Pangkalpinang
1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun
22 Desember 2008
9.
proyek pembangunan pasar hewan di Desa Nagrak Kec/Kab. Cianjur tahun anggaran 2006
Rp 114 juta
RS selaku pelaksana proyek
Gunawan
Pengadilan Negeri Cianjur
1 tahun  masa percobaan 1 tahun
6 Januari 2009
Dokumentasi ICW, diolah dari berbagai sumber media.[3][3]
Didalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 2 dan 3 menyebutkan:
(1)          Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
(2)   Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.   
Ketentuan hukum diatas teramat sering hanya menjadi “macan kertas”, sebatas Pasal huruf mati yang sangat jarang diterapkan secara konsisten kepada para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Terlebih hukuman mati yang mungkin niscaya akan diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.
Baru-baru ini memang telah berkembang wacana menerapkan hukuman mati terhadap koruptor. Dan penulis lebih melihat kondisi ini kepada bentuk kefrustasian masyarakat dan penegak hukum di Indonesia akan efektifnya undang-undang untuk menanggulangi dan memberantas korupsi di Negara Indonesia.
Koruptor yang terus bertambah jumlahnya, bahkan koruptor-koruptor itu sendiri dapat muncul dan hidup didalam lembaga yang terhormat termasuk didalamnya Kepolisian dan Kejaksaan.  Lalu kemana lagi Rakyat harus menggantungkan harapan akan Indonesia yang bebas dari korupsi bila kecurigaan kepada penguasa, ketidakpercayaan akan hukum dinegaranya, dan pejabat negara yang mengkhianati kepercayaan rakyatnya.
Jika hukuman terberat seperti kurungan, penjara dan hukuman mati sekalipun tidaklah menjamin dapat membuat jera para koruptor ataupun dapat menjalankan keefektifan fungsi preventifnya, lalu bagaimana dengan beberapa yurisprudensi serta pandangan-pandangan dari beberapa pihak untuk menerapkan hukuman pidana bersyarat  kepada pelaku kejahatan yang kejam ini.
Seolah tidak percaya namun inilah realita yang ada bahwa pidana bersyarat pernah diterapkan terhadap kasus korupsi di Indonesia. Apakah dengan pidana bersyarat ini tujuan dari pemidanaan telah tercapai khusus untuk kasus korupsi di Indonesia. Dari beberapa pandangan dan penemuan penulis dilapangan penerapan pidana bersyarat justru memberikan efek kontra dari tujuan dihukumnya seorang pelaku kejahatan korupsi
Hukum sosial berupa cap masyarakat dan pengucilan dari masyarakat justru jauh lebih ampuh untuk memberikan beban moral kepada pelaku korupsi yang tertangkap dari pada aturan hukum seperti undang-undang korupsi yang sebenarnya jauh lebih memiliki kekuatan hukum dan kewajiban dari pemerintah untuk menegakkannya.
Kepuasan akan penegakan hukum memang bukanlah didapatkan ketika para pelaku kejahatan menderita saat pelaku kejahatan menjalani masa-masa serta menerima vonis hukuman atas perbuatannya. Kepuasan akan lebih tecapai bila kepastian hukum dapat memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan dan memberikan ketakutan bagi orang lain agar mereka berfikir lagi ketika memiliki niat untuk melakukan perbuatan yang sama.
Dengan masih banyaknya tanda tanya dan kerancuan dalam hal penerapan pidana bersyarat terhadap pelaku Korupsi di Indonesia, maka penulis merasa memiliki tanggung jawab dan ketertarikan untuk mengangkat penelitian dan penulisan makala yang diberi judul :
“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERKARA KORUPSI YANG DIJATUHI PIDANA BERSYARAT” .


B.       Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1.      Mengapa pidana bersyarat dapat diterapkan terhadap  tindak pidana korupsi yang merupakan Kejahatan Luar Biasa?
2.      Apakah yang menjadi alasan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi?









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Tinjauan Umum Pidana Bersyarat
1.      Pengertian Pidana Bersyarat
Pidana percobaan atau lebih dikenal sebagai pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling)[4][6], tetapi sesungguhnya bukan salah satu dari jenis pidana karena tidak disebut dalam Pasal 10 KUHP. Karena bukan jenis pidana melainkan suatu sistem penjatuhan pidana tertentu (penjara, kurungan, denda) dimana ditetapkan dalam amar putusan bahwa pidana yang dijatuhkan itu tidak perlu dijalankan dengan syarat-syarat tertentu.
Pidana percobaan adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan dengan syarat-syarat tertentu. Artinya, pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggarnya.

2.      Penjelasan Pidana Bersyarat didalam KUHP
Ketika WvS Hindia Belanda diberlakukan di Hindia Belanda, pidana bersyarat ini belum terdapat didalamnya. Baru dengan melalui stb.1926 No.251 jo 486 sistem penjatuhan pidana dengan bersyarat ini dimasukkan kedalam KUHP, pada Pasal 14a sampai dengan Pasal 14f.[5][7] 
Adapun Pasal 14a sampai dengan 14f KUHP berbunyi:
Pasal 14a
(1)   Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.

(2)   Hakim juga mempunyai kewenangan seperti diatas, kecuali dalam perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan Negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan Negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhi pidana denda, tidak diterapkan ketentuan Pasal30ayat2.


(3)   Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.

(4)   Perintah tidak diberikan , kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.

(5)   Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.   

Pasal 14b
(1)   Masa Percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam Pasal-Pasal 492, 504, 505, dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.

(2)   Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.

(3)   Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.

Pasal 14c
(1)   Dengan perintah yang dimaksud Pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi

(2)   Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan Pasal-Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh ditetapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.

(3)   Syarat-syarat tersebut diatas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana.
  
Pasal 14d
(1)   Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan, jika kemudian ada perintah untuk menjalankan putusan.

(2)   Jika ada alasan, hakim dalam perintahnya boleh mewajibkan lembaga yang berbentuk badan hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau kepala pemimpin suatu rumah penampungan yang berkedudukan disitu atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi pertolongan dan bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.

(3)   Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai penunjukkan lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi member bantuan itu, diatur dengan undang-undang.
Pasal 14e
Atas usul pejabat dalam Pasal 14d ayat 1, atau atas permintaan terpidana, hakim yang memutuskan perkara dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus atau lamanya waktu berlaku syarat-syarat khusus dalam masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang yang diperintahkan semula, supaya member bantuan kepada terpidana dan juga boleh memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang paling lama dapat ditetapkan untuk masa percobaan.  

Pasal 14f
(1)   Tanpa mengurangi ketentuan Pasal diatas, maka atas usul pejabat tersebut dalam Pasal 14d ayat 1, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas namanya diberi peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan mulai berlaku. Ketika member peringatan, hakim harus menentukan juga cara bagaimana member peringatan itu.

(2)   Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanaan yang menjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.       
Pidana bersyarat dalam KUHP kita sesungguhnya mengambil dan meniru dua macam sistem pidana bersyarat yang satu sama lain sangat berbeda, yaitu pertama, sistem Inggris-Amerika (di Inggris tumbuh sekitar abad pertengahan dan di AS sejak tahun 1868); dan kedua, sistem Belgia dan Prancis (tumbuh sekitar akhir abad ke-19).
Menurut sistem Inggris-Amerika, apabila dalam pemeriksaan pengadilan terdakwa terbukti bersalah, ia tidak (perlu) divonis dengan suatu pemidanaan, melainkan cukup hanya dinyatakan sebagai sebagai ia telah terbukti bersalah saja, kemudian ditetapkan masa percobaan. Dalam masa percobaan ini, dikenai syarat-syarat tertentu, antara lain ia tidak boleh melakukan suatu kejahatan. Dalam arti, ia diberi kesempatan untuk memperbaiki kelakuannya tanpa ia harus divonis pidana, berarti juga tidak ada pidana yang dijalaninya.
Akan tetapi, apabila dalam fase pertama ini, dalam arti dalam masa percobaan ia melanggar syarat yang ditetapkan hakim, barulah ia dijatuhi pidana yang selanjutnya pidana itu ditetapkan untuk dijalankan kepadanya.
Jadi, sebenarnya menurut sistem ini, yang digantung dengan syarat itu adalah penjatuhan pidananya, dan bukan pelaksanaan pidananya seperti pada sistem KUHP kita.
Maksud yang ingin dicapai dengan sistem ini adalah untuk memperbaiki si pelanggar hukum tanpa dengan menjatuhkan pidana atau tanpa menghukumnya. Selama dalam masa percobaan, dalam usaha memperbaiki kelakuannya, terpidana dibimbing dan diawasi oleh pengawasan reklasering. Sistem ini disebut dengan probation.
Lain halnya dengan sistem Prancis-Belgia. Menurut sistem ini, apabila di persidangan terdakwa terbukti bersalah, maka disamping dinyatakan terdakwa telah terbukti bersalah atas kesalahannya itu hakim juga menjatuhkan pidana, tetapi ditetapkan dalam vonis itu bahwa pidana itu baru dapat dijalankan pada terpidana apabila yang bersangkutan melanggar syarat-syarat yang ditetapkan. Syarat ini berupa ia tidak boleh melakukan kejahatan lagi dalam masa tertentu atau disebut dengan masa percobaan.
Perbedaan lain adalah menurut sistem Inggris-Amerika, dalam masa percobaan yang bersangkutan dalam usahanya memperbaiki kelakuannya, ia dibimbing dan diawasi oleh pejabat reklasering. Oleh karena itu, disebut dengan sistem probation.
Akan tetapi, menurut sistem Prancis-Belgia, dalam memperbaiki kelakuaannya, yang bersangkutan tidak dilakukan bimbingan, diserahkan kepada yang bersangkutan sendiri. Tujuan menurut sistem Inggris-Amerika adalah dapat diperbaikinya orang yang bersalah dengan menghindarkannya dari cap (stigma) seorang penjahat atau terpidana, yang dapat membawa ke dalam suasana dan akibat buruk bagi yang bersangkutan, misalnya ia kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, dijauhi dan dikucilkan orang dalam pergaulan masyarakat.
Sementara itu, tujuan yang ingin dicapai dengan sistem Prancis-Belgia adalah dapat diperbaiki yang bersalah dengan dengan menghindarkannya dari penderitaan harus menjalani pidana di rumah penjara karena pengaruh penjara seringkali berakibat buruk bagi narapidana.
Dalam WvS Belanda, pidana bersyarat ini diadakan dalam tahun 1915. Sistemnya merupakan campuran antara sistem Inggris-Amerika dengan sistem Prancis-Belgia di atas, dan berdasarkan atas concordantie sistem Belanda ini juga diterapkan dalam hukum pidana (WvS) di Hindia Belanda.
Sebagai sistem campuran, sistem Belanda ini mengoper sebagian dari masing-masing sistem. Menurut sistem Belanda, apabila dalam persidangan terdakwa terbukti bersalah, atas kesalahannya itu hakim menjatuhkan pidana tetapi dalam putusan hakim ditetapkan bahwa ia tidak perlu menjalani pidananya apabila selama tertentu (disebut masa percobaan), ia tidak melanggar syarat-syarat yang ditentukan. Selama masa percobaan, dalam usaha memperbaiki kelakuannya, terhadap terpidana dilakukan bimbingan dan pengawas oleh pejabat reklasering.
Tampak bahwa dari sistem Inggris-Amerika yang dioper oleh sistem Belanda ini, adalah ditetapkannya syarat-syarat tertentu yang harus ditaati agar pidana yang dijatuhkan tidak perlu dijalani, dan dalam usaha memperbaiki dirinya, yang bersangkutan dibantu dan dibimbing oleh pejabat reklasering. Sementara itu, dari sistem Prancis-Belgia yang dioper ke dalam sistem Belanda adalah apabila dalam persidangan terbukti kesalahan terdakwa, hakim menjatuhkan pidana kepadanya.
Walaupun sistem Belanda mengoper dari sistem Inggris-Amerika tentang diadakanya lembaga pengawasan ( disebut lembaga reklasering, di Inggris disebut lembaga probation ), yang bertugas membimbing yang bersalah dalam usahanya memperbaiki kelakuannya, namun tetap ada perbedaan. Perbedaan itu adalah pengawasan/bimbingan menurut sistem Belanda bersifat fakultatif, tidak harus. Akan tetapi, ,memurut sistem Inggris-Amerika, pengawasan/bimbingan merupakan suatu keharusan, sifatnya imperatif.
Walaupun di Belanda sendiri pidana bersyarat itu lebih dimasukkan dalam WvS (Hindia Belanda) dalam tahun 1927, ada jarak waktu dua belas tahun.
Tidak segera direalisasikannya ketentuan mengenai pidana bersyarat itu kedalam WvS Hindia Belanda dikarenakan pada saat itu (1915)di Hindia Belanda belum ada lembaga reklasering. Baru pada tahun 1927l lembaga ini ada walaupu belum sempurna. Kemudian, setelah pidana bersyarat dimasukkan dalam WvS (KUHP) Hindia Belanda, barulah lembaga reklasering itu berkembang dengan baik. Hal ini berkat usaha dari seorang Belanda yakni Prof.Schepper selaku ketua dari “College voor de Reklasering”. Sementara itu, di Belanda pada saat itu lembaga reklasering telah berkembang dengan sangat baik.
Berlatar belakang bahwa pada saat itu (1927) lembaga reklasering di Hindia Belanda belum sempurna, maka untuk menetapkan pidana bersyarat di sini lebih diperketat jika dibandingkan dengan di Belanda, hal ini terlihat dari beberapa ketentuan yang ada dalam WvS Hindia Belanda yakni sebagai berikut.
1.      Pasal 14a (4) menyebutkan bahwa “perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup…” dari kalimat ini ternyata UU meminta (mengingat) hakim agar harus hati-hati dan teliti sebelum menetapkan pidana bersyarat dalam putusan pidana yang akan dijatuhkan.
2.      Pasal 14a (5) juga memerintahkan pada hakim agar dalam putusan dengan menetapkan pidana bersyarat harus disertai dengan alasan atau keadaan-keadaan mengapa pidana bersyarat itu ditetapkan.
Dalam hal-hal manakah hakim dapat menjatuhkan pidana dengan bersyarat? Dalam Pasal 14a ditentukan bahwa hakim dapat menetapkan pidana dengan bersyarat dalam putusan pemidanaan, apabila:
1.      Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun
2.      Hakim menjatuhkan pidana kurungan (bukan kurungan pengganti denda maupun kurungan pengganti perampasan barang)
3.      Hakim menjatuhkan pidana denda, dengan ketentuan ialah: (a) apabila benar-benar ternyata pembayaran denda atau perampasan barang yang ditetapkan dalam keputusan itu menimbulkan keberatan yang sangat bagi terpidana, dan (b) apabila pelaku tindak pidana yang dijatuhi denda bersyarat itu bukan berupa pelanggaran yang berhubungan dengan pendapatan Negara.
Tentang latar belakang ketentuan mengenai batas paling lama satu tahun bagi penjatuhan pidana yang dapat ditetapkan dengan bersyarat adalah bahwa untuk perkara-perkara yang lebih berat yang untuk penyelesaiannya dengan pertimbangan hakim harus menjatuhkan pidana yang lebih berat dari satu tahun, dilihat dari sudut penjatuhan pidana sebagai pembalasan, tidak ada tempat bagi pidana bersyarat. Artinya pidana bersyarat itu hanya ditetapkan untuk pemidanaan bagi perkara-perkara yang lebih ringan, yang dipertimbangkan oleh hakim sebagai sudah cukup adil (dari sudut pembalasan) jika dijatuhi pidana yang lebih ringan dengan pidana penjara yang lebih dari satu tahun. Dengan begitu tampaknya, rasio ketentuan batas maksimum satu tahun ini berlatar belakang bahwa dalam pidana bersyarat sudah tidak terdapat lagi rasa pembalasan, tetapi lebih menonjolkan maksud perbaikan. Rasa pembalasan itu perlu ada pada tindak pidana yang lebih berat yang dipandang adil dengan menjatuhkan pidana penjara diatas satu tahun.
Sementara itu, ketentuan yang melarang menjatuhkan pidana bersyarat atas pidana kurungan pengganti (denda atau perampasan barang), karena pidana kurungan pengganti bukan jenis pidana yang berdiri sendiri. Dengan kata lain, penetapan bersyarat itu hanya dapat dikenakan terhadap pidana pokoknya (primer), dan tidak terhadap pidana penggantinya (subsider).
Dilihat dari namanya, yaitu pidana bersyarat, ada syarat-syarat yang ditetapkan dalam putusan hakim, yang harus ditaati oleh terpidana untuk dapatnya ia dibebaskan dari pelaksanaan pidananya itu. Syarat-syarat itu dibedakan antara lain: (1) Syarat Umum, dan (2), Syarat Khusus.
Syarat umum bersifat imperative, artinya bila hakim menjatuhkan pidana dengan bersyarat, dalam putusannya itu harus ditetapkan syarat umum, sedangkan syarat khusus bersifat fakultatif (tidak menjadi keharusan untuk ditetapkan).
Dalam syarat umum, harus ditetapkan oleh hakim bahwa dalam tenggang waktu tertentu (masa percobaan) terpidana tidak boleh melakukan tindak pidana (14c ayat 1). Dalam syarat umum ini tampak benar sifat mendidik dalam putusan pidana dengan bersyarat, dan tidak tampak lagi rasa pembalasan sebagaimana dianut oleh teori pembalasan.
Sementara itu, dalam syarat khusus, hakim boleh menentukan hal-hal berikut ini:
1.      Penggantian kerugian akibat yang ditimbulkan oleh dilakukannya tindak pidana baik seluruhnya maupun sebagian, yang harus dibayarnya dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh hakim yang lebih pendek dari masa percobaan (14 ayat 1)
2.      Dalam hal hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas pelanggaran ketentuan Pasal 492 (mabuk ditempat umum), 504 (pengemisan), 505 (pergelandangan) 506 (mucikari), 536 (mabuk dijalan umum) hakim dapat menetapkan syarat-syarat khusus yang berhubungan dengan kelakuan terpidana (14a ayat 2), syarat-syarat khusus tersebut tidak diperkenankan sepanjang melanggar atau mengurangi hak-hak terpidana dalam hal berpolitik (kenegaraan) dan menjalankan agamanya (14a ayat 5).
Sementara itu mengenai lamanya masa percobaan itu, ditentukan (14b) sebagai berikut:
1.      Bagi kejahatan dan pelanggaran Pasal: 492, 504, 505, 506 dan 536 paling lama tiga tahun
2.      Bagi jenis pelanggaran lainnya adalah paling lama dua tahun.
Masa percobaan itu mulai berlaku sejak putusan menjadi tetap dan telah diberitahukan kepadanya menurut tata cara yang diatur dalam UU. Jika pernah dilakukan penahanan sementara, masa penahanan sementara itu tidak boleh diperhitungan (14b ayat 2 dan 3).
Syarat khusus mengganti kerugian, tidak boleh ditetapkan/dilekatkan apabila hakim menjatuhkan pidana denda dengan bersyarat didasarkan pada pertimbangan hakim bahwa terpidana benar-benar sangat berat (tidak mampu) membayar denda. Sudah barang tentu terpidana dalam keadaan ekonomi yang demikian, ia lebih tidak mampu lagi jika dibebani syarat khusus untuk mengganti kerugian.
Pelanggaran terhadap, baik syarat umum maupun syarat khusus, tidak dengan sendirinya/tidak secara otomatis pidana yang dijatuhkan benar-benar dilaksanakan. Untuk melaksanakan pidana setelah terbukti dilanggarnya syarat yang ditetapkan, jaksa penuntut umum tidak harus mengajukan permintaan pada hakim untuk melaksanakan pidananya. Begitu juga hakim tidak wajib mengabulkan permintaan jaksa penuntut umum untuk melaksanakan pidana yang telah diputusnya. Hakim bisa saja menjawab permintaan jaksa dengan surat peringatan saja kepada terpidana agar mematuhi syarat-syarat yang ternyata telah dilanggarnya itu.
Hakim dapat memerintahkan jaksa untuk melaksanakan putusan pemidanaan dalam hal:
1.      Jika dalam masa percobaan terpidana telah terbukti melakukan tindak pidana (melanggar syarat umum);
2.      Jika dalam masa percobaan telah terbukti melanggar syarat khusus
3.      Jika sebelum lewatnya masa percobaan, terbukti terpidana telah dipidana dengan putusan yang menjadi tetap karena tindak pidana yang lain yang dilakukannya sebelum masa percobaan berjalan;
4.      Setelah lewat masa percobaan, jika terpidana telah melakukan tindak pidana dalam masa percobaan itu, asal saja penuntutan terhadap tindak pidana yang kemudian itu berakhir dengan suatu putusan pemidanaan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (14f ayat 2)   
Pejabat yang member perintah agar pidana dijalankan adalah hakim yang telah menjatuhkan pidana pada tingkat pertama (hakim pada pengadilan tinggi yang bersangkutan) karena, walaupun kemudian perkara itu naik banding atau naik kasasi, pelaksanaan putusan pidana dengan bersyarat itu tetap pada hakim pengadilan tingkat pertama.[6][8]          
Dalam praktek hukuman semacam ini kiranya jarang sekali sampai dijalankan oleh karena si terhukum akan berusaha benar-benar dalam masa percobaan tidak melakukan suatu tindak pidana, dan syarat khusus biasanya dipenuhi.[7][9]




B.     Perkembangan Teoritis Tentang Tindak Pidana
1.      Teori Absolut (vergeldings theorien)
Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quaia peccatum est).pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahtan itu sendiri.
Menurut Johanes Andreas tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut adalah “untuk memuaskan tuntutan keadilan”.tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant didalam bukunya Philosophy of Law sebagai berikut ;
“… Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya), pembunuh terakhir yang masih berada didalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam yang tidak dibolehkan tetap ada pada anggota masyarakat, sebab apabila tidak demikian mereka dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.”
            Jadi pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid). Salah seorang tokoh penganut teori absolut yang terkenal yaitu Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan suatu keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.
Teori Hegel yang dikenal dengan quasi-mathematic, yaitu;
1)        Wrong being (crime) is the negation of right and
2)        Punishment is the negation of the negation.
                   Menurut Nigel Walker teori retributif dibagi dalam beberapa golongan, yaitu;
a.       Teori retributif murni (the pure retributivist),yaitu bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat.


b.      Teori tidak murni, teori ini dibagi pula ke dalam  :
1)                Teori retributif terbatas (the limiting retributivist), yaitu pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa;
2)                Teori retributif yang distributif (retribution in distribution), yaitu pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi juga pidana tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan.
Menurut John Kaplan, teori retribution dibedakan menjadi dua teori, yaitu;
                                            1.            Teori pembalasan (the revenge theory), yaitu pembalasan mengandung arti bahwa utang si penjahat “telah dibayar kembali”(the criminal is paid back);
                                            2.            Teori penebusan dosa (the expiration theory), yaitu penebusan mengandung arti bahwa si penjahat “telah membayar kembali utangnya” (the criminal pays back).

2.      Teori Relatif atau Teori Tujuan (doel theorien)
Menurut teori ini memidanakan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai saran untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, J.Andeanaes berpendapat teori ini dapat disebut teori perlidungan masyarakat (the theory of sosial defence).
                   Menurut Negel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atua aliran reduktif (the “reductive”point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu,teori ini disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena yang membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan).
                   Menurut Karl O. Christiansen, ada perbedaan pokok atau perbedaan karakteristik antara teori retributif dan teori utilitarian, yaitu;
1)      Teori retribution :
a.       Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan
b.      Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
c.       Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
d.      Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
e.       Pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
2)      Teori utilitarian
a.       Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention)
b.      Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat;
c.       Hanya pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d.      Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;
e.       Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. 

3.      Teori Gabungan ( vereniging theorie)
Teori ini dianjurkan pertama kali oleh Pelligro Rossi (1787-1884). Teori ini menjabarkan bahwa tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil. Namun, teori ini berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.[8][10]

C.    Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi
1.      Pengertian Tindak Pidana
Istilah Tindak Pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah Strafbaar feit adalah sebagai berikut:[9][11]
a.       Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan Indonesia.
b.      Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum seperti, Mr. R.Tresna, Prof. A. Zainal Abidin, S.H dan Pembentuk Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950.
c.       Delik, digunakan oleh Prof. Drs. E. Utrecht, dan S.H, Prof. Moeljatno.
d.      Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja.
e.       Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-Undang dalam Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak
f.       Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, seperti dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana.
Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum, baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, dan feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.[10][12] Apabiladi hubungkan dengan dengan berbagai peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia terlihat tidak ada pola yang sama didalam mendefinisikan tindak pidana. Kecenderungan pada tahap kebijakan legislatif untuk menggunakan kata pidana.[11][13] 
Beberapa Pengertian Strafbaar feit menurut para ahli, yaitu:[12][14]
1.      Simons.
Dalam Rumusannya Strafbaar feit itu adalah:
“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.

Alasan dari Simons mengapa Strafbaar feit harus dirumuskan seperti diatas karena:
a.       Untuk adanya suatu Strafbaar feit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
b.      Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang.
c.       Setiap Strafbaar feit sebagai pelanggaran tehadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.
2.      E. Utrecht
Menerjemahkan Strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan ayau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.

3.      Pompe
Strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu:
”pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum”.

4.      Prof. Moeljatno
“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan)”.

Beliau mengemukakan bahwa menurut ujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat dianggap baik dan adil.
 
R. Tresna mengartikan Strafbaar feit sebagai peristiwa pidana”Suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau suatu peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.[13][15]
Vos merumuskan bahwa Strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.[14][16]
J.E. Jonkers, yang merumuskan peristiwa pidana ialah”Perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan”.[15][17] 
Didalam menjatuhkan sesuatu hukuman itu tidaklah cukup apabila hanya terdapat suatu Strafbaar feit saja melainkan harus juga ada suatu Strafbaar person yaitu, seseorang yang dapat dihukum, dimana orang tersebut tidak dapat dihukum apabila Strafbaar feit yang telah ia lakukan itu tidak bersifat ”wederechtelijk” (bersifat melanggar hukum) dan telah ia lakukan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja.[16][18]
Pada umumnya, setiap tindak pidana yang terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu dapat dijabarkan menjadi dua unsur, yakni unsur subjektif dan unsur objektif.[17][19] Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:
a.       Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
b.      Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging, seperti yang dimaksud di dalam Pasal 3 ayat 1 KUHP
c.       Mempunyai macam-macam maksud seperti yang terdapat misal dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
d.      Merencanakan terlebih dahulu, misalnya yang terdapat di dalam rumusan tindak pidana pembunuhan Pasal 340 KUHP.
e.       Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Sedangkan unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
a.       Bersifat melanggar hukum atau wederechtelikheid
b.      Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP
c.       Adanya kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
Didalam KUH Pidana (WvS) Indonesia, tindak pidana dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu sebagai berikut:
1.      Kejahatan
Termuat dalam buku II dari Pasal 104 sampai dengan Pasal Pasal 488
2.      Pelanggaran
Termuat dalam buku III, dimulai dari Pasal 489 sampai dengan Pasal 569 yang terdiri dari 9 jenis pelanggaran.
adanya pengklasifikasian tindak pidana yang termasuk atau digolongkan sebagai kejahatan baik terdapat dalam KUH Pidana Buku II maupun Undang-Undang diluar KUH Pidana, maka pada dasarnya tindak pidana merupakan jenis kriminalitas yang tergolong berat dan sangat membahayakan kepentingan individu, masyarakat maupun negara dan ketiga hal ini yang hendak dilindungi oleh hukum pidana apabila dibandingkan dengan jenis-jenis pelanggaran baik yang terdapat dalam KUHP maupun diluar KUHP.[18][20]   

2.      Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi sudah dikenal dan ada dalam khasanah hukum Indonesia sejak adanya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-08/1958 tentang Penyelidikan Harta Benda. Istilah ini dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (a) yang menyatakan bahwa selain wewenang mengadakan penyelidikan terhadap harta benda seseorang yang diasangka melakukan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tanggal 9 April 1957 Penguasa Militer berwenang pula mengadakan penyelidikan terhadap harta benda setiap orang atau badan di dalam daerah yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.[19][21]
Dewasa ini, jika membicarakan masalah korupsi maka seringkali yang ada dalam benak kita khususnya masyarakat awam hanyalah mengenai persoalan perbuatan penyelewengan keuangan atau penyuapan. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai walaupun mendekati masalah itu dari berbagai aspek.[20][22]
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa :
1.      Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.
2.      Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
Dalam Black’s Law Dictionary, Korupsi merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain.[21][23]
Arti secara harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina atau memfitnah, penyuapan, niet ambtelijk corruptie; dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang penerimaan uang sogok dan sebagainya.[22][24]
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptive adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan Negara.[23][25] 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain, penerimaan uang sogokan atau lainnya.[24][26]
 Andi Hamzah yang mengutip dari The Lexicon Webster Dictionary mengartikan: korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.[25][27]
Menurut Syed Hussein Alatas korupsi ini dalam prakteknya meliputi cirri-ciri sebagai berikut:[26][28]
1.      Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang
2.      Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan
3.      Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik
4.      Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung dibalik pembenaran hukum
5.      Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas dan mereka mempengaruhi keputusan.
6.      Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan public atau masyarakat umum.
7.      Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan.
8.      Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan itu
9.      Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
Didalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, terdapat tiga istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara, dan perekonomian negara.
Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah:
1.      Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2.      Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya atau perekonomian negara.[27][29] 
Sedangkan pengertian keuangan negara dalam undang-undang ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala kekayaan dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya:
a.       Berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.
b.      Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Dengan memperhatikan rumusan diatas, maka berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang dapat dijadikan subjek tindak pidana korupsi tidak hanya manusia tetapi juga Badan Hukum. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 1 ayat (3) yang dimaksud dengan setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi sedangkan yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Didalam kepustakaan ilmu hukum, yang dimaksud dengan badan hukum adalah subjek hukum yang bukan merupakan manusia, tetapi merupakan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.[28][30]
Badan hukum dianggap sebagai subjek Tindak Pidana terutama dalam hal-hal yang menyangkut:
1.      Sumber keuangan negara (pajak, bea ekspor dam impor barang dan sebagainya)
2.      Pengaturan perekonomian berupa pengendalian harga, penggunaan cek, pengaturan perusahaan dan sebagainya.
3.      Pengaturan keamanan (subversi, keadaan bahaya dan sebagainya)[29][31]
Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Dalam ilmu hukum dikenal dua macam sifat melawan hukum, yaitu:
1.      Melawan hukum Materiil (Materiele Wederrechtelijkheid), merupakan pengertian melawan hukum yang luas, yaitu; melawan hukum sebagai unsur yang tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis (dasar-dasar hukum pada umumnya)
2.      Melawan hukum Formal (Foermele Wederrechtelijkheid), merupakan unsur dari hukum positif yang tertulis saja sehingga ia baru merupakan unsur daripada tindak pidana, apabila ditegaskan disebutkan dalam rumusan tindak pidana. 
Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai dengan Pasal 2 ayat 1. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.[30][32]    

3.      Bentuk-bentuk  Tindak Pidana Korupsi
Persoalan korupsi yang sekarang telah menjadi gurita dalam system pemerintahan di Indonesia merupakan gambaran dari bobroknya tata pemerintahan di negara ini. Fenomena ini telah menghasilkan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta buruknya pelayanan publik. Akibat dari korupsi penderitaan selalu dialami oleh masyarakat, terutama yang berada dibawah garis kemiskinan.
Beberapa bentuk korupsi secara umum:[31][33]
1.      Pemberian Suap/sogok
Manusia cenderung berambisi hidup dengan kemewahan, kehormatan dan jenuh dengan kemiskinan dan penderitaan. Sehingga manusia yang tergolong kedalam tipe tersebut melakukan apapun yang dapat ia lakukan tanpa mempertimbangkan prinsif-prinsif moralitas, etika ataupun kebenaran umum. Berbagai cara yang haram pun mulai muncul dalam pikiran mereka dan salah satu diantaranya adalah dengan memberikan suap.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II, tahun 1991, tidak dapat ditemukan definisi kata ini, tetapi kita dapat menemukan sinonimnya yaitu sogok yang didefinisikan adalah dana yang sangat besar yang digunakan untuk menyogok para petugas.
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, antara lain diatur dalam Pasal 5, 6, 11 dan 12.
2.      Pemalsuan
Pemalsuan merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain.
Kegiatan yang dianggap signifikan dalam intensitas kemunculan pemnipuan adalah meninggikan anggaran dalam pengajuan kegiatan serta menggunakan barang milik negara untuk kepentingan pribadi.

3.      Pemerasan
Pemerasan merupakan perbuatan memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang atau barang atau bentuk lain sebagai ganti dari seorang pejabat publik untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan tersebut dapat diikuti dengan ancaman fisik ataupun kekerasan.

4.      Penyalahgunaan Jabatan atau Wewenang
Merupakan perbuatan mempergunakan kewenangan yang dimiliki, untuk melakukan tindakan yang memihak atau pilih kasih kepada kelompok atau perseorangan, sementara bersikap diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya. Pasal 3 UU No.31 tahun1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi menentukan penyalahgunaan jabatan atau wewenang adalah setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.  

5.      Nepotisme
Nepotisme dipakai sebagai istilah untuk menggambarkan perbuatan mengutamakan sanak keluarga, kawan dekat serta anggota partai politik yang sepaham, tanpa memeperhatikan persyaratan yang ditentukan.




















BAB III
PEMBAHASAN

A.    Mengapa pidana dengan bersyarat dapat diterapkan terhadap  tindak pidana
korupsi yang merupakan extra ordinary crime.
Pada dasarnya,  penerapan pidana dengan bersyarat tidak diatur didalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999 diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Sanksi pidana yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi yaitu:[32][34]
1.      Pidana Mati
Didalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana yang diancam mati yaitu Pasal 2 ayat (2). Pidana Mati disini “dapat diancam apabila tindak pidana yang diatur pada ayat (2) beserta penjelasannya. Keadaan tertentu dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUPTK yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan militer.[33][35]
2.      Pidana Penjara
Semua tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diancam dengan pidana penjara baik penjara seumur hidup maupun sementara. Pidana penjara seumur hidup terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), 3, 12, 12B ayat (2). Pidana penjara sementara diancam dengan batas maksimum dan batas minimum. Batas minimum ditentukan dalam Pasal-Pasal dalam UU ini sebagai salah satu upaya dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.[34][36]
3.      Pidana Denda
Undang-undang PTPK menerapkan pidana denda yang tinggi sebagai salah satu upaya dalam mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi[35][37]
4.      Pidana Tambahan
Pasal 18 UU PTPK mengatur mengenai jenis pidana tambahan yang dapat diancamkan kepada terdakwa yang melanggar Pasal-Pasal yang ditentukan Pasal 17 yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14 UU PTPK. Pidana tambahan yang dapat dikenakan yaitu pidana tambahan yang terdapat Pasal 10 KUHP.[36][38]
            Kemudian penulis menemukan beberapa putusan Pengadilan baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi bahkan di Tingkat Mahkamah Agung yang menjatuhkan Putusan Pidana dengan Bersyarat, seperti dua Putusan berikut:
1.      Putusan Mahkamah Agung No. 1702 K/Pid/2007
Membaca Putusan Pengadilan Negeri Samarinda Nomor: 376/Pid.B/2005/PN. Smda tanggal 16 Februari 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut:
a.       Menyatakan terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD BIN H. AS’AD ZAMZAM tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara Bersama-sama dan berlanjut;
b.      Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD BIN H. AS’AD ZAMZAM dengan pidana penjara selama 4 (empat) Tahun dan pidana denda sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan;
c.       Menghukum terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD BIN H. AS’AD ZAMZAM untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 3.463.175,- (tiga milyar empat ratus enam puluh tiga juta seratus tujuh puluh lima ribu rupiah) dikurangi harta yang disita berupa:
-          1 (satu) bidang tanah dan bangunan rumah di perum Pandan Arum Blok B No.12 Samarinda dan 1 (satu) bidang tanah dan bangunan rumah di Perum Karpotek Blok Y No. 15 Samarinda senilai Rp.900.000.000,- (Sembilan ratus juta rupiah)
-          1 (satu) bidang tanah dan bangunan Ruko di halan P. Antasari HGB No. 1744 Samarinda senilai Rp.1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun;
d.      Menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, kecuali waktu selama dirawat nginap di rumah sakit di luar Rumah Tahanan Negara yang tidak ikut dikurangkan;
e.       Menyatakan barang bukti berupa:
-          (satu) bidang tanah dan bangunan rumah di Perum Pandan Arum Blok B No. 12 Samarinda
-          1 (satu) bidang tanah dan bangunan rumah di Perum Karpotek Blok Y No.15 Samarinda;
-          1 ( satu) bidang tanah dan bangunan Ruko di jalan P. Antasari HGB No. 1744 Samarinda;
Dirampas untuk negara;
-          Rekening Koran pada Bank BPD Samarinda No. 10.0000130758.7 dengan saldo Rp. 3.125.179,97,-
-          Rekening Koran pada Bank BCA Samarinda No. 027.0811779 dengan saldo Rp.8.553.447,87
Dikembalikan kepada terdakwa;
-          Barang bukti berupa surat/dokumen tetap dilampirkan dalam berkas perkara ini;
f.       Menghukum terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah);

Membaca Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur No.62/Pid/2006/PT.KT.SMDA tanggal 13 Oktober 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut:
-          Menerima permintaan banding dari terdakwa dan jaksa penuntut umum;
-          Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Samarinda tanggal 16 Februari 2006 nomor: 376/Pid.B/2005/PN.Smda yang dimintakan banding tersebut dengan perbaikan sekedar mengenai status barang bukti, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1.    menyatakan terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama Dan berlanjut;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan Pidana denda sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan;
3. menghukum terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.3.463.175.000,- (tiga milyar empat ratus enam puluh tiga juta seratus tujuh puluh lima ribu rupiah) dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun;
4. menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, kecuali waktu selama dirawat nginap di rumah sakit di luar Rumah Tahanan Negara yang tidak ikut dikurangkan;
5. menyatakan barang bukti berupa:
-  (satu) bidang tanah dan bangunan rumah di Perum Pandan Arum Blok B No.12 Samarinda;
- 1 (satu) bidang tanah dan bangunan rumah di Perum Karpotek Blok Y No.15 Samarinda;
- 1 (satu) bidang tanah dan bangunan Ruko di Jalan P. Antasari HGB No.1744 Samarinda;
Dikembalikan kepada Ny. Fauziah Kasyful;
- Rekening Koran pada Bank BPD Samarinda No.10.0000130758.7 dengan saldo Rp.3.125.179,97,-;
-   Rekening Koran pada Bank BCA Samarinda No.027.081177 dengan saldo Rp.8.553.447,87 Dikembalikan kepada terdakwa;
-   Barang bukti berupa surat/dokumen tetap dilampirkan dalam berkas perkara ini;

6. Menghukum terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah);

Membaca Putusan Mahkamah Agung No.1702 K/Pid/2007 tanggal 28 Januari 2008 yang amar lengkapnya sebagai berikut:
1.      Menyatakan terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana : KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DAN SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT;
2.      Menghukum oleh karena itu terdakwa dengan pidana penjara selama 1(satu) tahun;
3.      Memerintahkan bahwa hukuman tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim menentukan lain, disebabkan karenaterdakwa melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut yaitu 1 (satu) tahun habis;
2.      Menghukum pula terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.50.000.000,-(lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun habis;
5.  Menetapkan barang-barang bukti berupa sebagai berikut:
1.   - 1 (satu) bidang tanah dan bangunan rumah di Perum Pandan Arum  Blok B No.12 Samarinda;
- 1 (satu) bidang tanah dan bangunan rumah di Perum Karpotek Blok Y No.15 Samarinda;
- 1 (satu) bidang tanah dan bangunan Ruko di Jalan P. Antasari HGB No.1744 Samarinda;
Dikembalikan kepada Ny. Fauziah Kasyful;
2. - Rekening Koran pada Bank BPD Samarinda No.10.0000130758.7 dengan saldo Rp.3.125.179,97,-;
-   Rekening Koran pada Bank BCA Samarinda No.027.0811779 dengan saldo Rp.8.553.447,87 Dikembalikan kepada terdakwa Drs. Kasyful Anwar As’Ad bin H. As’ad Zamzam;
3. Barang bukti berupa surat/dokumen tetap dilampirkan dalam berkas  perkara ini;
" Membebankan biaya perkara ini dalam semua tingkat peradilan kepada terdakwa yang dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah);
2.      Putusan No.611 K/Pid/2006
Membaca putusan Pengadilan Negeri Banyumas No.39 / Pid.B / 1999 / PN.Bms tanggal 24 November 1999 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
- Menyatakan Terdakwa MARTOJOEWOTO alias WARMONO seperti tersebut diatas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : KORUPSI DILAKUKAN SECARA BERLANJUT”;
- Memidana Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan;
- Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp.1.195.000,- (satu juta seratus sembilan puluh lima ribu rupiah);
- Memerintahkan barang bukti dalam perkara ini berupa :
1. Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banyumas Nomor141/419/84/51 tertanggal 23 Oktober 1984, tentang Pemutihan Surat Keputusan pengangkatan dalam jabatan Perangkat Desa atas nama
MARTOJOEWONO sebagai Sekretaris Desa dikembalikan kepada Terdakwa;
2. Buku Kas Umum Model C.2 bulan Januari 1996 sampai dengan bulan Februari 1998 dan Buku Kas Umum Model C.2 bulan Maret 1998 sampai dengan bulan Februari 1999 dikembalikan pada Pemerintah Desa Karangnanas melalui saksi Karsan Siswodiharjo;
3. Kwitansi tertanggal 27 Juni 1996 yang ditanda tangani oleh W.Martojoewono yang berisi penerimaan uang dari Yudiharjo Wahyudi sebanyak Rp.1.000.000,- untuk pembayar sewa garapan sawah seluas 1 bau dalam waktu 2 tahun terhitung mulai ranteban 1996 sampai dengan sadon 1998;
4. Kwitansi tertanggal 12 September 1996 yang ditanda tangani oleh Martorjoewono yang berisi penerimaan uang dari Wahyudi sebanyak Rp.600.000,- untuk pembayaran sewa garapan tanah benda desa seluas 1 bau dalam waktu 4 potong (2 tahun);
5. Kwitansi tertanggal 27 Juni 1996 yang ditanda tangani oleh K.Siswodiharjo yang berisi penerimaan uang dari Yudiharjo sebanyak Rp.700.000,- guna membayar uang sewa garapan sawah 2 potong (1 tahun);
6. Kwitansi tertanggal 1 Oktober 1998 yang ditanda tangani oleh K. Siswodiharjo yang berisi uang dari Yudiharjo sebanyak Rp.500.000,- guna membayar satu potong garapan sawah bekas pensiunan bk Mulyasengaja seluas 1 bau;
7. Kwitansi tertanggal 27 Oktober 1997 yang ditanda tangani oleh Martojoewono yang berisi penerimaan uang dari Budi Sutrisno sebanyak Rp.500.000,- guna membayar swadaya pembangunan 1997;
8. Kwitansi tertanggal 17 Desember 1998 yang ditanda tangani oleh Rikun Anshori yang berisi penerimaan uang dari Budi Sutrisno sebanyak Rp.50.000,- guna membayar swadaya pembangunan desa Karangnanas Tahun Anggaran 1998/1999;
Nomor 7 dan Nomor 8 dikembalikan kepada saksi Budi Sutrisno;
9. Surat Pernyataan tertanggal 13 Oktober 1999 yang ditanda tangani oleh Adi Prayitno pemilik toko Gemilang tetap dilampirkan dalam berkas perkara ini;
-- Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.2.500,-(dua ribu lima ratus rupiah);

Membaca putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang No. 26/Pid/2000/PT.   Smg tanggal 23 Februari 2000 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
-- Menerima permintaan banding dari Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum ;
-- Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Banyumas tanggal 24 November 1999 No.39/Pid.B/1999/PN.Bms yang dimohonkan banding, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
-- Menyatakan Terdakwa Martojoewono alias Warmono seperti tersebut diatas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI DILAKUKAN SECARA BERLANJUT”;
-- Menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan;
-- Memerintahkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain, disebabkan karena sebelum selesainya masa percobaan selama 1 (satu) tahun, terpidana melakukan perbuatan pidana;
-- Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp.1.745.000,- (satu juta tujuh ratus empat puluh lima ribu rupiah);
-- Memerintahkan barang bukti berupa :
1. Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 141/419/84/51 tanggal 23 Oktober 1984, tentang pemutihan Surat Keputusan pegangkatan dalam jabatan Perangkat Desa atas nama Martojoewono sebagai Sekretaris Desa, dikembalikan kepada Terdakwa ;
2. Buku Kas Umum Model C.2 bulan Januari 1996 sampai dengan bulan Februari 1998 dan Buku Kas Umum Model C.2 bulan Maret 1998 sampai dengan bulan Februari 1999 dikembalikan pada Pemerintah Desa Karangnanas melalui saksi Karsan Siswodiharjo;
3. Kwitansi tertanggal 27 Juni 1996 yang ditanda tangani oleh                    W. Martojoewono yang berisi penerimaan uang dari Yudiharjo Wahyudi sebanyak Rp.1.000.000,- untuk pembayar sewa garapan sawah seluas 1 bau dalam waktu 2 tahun terhitung mulai ranteban 1996 sampai dengan sadon 1998;
4. Kwitansi tertanggal 12 September 1996 yang ditanda tangani oleh Martorjoewono yang berisi penerimaan uang dari Wahyudi sebanyak Rp.600.000,- untuk pembayaran sewa garapan tanah benda desa seluas 1 bau dalam waktu 4 potong (2 tahun);
5. Kwitansi tertanggal 27 Juni 1996 yang ditanda tangani oleh K. Siswodiharjo yang berisi penerimaan uang dari Yudiharjo sebanyak Rp.700.000,- guna membayar uang sewa garapan sawah 2 potong (1 tahun);
6. Kwitansi tertanggal 1 Oktober 1998 yang ditanda tangani oleh K.Siswodiharjo yang berisi uang dari Yudiharjo sebanyak Rp.500.000,- guna membayar satu potong garapan sawah bekas pensiunan bk Mulyasengaja seluas 1 bau;
7. Kwitansi tertanggal 27 Oktober 1997 yang ditanda tangani oleh Martojoewono yang berisi penerimaan uang dari Budi Sutrisno sebanyak Rp.500.000,- guna membayar swadaya pembangunan 1997;
8. Kwitansi tertanggal 17 Desember 1998 yang ditanda tangani oleh Rikun Anshori yang berisi penerimaan uang dari Budi Sutrisno sebanyak Rp.50.000,- guna membayar swadaya pembangunan desa Karangnanas Tahun Anggaran 1998/1999;
Nomor 7 dan Nomor 8 dikembalikan kepada saksi Budi Sutrisno;
9. Surat Pernyataan tertanggal 13 Oktober 1999 yang ditanda tangani oleh Adi Prayitno pemilik toko Gemilang tetap dilampirkan dalam berkas perkara ini;

-- Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam peradilan tingkat pertama sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah), dalam tingkat banding sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah);

Kemudian ditingkat Kasasi Mahkamah Agung, Hakim Agung yang menangani Perkara ini menolak permohonan Kasasi dari Jaksa/Penuntut Umum pada kejaksaan  Negeri Banyumas tersebut, sehingga Pidana yang dijatuhkan terhadap Terpidana yang berlaku adalah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang No. 26/Pid/2000/PT.Smg tanggal 23 Februari 2000.

Dari dua putusan pengadilan diatas maka, penulis mengetahui bahwa selain ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengacu kepada Pasal 10 KUHP masih ada lagi jenis pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada terpidana Tindak Pidana Korupsi, yaitu dengan menjatuhkan putusan pidana dengan bersyarat. Dengan kata lain hukuman tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena sebelum selesainya masa percobaan selama 1 (satu) tahun, terpidana melakukan perbuatan pidana. Lalu, sebagai tambahan juga dijatuhkan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti dan pidana denda.
Berdasarkan Pasal 14a sampai dengan Pasal 14f Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka, yang dapat dijatuhi putusan pidana dengan bersyarat hanyalah tindak pidana yang bersifat ringan (tipiring) sehingga bila pidana dengan bersyarat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi akan melukai semangat pemberantasan korupsi di Indonesia dan menyalahi ketentuan-ketentuan didalam Undang-Undang No.31 tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Karena Didalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut menentukan batasan minimal dan maksimal hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana maksimalnya adalah hukuman mati.
             
B.     Apakah yang menjadi alasan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dengan bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Bagi hakim yang bijak, ketika ia akan menarik dan menetapkan amar putusan, ia terlebih dulu akan merenungkan dan mempertimbangkan benar tentang manfaat apa yang akan dicapai dari penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik bagi terdakwa, maupun masyarakat dan negara.[37][39]    
Hukuman atau sanksi yang dianut hukum pidana membedakan hukuman pidana dengan bagian hukum yang lain. Hukuman dalam hukum pidana ditujukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup yang teratur.[38][40]           
Didalam system hukum acara pidana, pada pokoknya dikenal dua jenis putusan pengadilan:
1.      Jenis Putusan yang bersifat Formil
Jenis yang pertama adalah putusan pengadilan yang bukan merupakan putusan akhir, yaitu:
a.       Putusan yang berisi pertanyaan tidak berwenangnya pengadilan untuk memeriksa suatu perkara (onbevoegde verklaring), Pasal 148 ayat 1 (KUHAP). Contoh, perkara yang diajukan oleh penuntut umum bukan merupakan kewenangan pengadilan yang bersangkutan, melainkan kewenangan pengadilan lain.
b.      Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan/surat dakwaan penuntut umum batal (nietig verklaring van de acte van verwijzing Pasal 156 ayat (1) KUHAP.) dalam hal ini misalnya surat dakwaan jaksa tidak memenuhi Pasal 143 ayat (3) KUHAP, yaitu tidak dicantumkannya waktu dan tempat tindak pidana dilakukan di dalam surat dakwaan.
c.       Putusan yang berisi pernyataan bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard-Pasal 156 ayat (1) KUHAP). Misalnya, perkara yang diajukan oleh penuntut umum sudah daluarsa, nebis in idem, perkara yang memerlukan syarat aduan (klacht delict), penuntutan seorang penerbit yang telah memenuhi syarat Pasal 61 KUHP.
d.      Putusan yang berisi penundaan pemeriksaan perkara oleh karena ada perselisihan prejudisiel 
2.      Jenis Putusan yang bersifat Materil
Sedangkan yang kedua adalah jenis putusan pengadilan yang merupakan putusan akhir (eind vonnis), yaitu:
a.       Putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari dakwaan (vrijspraak) Pasal 191 ayat (1) KUHAP
b.      Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging)- Pasal 191 ayat (2) KUHAP
c.       Putusan yang berisi suatu pemidanaan (veroordeling)- Pasal 193 ayat (1) KUHAP.[39][41]

A.d.a. Putusan Bebas (vrijspraak)
Putusan yang demikian ini dijatuhkan oleh pengadilan apabila ia berpendapat bahwa kesalahan atau perbuatan yang didakwakan terhadap terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan di dalam pemeriksaan di pengadilan.
Tidak terbuktinya kesalahan terdakwa ini adalah minimum bukti yang ditetapkan oleh undang-undang tidak terpenuhi, misalnya hanya ada keterangan tersangka, tanpa dikuatkan oleh alat bukti lain, atau alat bukti terpenuhi, tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa. Putusan bebas ini bersifat negative, dalam arti bahwa putusan itu tidak menyatakan terdakwa tidak melakukan perbuatan yang didakwakan itu, melainkan menyatakan bahwa kesalahan terdakwa tidak terbukti. Jadi, bahwa di persidangan hal itu tidak terbukti.[40][42] 
A.d.b. Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum
Putusan ini dijatuhkan oleh hakim jika ia berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, jadi bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana. Oleh perbuatan yang terbukti itu sama sekali tidak dapat dimasukkan dalam salah satu ketentuan undang-undang pidana atau karena adanya alasan pembenar (rechtvaardigingsground) tersebut dalam Pasal 48 KUHP, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 KUHP dan Pasal 51 Ayat (1) KUHP
Putusan ini juga dijatuhkan oleh hakim dalam hal perbuatan yang terbukti itu merupakan tindak pidana, akan tetapi terdakwanya tidak dapat dipidana disebabkan tidak adanya kemampuan bertanggung jawab tersebut dalam Pasal 44 KUHP atau disebabkan adanya alasan pemaaf tersebut dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP dan Pasal 51 ayat (2) KUHP. Adapun perbedaan yang prinsipil antara dua macam putusan tersebut diatas ialah bahwa dalam hal putusan bebas jaksa tidak dapat naik banding kepada pengadilan tinggi (Pasal 67 KUHAP), sedangkan dalam hal pelepasan dari segala tuntutan hukum dapat dimintakan banding, baik oleh terdakwa atau jaksa).[41][43]   
A.d.c. Putusan Pemidanaan
Putusan pemidanaan ini dijatuhkan oleh hakim apabila kesalahan terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya dianggap terbukti dengan sah dan meyakinkan. Jadi, menurut Pasal 193 ayat (1) KUHAP apabila terdakwanya pada waktu melakukan tindak pidana itu belum berumur enam belas tahun maka hakim dapat memilih di antara ketentuan yang disebut dalam Pasal 45 KUHP, yaitu:
a.       Menyerahkan kembali kepada orang tuanya atau wali tanpa dikenakan suatu pidana;
b.      Memerintahkan agar terdakwa diserahkan kepada pemerintah, dan supaya dipelihara dalam suatu tempat pendidikan negara sampai berumur delapan belas tahun (lihat Pasal 46 KUHP);
c.       Menjatuhkan pidana kepada terdakwa.[42][44]

3.      berdasarkan jenis-jenis putusan pengadilan diatas, hakim harus memberikan pertimbangan yang harus adil dalam menjatuhkan putusan.  Dari putusan-putusan pidana dengan bersyarat yang sudah ada sebelumnya Putusan Mahkamah Agung No. 1702 K/Pid/2007 dan Putusan No.611 K/Pid/2006 yang menjadi dasar pertimbangannya adalah sebagai berikut:
1.      Putusan Mahkamah Agung No. 1702 K/Pid/2007
Menimbang, bahwa untuk menentukan jenis pidana dan lamanya pidana yang dijatuhkan, Mahkamah Agung akan memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pemidanaan sebagai berikut :

Hal-hal yang memberatkan:
1. Perbuatan terdakwa merugikan keuangan Pemerintah Provinsi   Kalimantan Timur;
2. Perbuatan terdakwa menghambat usaha untuk mewujudkan clean government;
3. Perbuatan terdakwa dapat menurunkan citra dan wibawa lembaga DPRD;
Hal-hal yang meringankan
1. Terdakwa belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga;
2. Terdakwa di persidangan sangat kooperatif, sopan dan tidak menghambat persidangan;
3. Terdakwa tidak terlibat dalam pengelolaan keuangan DPRD Kaltim dan tidak ikut dalam kesepakatan dalam hal pembukaan rekening atas nama Ketua DPRD Kaltim;
4. bahwa sebagian besar uang yang diterima oleh terdakwa telah digunakan untuk kepentingan sosial;
Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka Mahkamah Agung akan menjatuhkan pidana yang jenis dan lamanya akan mewujudkan tujuan pemidanaan yang lebih bersifat edukatif, korektif dan preventif;
2.      Putusan Mahkamah Agung No.611 KPid/2006
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi pada pokoknya sebagai berikut :
1.  Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banyumas dalam putusannya Nomor 39/Pid.B/1999/PN.Bms. tanggal 24 November 1999 menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama 5 (lima) bulan;
2.  Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang dalam putusannya Nomor 26/Pid/2000/PT.Smg tanggal 23 Februari 2000 menyatakan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Banyumas 39/Pid.B/1999/PN.Bms tanggal 24 November 1999 tersebut, dengan menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dengan perintah bahwa hukuman tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim yang memerintahkan lain disebabkan karena sebelum selesainya masa percobaan selama 1 (satu) tahun terpidana melakukan suatu perbuatan pidana;
3. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang dalam pertimbangan putusannya (pada halaman 14) adalah sebagai berikut :
3.1. Jumlah yang dikorupsi oleh Terdakwa relatif sangat kecil tidak sesuai dengan pengabdian;
3.2. Terdakwa sudah berupaya menyerahkan kembali uang tersebut, akan tetapi ditolak, sebagai hal yang meringankan ;
4. Bahwa sehubungan dengan alasan pertimbangan tersebut Nomor 3 diatas, kami Jaksa Penuntut Umum akan menanggapinya sebagai berikut :
4.1. Bahwa pengabdian Terdakwa telah dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk meringankan penjatuhan pidana kepada Terdakwa ; Bahwa pertimbangan tentang pengabdian Terdakwa, adalah bukan merupakan pertimbangan yuridis dan oleh karena itu, tidak dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk meringankan penjatuhkan pidana. Disamping itu, pertimbangan pengabdian tersebut juga tidak jelas karena Pengadilan Tinggi tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan pengabdian tersebut ;
4.2. Bahwa Terdakwa oleh Penuntut Umum didakwa melakukan  tindak pidana Korupsi sebesar Rp.1.991.000,- dan oleh Pengadilan Negeri  Banyumas dinyatakan terbukti sebesar Rp.1.195.000,-;

Apa yang disebut oleh Pengadilan Tinggi Jawa Tengah bahwa Terdakwa telah berupaya menyerahkan kembali uang tersebut (yang ditolak oleh Ka Ur Keuangan), pernyataan Pengadilan Tinggi mengenai upaya penyerahan kembali yang demikian ini, adalah tidak tepat sehingga perlu kami luruskan sebagai berikut :
4.2.1. Bahwa pernyataan Pengadilan Tinggi tersebut memberi kesan seolah-olah Terdakwa berupaya menyerahkan seluruh uang yang dikorupsi, padahal yang senyatanya tidak demikian, Terdakwa pada waktu itu hanya akan menyerahkan / menyetorkan uang pologoro Rp.95.000,- bukan seluruh uang yang dikorupsi;

4.2.2.  Bahwa uang pologoro sebesar Rp.95.000,- tersebut sebenarnya sudah Terdakwa terima dari penduduk sejak lama (kira-kira satu tahun yang lalu) akan tetapi baru diserahkan kepada Ka Ur Keuangan pada waktu setelah proses pemeriksaan perkaranya sedang berlangsung di Kejaksaan Negeri Banyumas. Penolakan penyetoran uang pologoro tersebut oleh Kaur Keuangan didasarkan pada pertimbangan adanya kekhawatiran pihak Perangkat Desa itu jika sampai mengganggu proses pemeriksaan Kejaksaan ;
4.2.3. Bahwa dengan demikian maka upaya Terdakwa untuk menyerahkan uang pologoro tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pertimbangan yang meringankan bagi penjatuhan pidana terhadap Terdakwa sebab kecuali uang pologoro itu belum diterima sampai saat pemeriksaan persidangan pengadilan, jumlahnya juga sangat kecil bila dibanding dengan jumlah uang yang dikorupsi;

5. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Tengah telah menjatuhkan hukuman percobaan terhadap Terdakwa, akan tetapi Pengadilan Tinggi didalam putusannya tidak mencantumkan ketentuan Pasal 14 KUHP sebagai dasar pemidanaan dan Pengadilan Tinggi juga tidak mempertimbangkan hal-hal yang menyebabkan dijatuhkannya hukuman percobaan itu sebagaimana diatur dalam Pasal 14 KUHAP tersebut ;
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

Bahwa alasan – alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan karena Judex Factie tidak salah menerapkan hukum, lagi pula mengenai berat ringannya pidana dalam perkara ini merupakan wewenang Judex Factie yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum ancaman pidananya atau kurang dari batas minimum ancaman pidananya, yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau menjatuhkan hukuman dengan tidak memberikan pertimbangan yang cukup dan incasu dalam menjatuhkan hukuman tersebut Judex Factie telah memberikan pertimbangan yang cukup tentang keadaan yang memberatkan pemidanaan;

            Dari dua Putusan diatas kita dapat melihat yang diberikan oleh majelis hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap dua orang terpidana korupsi yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tetapi dijatuhi pidana dengan bersyarat, dimana jika majelis hakim berpedoman kepada Undang-Undang No.31 tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka mejelis hakim tidak akan menemukan pidana dengan bersyarat ditiap-tiap Pasal dalam Undang-Undang tersebut.

Dari Putusan Mahkamah Agung No. 1702 K/Pid/2007 penulis dapat melihat bahwa untuk menentukan jenis pidana dan lamanya pidana yang dijatuhkan, Mahkamah Agung akan memeperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pemidanaan sebagai berikut :
Menimbang, bahwa mengenai unsur-unsur lain dari tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 3 undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang- Undang No.20 Tahun 2001 dari dakwaan Subsidair tersebut yaitu perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi “ dan Unsur” “dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian negara, mengenai Pasal 55 (1) KUHP dan Pasal 64 ayat 1 KUHP, Mahkamah Agung akan mengambil alih pertimbangan hukum Pengadilan Negeri yang memang sudah tepat dan benar dengan menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana dalam dakwaan Subsidair telah dipenuhi oleh perbuatan terdakwa”;
Menimbang, bahwa mengenai hukuman untuk membayar uang pengganti, menurut pendapat Mahkamah Agung tidak patut dan tidak adil apabila kepada terdakwa dijatuhkan hukuman untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.3.463.175.000,- karena sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004, terdakwa sebagai Wakil Ketua DPRD wajar untuk berpenghasilan sejumlah tersebut, mengingat uang penghasilannya meliputi : a. Uang Representasi, b. Uang Paket, c. Tunjangan Jabatan, d. Tunjangan Komisi, e. Tunjangan khusus dan tunjangan perbaikan penghasilan dan tunjangan-tunjangan lainnya. Lagi pula yang menjadi kriteria untuk menentukan jumlah uang pengganti berdasarkan Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang No.31 Tahun 1991 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 adalah harus sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan ini casu tuntutan untuk adanya jumlah dari harta benda yang diperoleh dari korupsi yang dilakukan oleh terdakwa;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Subisidair (melanggar Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001), oleh karena itu ia harus dihukum;  

Hal-hal yang memberatkan:
1. Perbuatan terdakwa merugikan keuangan Pemerintah Provinsi   Kalimantan Timur;
2. Perbuatan terdakwa menghambat usaha untuk mewujudkan clean government;
3. Perbuatan terdakwa dapat menurunkan citra dan wibawa lembaga DPRD;
Hal-hal yang meringankan
1. Terdakwa belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga;
2. Terdakwa di persidangan sangat kooperatif, sopan dan tidak menghambat persidangan;
3. Terdakwa tidak terlibat dalam pengelolaan keuangan DPRD Kaltim dan tidak ikut dalam kesepakatan dalam hal pembukaan rekening atas nama Ketua DPRD Kaltim;
4. bahwa sebagian besar uang yang diterima oleh terdakwa telah digunakan untuk kepentingan sosial;
            Setelah membaca pertimbangan Mahkamah Agung diatas bahwa terpidana terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana Pasal tersebut berbunyi” setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana paling sedikit 1(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Di Pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai pidana dengan bersyarat. 
Kemudian Mahkamah Agung Juga merasa tidak adil bila harus menjatuhkan hukuman untuk membayar uang pengganti, karena mengingat jabatan terpidana sebagai wakil ketua DPRD sehingga terpidana dianggap wajar memiliki jumlah kekayaan seperti tersebut diatas.
Tujuan adanya uang pengganti adalah untuk memidana dengan seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan korupsi. Tujuan lain adalah untuk mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi. Menurut undang-undang, salah satu unsur tipikor adalah adanya tindakan yang “merugikan negara”. Dengan unsure ini, maka setiap terjadi suatu perbuatan korupsi pasti akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Merupakan suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian menerapkan sebuah kebijakan yang tertuang dalam undang-undang dalam mengupayakan kembalinya uang negara tersebut.[43][45]  
Definisi pidana pembayaran uang pengganti dapat ditarik dari Pasal 18 UU ayat 1 huruf b No 31 Tahun 1999 yaitu”pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”. Untuk dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah”harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi” jangan hanya ditafsirkan harta benda yang masih dikuasai oleh terpidana pada saat jatuhnya putusan pengadilan tetapi juga harta benda hasil korupsi yang pada waktu pembacaan putusan sudah dialihkan terdakwa kepada orang lain.[44][46]
Jadi, dengan kata lain Mahkamah Agung hanya menjatuhkan pidana denda kepada terpidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1702 K/Pid/2007. Penjatuhan pidana dengan bersyarat pada kasus korupsi akan mengurangi kesan beratnya tindak pidana korupsi sehingga menyebabkan orang tidak lagi melihat ancaman pidana dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai sesuatu yang menakutkan. Dalam hal ini pemidanaan Tindak Pidana Korupsi telah kehilangan fungsi pencegahan umumya. Pencegahan khusus berupa efek jera yang diharapkan muncul dari pemidanaan korupsi pun juga dikhawatirkan hilang bersamaan dengan penerapan pidana dengan bersyarat yang berarti bahwa terpidana tidak perlu menjalani hukuman meskipun terbukti bersalah.
Hukuman percobaan dilatarbelakangi pemikiran yang ingin memberi kesempatan pada pelaku tindak pidana untuk memperbaiki perilakunya secara non institusional di dalam masyarakat. Aspek rehabilitatif suatu pemidanaan menjadi titik berat penjatuhan bentuk pidana ini. Sejauh yang penulis tahu, preferensi hakim memilih bentuk hukuman percobaan adalah sangat rendah meskipun terhadap jenis tindak pidana ringan dan bahkan untuk jenis crime without victim sekalipun. Padahal jenis tindak pidana ringan merupakan jenis tindak pidana yang direkomendasikan untuk penerapan hukuman percobaan.[45][47]
BAB IV
PENUTUP

            Bab ini merupakan hasil analisis terhadap data dan informasi yang sudah berhasil dikumpulkan dan dipaparkan pada Bab II dan Bab III diatas. Bertitik tolak dari uraian pada Bab II dan pembahasan pada Bab III dapat diambil kesimpulan dan saran.
1.      Kesimpulan
Sesuai dengan permasalah yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Maka penulis akan mencoba menguraikan beberapa kesimpulan yang diantaranya sebagai berikut:
a.       Pidana bersyarat dapat diterapkan terhadap tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime, karena undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang tidak secara eksplisit mengatur kemungkinan dijatuhkannya hukuman percobaan namun Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membuka ruang dan kesempatan untuk menerapkan vonis yang semacam ini. Ancaman minimum pidana penjara 1 (satu) tahun seperti terdapat pada Pasal 3, Pasal 5, dan Pasal 9 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi ruang dan kesempatan pada hakim utuk menjatuhkan Pidana dengan bersyarat pada kasus-kasus tindak pidana korupsi yaitu apabila kasus yang dijerat dengan Pasal-Pasal tersebut kemudian dijatuhi pidana penjara tidak lebih dari 1 (satu) tahun.
b.      Yang menjadi alasan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dengan bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi lebih bersifat subjektif terhadap para pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri bukan dari sudut pandang objektif dari perbuatan itu, dimana bila penulis lihat dari sudut pandang objektif maka tidak memungkinkan hakim memberikan pidana dengan bersyarat karena unsur-unsur dalam Pasal-Pasal yang dijeratkan terhadap para pelaku telah terpenuhi.
Tetapi bila hakim melihat dari sudut pandang subjektif pelaku tindak pidana korupsi memang memungkinkan untuk menjatuhkan pidana dengan bersyarat, adapun beberapa hal yang termasuk kedalam pertimbangan subjektif hakim diantaranya:
-          Pertimbangan dari latar belakang terdakwa
-          Kondisi fisik dan mental terdakwa
-          Tindakan terdakwa yang kooperatif, sopan dan tidak menghambat persidangan
-          Status sosial daripada terdakwa itu sendiri
-          Dan memiliki itikad baik untuk mengembalikan hasil korupsinya kepada negara
2.      Saran 
Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis mencoba memberikan beberapa saran bila tidak ingin efek jera yang diharapkan muncul dari pemidanaan korupsi pun juga dikhawatirkan hilang bersamaan dengan penerapan pidana dengan bersyarat yang berarti bahwa terpidana tidak perlu menjalani hukuman meskipun terbukti bersalah.
a.       Diharapkan kepada hakim, baik ditingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung agar memberikan pidana yang berat kepada pelaku tindak pidana korupsi, agar anggota masyarakat lain dapat merasakan efek jera yang diharapkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan. Walaupun telah ditambah dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dan pidana denda.
b.      Hakim Diharapkan lebih mempertimbangkan kerugian negara daripada pelaku tindak tindak pidana itu sendiri agar pidana dengan bersyarat ini tidak perlu lagi dijatuhkan pada putusan tindak pidana korupsi yang lain.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Chaerudin, dkk,. Tindak Pidana Korupsi. PT. Refika Aditama. Bandung, 2008, hlm 1
Leden Marpaung. Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan. Djambatan. Jakarta. 2007, hlm 3
http://antikorupsi.org/indo/content/view/14050/6/
Adami Chazawi “Pelajaran Hukum Pidana “, Teori-teori Pemidanaan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002.
Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, Hlm.32  
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni 1985, bandung. Hlm.217
Ibid, hlm 55
Op.cit., hlm 54-62
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008
Evi Hartanti.,Op.Cit. hlm.,59-62
Op.cit., hlm 67-68
Ibid.,hlm.,69.
H.M.Rasyid Ariman, M.Fahmi Raghib, S.Pettanase, Bahan Kuliah Hukum Pidana Dalam Kodifikasi (Kejahatan Tertentu Dalam KUHP), Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, hlm.3 
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.5-7
R.Tresna, Asas-asas Hukum Pidana, P.T Tiara Ltd, Jakarta, 1959.,hlm 27.
Op.cit., Adami Chazawi. Hlm.72.
Ibid., hlm.75.
M. Sudrajat Basar, Tindak-tindak Pidana Tertentu didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Remaja Karya CV, Bandung, 1984.,Hlm.2
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997., hlm.193
H.M.Rasyid Ariman, M.Fahmi Raghib, S.Pettanase, op.cit.,hlm.10
Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008.
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.,hlm.6.
Rohim, op.cit. hlm. 2
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2009.
Evi Hartanti, Op.Cit.,hlm 9.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 527.
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta, 1986.,hlm.9
Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm 11
Pasal 2 dan 3 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, alumni Ahaen Patehan, Jakarta, 1982.,Hlm.219
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999
Rohim, Ibid., hlm 20
Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Jakarta. solusi Publishing, 2010. hlm. 6
Ibid, Hlm. 7
Ibid, Hlm.8
Ibid, Hlm. 10
Ibid. Hlm.11
Op.cit. Adami Chawawi. Hlm.157
Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika. 2008 Hlm.105
Syarifuddin Pettanase, Ansorie Sabuan. Hukum Acara Pidana. Palembang. Percetakan Universitas Sriwijaya. 2000. Hlm 215
Ibid. hlm. 216
Ibid. Hlm. 217
Ibid. Ham. 218
Op.cit. Efi Laila Kholis. Hlm. 17
Ibid. Efi Laila Kholis. Hlm.15



[1][1] Chaerudin, dkk,. Tindak Pidana Korupsi. PT. Refika Aditama. Bandung, 2008, hlm 1
[2][2] Leden Marpaung. Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan. Djambatan. Jakarta. 2007, hlm 3
[3][3] http://antikorupsi.org/indo/content/view/14050/6/
[4][6] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni 1985, bandung. Hlm.217
[5][7] Ibid, hlm 55
[6][8] Op.cit., hlm 54-62
[7][9] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008
[8][10] Evi Hartanti.,Op.Cit. hlm.,59-62
[9][11] Op.cit., hlm 67-68
[10][12] Ibid.,hlm.,69.
[11][13] H.M.Rasyid Ariman, M.Fahmi Raghib, S.Pettanase, Bahan Kuliah Hukum Pidana Dalam Kodifikasi (Kejahatan Tertentu Dalam KUHP), Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, hlm.3 
[12][14] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.5-7
[13][15] R.Tresna, Asas-asas Hukum Pidana, P.T Tiara Ltd, Jakarta, 1959.,hlm 27.
[14][16] Op.cit., Adami Chazawi. Hlm.72.
[15][17] Ibid., hlm.75.
[16][18] M. Sudrajat Basar, Tindak-tindak Pidana Tertentu didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Remaja Karya CV, Bandung, 1984.,Hlm.2
[17][19] P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997., hlm.193
[18][20] H.M.Rasyid Ariman, M.Fahmi Raghib, S.Pettanase, op.cit.,hlm.10
[19][21] Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008.
[20][22] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.,hlm.6.
[21][23] Rohim, op.cit. hlm. 2
[22][24] Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2009.
[23][25] Evi Hartanti, Op.Cit.,hlm 9.
[24][26] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 527.
[25][27] Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta, 1986.,hlm.9
[26][28] Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm 11
[27][29] Pasal 2 dan 3 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[28][30] R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
[29][31] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, alumni Ahaen Patehan, Jakarta, 1982.,Hlm.219
[30][32] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999
[31][33] Rohim, Ibid., hlm 20
[32][34] Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Jakarta. solusi Publishing, 2010. hlm. 6
[33][35] Ibid, Hlm. 7
[34][36] Ibid, Hlm.8
[35][37] Ibid, Hlm. 10
[36][38] Ibid. Hlm.11
[37][39] Op.cit. Adami Chawawi. Hlm.157
[38][40] Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika. 2008 Hlm.105
[39][41] Syarifuddin Pettanase, Ansorie Sabuan. Hukum Acara Pidana. Palembang. Percetakan Universitas Sriwijaya. 2000. Hlm 215
[40][42] Ibid. hlm. 216
[41][43] Ibid. Hlm. 217
[42][44] Ibid. Ham. 218
[43][45] Op.cit. Efi Laila Kholis. Hlm. 17
[44][46] Ibid. Efi Laila Kholis. Hlm.15