BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi
akhir-akhir ini semakin ramai diperbincangkan, baik di media cetak, elektronik
maupun dalam seminar-seminar, lokakarya, diskusi dan sebagainya. Korupsi telah
menjadi masalah serius bagi bangsa Indonesia, karena telah merambah ke seluruh
lini kehidupan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, sehingga
memunculkan stigma negatif bagi Negara dan Bangsa Indonesia di dalam pergaulan
masyarakat internasional.[1][1]
Korupsi
adalah sesuatu hal yang sangat membahayakan dalam berlangsungnya suatu
pemerintahan, bahkan jauh lebih berbahaya dari pada dampak kerugian yang
ditimbulkan oleh bencana alam dan perang sekalipun. Bahaya Korupsi dikarenakan dapat
menghancurkan struktur negara hingga bagian terkecil dari suatu pemerintahan
yang berdaulat, dan menghancurkan semangat persatuan dan kesatuan yang semakin
lama kian terkikis.
Di
Indonesia korupsi tumbuh dan berkembang dengan suburnya seperti jamur dimusim
hujan, keberadaannya akan sangat sulit untuk diberantas apabila tidak ada
tindakan yang nyata dari pemerintah dan pihak-pihak terkait. pemberantasan
tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan
secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi
telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat
pembangunan nasional.
Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak era orde
lama, hal ini dapat kita ketahui dengan berlakunya Undang-undang 24 Prp. 1960
yang berlaku sejak tahun 1960. Beberapa
upaya untuk pemberantasan korupsi berdasarkan undang-undang tersebut dilakukan,
antara lain:
a.
Operasi
Budhi, yang dipimpin oleh Menkohankam/Kasab yang bertugas menyeret pelaku
korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan Negara serta
Lembaga-lembaga Negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi.
b.
Pembentukan
tim pemberantasan Korupsi berdasarkan keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967,
yang dipimpin oleh Jaksa Agung.[2][2]
Tampaknya
pemberantasan korupsi dengan undang-undang ini kurang berhasil, kemudian
undang-undang Nomor 24 Prp. 1960 ini dicabut dan diganti dengan undang-undang
Nomor 3 tahun 1971, yang kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 yang memuat beberapa hal yang berbeda dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971. Kemudian berubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Di
era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan
mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengara Negara yang Bersih dan
Bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti
KPKPN, KPPU atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui PP No.19
Tahun 2000. Namun ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi
dari anggota tim ini, melalui judicial Review Mahkamah Agung membubarkan
TGPTPK. Sedangkan KPKPN melebur masuk kedalam KPK yang kemudian dibentuk.
Tujuan
Pemerintah dan pembuat Undang-Undang melakukan revisi atau mengganti produk
legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang
dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi
tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum yang dapat dijadikan
alasan bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat melepaskan dirinya
dari jeratan hukum.
Dari
rangkaian sejarah diatas, memperlihatkan keinginan memberantas korupsi tersebut
selalu mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut antara lain adalah lemahnya
political will pemerintah, kelemahan yuridis lembaga pemberantasan korupsi,
adanya serangan balik para koruptor, dan berbagai faktor lain mengiringi penanganan
perkara korupsi yang jauh dari professional dan efektif sehingga mengesankan
adanya ketidaksanggupan dan tebang pilih. Belajar dari pengalaman sebelumnya,
KPK dengan Pengadilan Tipikor merupakan refleksi dari belum maksimalnya
berbagai upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan dan sekaligus
menjadikan harapan besar akan upaya pemberantasan korupsi yang lebih progresif,
efektif dan maksimal.
Namun,
ditengah besarnya animo masyarakat akan pemberantasan korupsi di Indonesia
justru di beberapa pengadilan negeri di Indonesia memvonis para pelaku tindak
pidana korupsi dengan putusan percobaan atau lebih dikenal dengan pidana
bersyarat. Dimana dengan putusan pidana bersyarat ini pelaku tidak harus
menjalani hukuman pidana penjara sebagaimana layaknya pelaku kejahatan lain,
dimana ditetapkan dalam amar putusan bahwa pidana yang dijatuhkan itu tidak
perlu dijalankan dengan pembebanan syarat-syarat tertentu.
Dibawah
ini beberapa putusan pidana bersyarat yang telah dijatuhkan kepada terdakwa
korupsi:
Tabel.1
No
|
Perkara Korupsi
|
Kerugian Negara
|
Terdakwa
|
Hakim
|
Tingkat
|
Vonis
|
Tanggal
|
1.
|
Dobel
anggaran dalam APBD Jateng 2003
|
Rp14,8 miliar
|
Mardijo,
mantan Ketua DPRD Jateng
|
Iskandar
Kamil, Djoko Sarwoko, dan M Baharudin Qaundy
|
Tingkat pertama PN Semarang
Mahkamah Agung
|
1 tahun
penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun
Tuntutan JPU
7 tahun penjara
|
3 November 2009
|
No
|
Perkara Korupsi
|
Kerugian Negara
|
Terdakwa
|
Hakim
|
Tingkat
|
Vonis
|
Tanggal
|
2.
|
Dana
operasional DPRD Kaltim periode 1999-2004
|
Rp 2,9 milar
|
Kasyful Anwar As'ad, Khairul Fuad dan Sukardi Jarwo
Putro, (mantan Pimpinan DPRD Kaltim)
|
Parman Soeparman, Soedarno dan Imam Haryadi
|
Tingkat Pertama PN Samarinda
Mahkamah Agung
|
1 tahun masa percobaan 2 tahun
|
19 Februari 2008
|
3.
|
Penjualan aset di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta Pusat
|
Rp 69 juta
|
Ir Darizal dan Drg Helmy Rustam, MM
|
Lexsy Mamont, Agoeng Rahardjo, dan Makmun Masduki
|
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
|
1 tahun masa percobaan 2 tahun
|
28 April 2008
|
4.
|
Anggaran
Rumah Tangga Dewan (ARTD) DPRD Nganjuk periode 1999-2004
|
23 Juta
|
Basori,
Anggota DPRD Nganjuk periode 1999-2004
|
Burhanuddin, Gatot Ardian, Agus Cahyo
|
Pengadilan Negeri Nganjuk
|
1 tahun
penjara dengan dua tahun masa percobaan
|
5 Juni 2008
|
5.
|
Dana APBD kabupaten Yapen Waropen
|
Rp 90 juta
|
ketua DPRD Amon Wanggai, S.Sos. Jhon Mansay. S.Sos dan
Nehemia Payawa.S.Sos
|
Wayan
Karya, Ben Ronald.P. Situmorang. dan Ahmad Rizal Nasution,
|
Pengadilan Negeri Serui
|
1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun
|
6 Juni 2008
|
6.
|
Proyek di Bappeda Lampung
|
Rp 196 juta
|
Kepala Bappeda Bandar Lampung Tjandra Tjahya dan Pemimpin
Proyek Faisol Muchtar
|
Machmud Rachimi
|
Pengadilan Negeri Tanjungkarang
|
1 tahun
penjara dengan masa percobaan 18 bulan
|
26 Juni 2008
|
7.
|
Proyek gedung loka monitor spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit Pangkalpinang tahun 2006
|
-
|
Ermansyah
|
Pengadilan Negeri Pangkalpinang
|
1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun
|
22 Desember 2008
|
|
8.
|
Sewa ruko
Jalan MS Rahman dan Jalan Jenderal Sudirman Pangkalpinang
|
43,5 juta
|
Andi Rozano
|
Rosidin,
T Sirait dan Ernila
|
Pengadilan Negeri Pangkalpinang
|
1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun
|
22 Desember 2008
|
9.
|
proyek pembangunan pasar hewan di Desa Nagrak Kec/Kab.
Cianjur tahun anggaran 2006
|
Rp 114 juta
|
RS selaku pelaksana proyek
|
Gunawan
|
Pengadilan Negeri Cianjur
|
1 tahun masa percobaan 1 tahun
|
6 Januari 2009
|
Didalam
undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 2 dan 3 menyebutkan:
(1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara, dipidana seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)tahun dan denda
paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
(2)
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Ketentuan
hukum diatas teramat sering hanya menjadi “macan kertas”, sebatas Pasal huruf
mati yang sangat jarang diterapkan secara konsisten kepada para pelaku tindak
pidana korupsi di Indonesia. Terlebih hukuman mati yang mungkin niscaya akan
diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.
Baru-baru ini memang telah berkembang wacana
menerapkan hukuman mati terhadap koruptor. Dan penulis lebih melihat kondisi
ini kepada bentuk kefrustasian masyarakat dan penegak hukum di Indonesia akan
efektifnya undang-undang untuk menanggulangi dan memberantas korupsi di Negara
Indonesia.
Koruptor yang terus bertambah jumlahnya, bahkan
koruptor-koruptor itu sendiri dapat muncul dan hidup didalam lembaga yang
terhormat termasuk didalamnya Kepolisian dan Kejaksaan. Lalu kemana lagi Rakyat harus menggantungkan
harapan akan Indonesia yang bebas dari korupsi bila kecurigaan kepada penguasa,
ketidakpercayaan akan hukum dinegaranya, dan pejabat negara yang mengkhianati
kepercayaan rakyatnya.
Jika hukuman terberat seperti kurungan, penjara dan
hukuman mati sekalipun tidaklah menjamin dapat membuat jera para koruptor
ataupun dapat menjalankan keefektifan fungsi preventifnya, lalu bagaimana
dengan beberapa yurisprudensi serta pandangan-pandangan dari beberapa pihak
untuk menerapkan hukuman pidana bersyarat
kepada pelaku kejahatan yang kejam ini.
Seolah tidak percaya namun inilah realita yang ada
bahwa pidana bersyarat pernah diterapkan terhadap kasus korupsi di Indonesia.
Apakah dengan pidana bersyarat ini tujuan dari pemidanaan telah tercapai khusus
untuk kasus korupsi di Indonesia. Dari beberapa pandangan dan penemuan penulis
dilapangan penerapan pidana bersyarat justru memberikan efek kontra dari tujuan
dihukumnya seorang pelaku kejahatan korupsi
Hukum sosial berupa cap masyarakat dan pengucilan dari
masyarakat justru jauh lebih ampuh untuk memberikan beban moral kepada pelaku
korupsi yang tertangkap dari pada aturan hukum seperti undang-undang korupsi
yang sebenarnya jauh lebih memiliki kekuatan hukum dan kewajiban dari
pemerintah untuk menegakkannya.
Kepuasan akan penegakan hukum memang bukanlah
didapatkan ketika para pelaku kejahatan menderita saat pelaku kejahatan
menjalani masa-masa serta menerima vonis hukuman atas perbuatannya. Kepuasan
akan lebih tecapai bila kepastian hukum dapat memberikan efek jera bagi pelaku
kejahatan dan memberikan ketakutan bagi orang lain agar mereka berfikir lagi
ketika memiliki niat untuk melakukan perbuatan yang sama.
Dengan masih banyaknya tanda tanya dan kerancuan dalam
hal penerapan pidana bersyarat terhadap pelaku Korupsi di Indonesia, maka
penulis merasa memiliki tanggung jawab dan ketertarikan untuk mengangkat
penelitian dan penulisan makala yang diberi judul :
“ANALISIS
YURIDIS TERHADAP PERKARA KORUPSI YANG DIJATUHI PIDANA BERSYARAT” .
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah :
1.
Mengapa pidana bersyarat dapat diterapkan terhadap tindak pidana korupsi yang merupakan
Kejahatan Luar Biasa?
2.
Apakah yang menjadi alasan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat terhadap
pelaku tindak pidana korupsi?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum
Pidana Bersyarat
1.
Pengertian Pidana Bersyarat
Pidana percobaan atau lebih dikenal sebagai pidana bersyarat
(voorwaardelijke veroordeling)[4][6], tetapi sesungguhnya bukan salah satu dari jenis pidana
karena tidak disebut dalam Pasal 10 KUHP. Karena bukan jenis pidana melainkan
suatu sistem penjatuhan pidana tertentu (penjara, kurungan, denda) dimana
ditetapkan dalam amar putusan bahwa pidana yang dijatuhkan itu tidak perlu
dijalankan dengan syarat-syarat tertentu.
Pidana percobaan adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana
oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan dengan syarat-syarat tertentu.
Artinya, pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu
dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang ditentukan tidak
dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan
itu tidak ditaatinya atau dilanggarnya.
2.
Penjelasan Pidana Bersyarat didalam KUHP
Ketika WvS Hindia Belanda diberlakukan di Hindia Belanda,
pidana bersyarat ini belum terdapat didalamnya. Baru dengan melalui stb.1926
No.251 jo 486 sistem penjatuhan pidana dengan bersyarat ini dimasukkan kedalam
KUHP, pada Pasal 14a sampai dengan Pasal 14f.[5][7]
Adapun Pasal 14a sampai dengan 14f
KUHP berbunyi:
Pasal 14a
(1)
Apabila hakim menjatuhkan pidana
penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana
kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa
pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim
yang menentukan lain, disebabkan terpidana melakukan suatu tindak pidana
sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis,
atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang
mungkin ditentukan dalam perintah itu.
(2)
Hakim juga mempunyai kewenangan
seperti diatas, kecuali dalam perkara-perkara mengenai penghasilan dan
persewaan Negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata
kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula
akan sangat memberatkan terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan
pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan Negara,
jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhi
pidana denda, tidak diterapkan ketentuan Pasal30ayat2.
(3)
Jika hakim tidak menentukan lain,
maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
(4)
Perintah tidak diberikan , kecuali
hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan
pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan
melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
(5)
Perintah tersebut dalam ayat 1 harus
disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.
Pasal 14b
(1)
Masa Percobaan bagi kejahatan dan
pelanggaran dalam Pasal-Pasal 492, 504, 505, dan 536 paling lama tiga tahun dan
bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.
(2)
Masa percobaan dimulai pada saat
putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut
cara yang ditentukan dalam undang-undang.
(3) Masa percobaan tidak dihitung selama
terpidana ditahan secara sah.
Pasal 14c
(1)
Dengan perintah yang dimaksud Pasal
14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa
terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat
khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa
percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan
oleh tindak pidana tadi
(2)
Apabila hakim menjatuhkan pidana
penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran
berdasarkan Pasal-Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh ditetapkan
syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus
dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.
(3) Syarat-syarat tersebut diatas tidak boleh
mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana.
Pasal 14d
(1)
Yang diserahi mengawasi supaya
syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan
putusan, jika kemudian ada perintah untuk menjalankan putusan.
(2)
Jika ada alasan, hakim dalam
perintahnya boleh mewajibkan lembaga yang berbentuk badan hukum dan
berkedudukan di Indonesia, atau kepala pemimpin suatu rumah penampungan yang
berkedudukan disitu atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi pertolongan
dan bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
(3) Aturan-aturan lebih lanjut mengenai
pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai penunjukkan lembaga dan pemimpin rumah
penampungan yang dapat diserahi member bantuan itu, diatur dengan
undang-undang.
Pasal 14e
Atas usul pejabat dalam Pasal 14d ayat 1, atau atas
permintaan terpidana, hakim yang memutuskan perkara dalam tingkat pertama,
selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus atau lamanya waktu
berlaku syarat-syarat khusus dalam masa percobaan. Hakim juga boleh
memerintahkan orang lain daripada orang yang diperintahkan semula, supaya
member bantuan kepada terpidana dan juga boleh memperpanjang masa percobaan
satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang paling lama dapat
ditetapkan untuk masa percobaan.
Pasal 14f
(1)
Tanpa mengurangi ketentuan Pasal
diatas, maka atas usul pejabat tersebut dalam Pasal 14d ayat 1, hakim yang
memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya pidananya
dijalankan, atau memerintahkan supaya atas namanya diberi peringatan pada
terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana
dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat
lainnya tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana sebelum masa percobaan habis
dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana sebelum
masa percobaan mulai berlaku. Ketika member peringatan, hakim harus menentukan
juga cara bagaimana member peringatan itu.
(2) Setelah masa percobaan habis, perintah supaya
pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa
percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana di dalam
masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanaan yang
menjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi
tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena
melakukan tindak pidana tadi.
Pidana bersyarat dalam KUHP kita
sesungguhnya mengambil dan meniru dua macam sistem pidana bersyarat yang satu
sama lain sangat berbeda, yaitu pertama, sistem Inggris-Amerika (di Inggris
tumbuh sekitar abad pertengahan dan di AS sejak tahun 1868); dan kedua, sistem
Belgia dan Prancis (tumbuh sekitar akhir abad ke-19).
Menurut sistem Inggris-Amerika,
apabila dalam pemeriksaan pengadilan terdakwa terbukti bersalah, ia tidak
(perlu) divonis dengan suatu pemidanaan, melainkan cukup hanya dinyatakan
sebagai sebagai ia telah terbukti bersalah saja, kemudian ditetapkan masa
percobaan. Dalam masa percobaan ini, dikenai syarat-syarat tertentu, antara
lain ia tidak boleh melakukan suatu kejahatan. Dalam arti, ia diberi kesempatan
untuk memperbaiki kelakuannya tanpa ia harus divonis pidana, berarti juga tidak
ada pidana yang dijalaninya.
Akan tetapi, apabila dalam fase
pertama ini, dalam arti dalam masa percobaan ia melanggar syarat yang
ditetapkan hakim, barulah ia dijatuhi pidana yang selanjutnya pidana itu
ditetapkan untuk dijalankan kepadanya.
Jadi, sebenarnya menurut sistem ini,
yang digantung dengan syarat itu adalah penjatuhan pidananya, dan bukan
pelaksanaan pidananya seperti pada sistem KUHP kita.
Maksud yang ingin dicapai dengan
sistem ini adalah untuk memperbaiki si pelanggar hukum tanpa dengan menjatuhkan
pidana atau tanpa menghukumnya. Selama dalam masa percobaan, dalam usaha
memperbaiki kelakuannya, terpidana dibimbing dan diawasi oleh pengawasan reklasering. Sistem ini disebut dengan probation.
Lain halnya dengan sistem
Prancis-Belgia. Menurut sistem ini, apabila di persidangan terdakwa terbukti bersalah,
maka disamping dinyatakan terdakwa telah terbukti bersalah atas kesalahannya
itu hakim juga menjatuhkan pidana, tetapi ditetapkan dalam vonis itu bahwa
pidana itu baru dapat dijalankan pada terpidana apabila yang bersangkutan
melanggar syarat-syarat yang ditetapkan. Syarat ini berupa ia tidak boleh
melakukan kejahatan lagi dalam masa tertentu atau disebut dengan masa
percobaan.
Perbedaan lain adalah menurut sistem
Inggris-Amerika, dalam masa percobaan yang bersangkutan dalam usahanya
memperbaiki kelakuannya, ia dibimbing dan diawasi oleh pejabat reklasering. Oleh karena itu, disebut
dengan sistem probation.
Akan tetapi, menurut sistem
Prancis-Belgia, dalam memperbaiki kelakuaannya, yang bersangkutan tidak
dilakukan bimbingan, diserahkan kepada yang bersangkutan sendiri. Tujuan
menurut sistem Inggris-Amerika adalah dapat diperbaikinya orang yang bersalah
dengan menghindarkannya dari cap (stigma) seorang penjahat atau terpidana, yang
dapat membawa ke dalam suasana dan akibat buruk bagi yang bersangkutan,
misalnya ia kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, dijauhi dan dikucilkan
orang dalam pergaulan masyarakat.
Sementara itu, tujuan yang ingin
dicapai dengan sistem Prancis-Belgia adalah dapat diperbaiki yang bersalah
dengan dengan menghindarkannya dari penderitaan harus menjalani pidana di rumah
penjara karena pengaruh penjara seringkali berakibat buruk bagi narapidana.
Dalam WvS Belanda, pidana bersyarat
ini diadakan dalam tahun 1915. Sistemnya merupakan campuran antara sistem
Inggris-Amerika dengan sistem Prancis-Belgia di atas, dan berdasarkan atas concordantie sistem Belanda ini juga
diterapkan dalam hukum pidana (WvS) di Hindia Belanda.
Sebagai sistem campuran, sistem
Belanda ini mengoper sebagian dari masing-masing sistem. Menurut sistem Belanda,
apabila dalam persidangan terdakwa terbukti bersalah, atas kesalahannya itu
hakim menjatuhkan pidana tetapi dalam putusan hakim ditetapkan bahwa ia tidak
perlu menjalani pidananya apabila selama tertentu (disebut masa percobaan), ia
tidak melanggar syarat-syarat yang ditentukan. Selama masa percobaan, dalam
usaha memperbaiki kelakuannya, terhadap terpidana dilakukan bimbingan dan
pengawas oleh pejabat reklasering.
Tampak bahwa dari sistem
Inggris-Amerika yang dioper oleh sistem Belanda ini, adalah ditetapkannya
syarat-syarat tertentu yang harus ditaati agar pidana yang dijatuhkan tidak
perlu dijalani, dan dalam usaha memperbaiki dirinya, yang bersangkutan dibantu
dan dibimbing oleh pejabat reklasering. Sementara itu, dari sistem
Prancis-Belgia yang dioper ke dalam sistem Belanda adalah apabila dalam
persidangan terbukti kesalahan terdakwa, hakim menjatuhkan pidana kepadanya.
Walaupun sistem Belanda mengoper
dari sistem Inggris-Amerika tentang diadakanya lembaga pengawasan ( disebut
lembaga reklasering, di Inggris disebut lembaga probation ), yang bertugas membimbing yang bersalah dalam usahanya
memperbaiki kelakuannya, namun tetap ada perbedaan. Perbedaan itu adalah
pengawasan/bimbingan menurut sistem Belanda bersifat fakultatif, tidak harus.
Akan tetapi, ,memurut sistem Inggris-Amerika, pengawasan/bimbingan merupakan
suatu keharusan, sifatnya imperatif.
Walaupun di Belanda sendiri pidana
bersyarat itu lebih dimasukkan dalam WvS (Hindia Belanda) dalam tahun 1927, ada
jarak waktu dua belas tahun.
Tidak segera direalisasikannya
ketentuan mengenai pidana bersyarat itu kedalam WvS Hindia Belanda dikarenakan
pada saat itu (1915)di Hindia Belanda belum ada lembaga reklasering. Baru pada
tahun 1927l lembaga ini ada walaupu belum sempurna. Kemudian, setelah pidana
bersyarat dimasukkan dalam WvS (KUHP) Hindia Belanda, barulah lembaga
reklasering itu berkembang dengan baik. Hal ini
berkat usaha dari seorang Belanda yakni Prof.Schepper selaku ketua dari “College voor de Reklasering”. Sementara
itu, di Belanda pada saat itu lembaga reklasering telah berkembang dengan
sangat baik.
Berlatar belakang bahwa pada saat itu (1927) lembaga reklasering di
Hindia Belanda belum sempurna, maka untuk menetapkan pidana bersyarat di sini
lebih diperketat jika dibandingkan dengan di Belanda, hal ini terlihat dari
beberapa ketentuan yang ada dalam WvS Hindia Belanda yakni sebagai berikut.
1.
Pasal 14a (4) menyebutkan bahwa “perintah tidak diberikan, kecuali hakim
setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan
yang cukup…” dari kalimat ini ternyata UU meminta (mengingat) hakim agar harus
hati-hati dan teliti sebelum menetapkan pidana bersyarat dalam putusan pidana
yang akan dijatuhkan.
2.
Pasal 14a (5) juga memerintahkan pada hakim agar dalam putusan dengan
menetapkan pidana bersyarat harus disertai dengan alasan atau keadaan-keadaan
mengapa pidana bersyarat itu ditetapkan.
Dalam hal-hal manakah hakim dapat menjatuhkan pidana dengan bersyarat?
Dalam Pasal 14a ditentukan bahwa hakim dapat menetapkan pidana dengan bersyarat
dalam putusan pemidanaan, apabila:
1.
Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun
2.
Hakim menjatuhkan pidana kurungan (bukan kurungan pengganti denda maupun
kurungan pengganti perampasan barang)
3.
Hakim menjatuhkan pidana denda, dengan ketentuan ialah: (a) apabila benar-benar
ternyata pembayaran denda atau perampasan barang yang ditetapkan dalam
keputusan itu menimbulkan keberatan yang sangat bagi terpidana, dan (b) apabila
pelaku tindak pidana yang dijatuhi denda bersyarat itu bukan berupa pelanggaran
yang berhubungan dengan pendapatan Negara.
Tentang latar belakang ketentuan mengenai batas paling lama satu tahun
bagi penjatuhan pidana yang dapat ditetapkan dengan bersyarat adalah bahwa
untuk perkara-perkara yang lebih berat yang untuk penyelesaiannya dengan
pertimbangan hakim harus menjatuhkan pidana yang lebih berat dari satu tahun,
dilihat dari sudut penjatuhan pidana sebagai pembalasan, tidak ada tempat bagi
pidana bersyarat. Artinya pidana bersyarat itu hanya ditetapkan untuk
pemidanaan bagi perkara-perkara yang lebih ringan, yang dipertimbangkan oleh
hakim sebagai sudah cukup adil (dari sudut pembalasan) jika dijatuhi pidana
yang lebih ringan dengan pidana penjara yang lebih dari satu tahun. Dengan
begitu tampaknya, rasio ketentuan batas maksimum satu tahun ini berlatar
belakang bahwa dalam pidana bersyarat sudah tidak terdapat lagi rasa
pembalasan, tetapi lebih menonjolkan maksud perbaikan. Rasa pembalasan itu
perlu ada pada tindak pidana yang lebih berat yang dipandang adil dengan
menjatuhkan pidana penjara diatas satu tahun.
Sementara itu, ketentuan yang melarang menjatuhkan pidana bersyarat atas
pidana kurungan pengganti (denda atau perampasan barang), karena pidana
kurungan pengganti bukan jenis pidana yang berdiri sendiri. Dengan kata lain,
penetapan bersyarat itu hanya dapat dikenakan terhadap pidana pokoknya
(primer), dan tidak terhadap pidana penggantinya (subsider).
Dilihat dari namanya, yaitu pidana bersyarat, ada syarat-syarat yang
ditetapkan dalam putusan hakim, yang harus ditaati oleh terpidana untuk
dapatnya ia dibebaskan dari pelaksanaan pidananya itu. Syarat-syarat itu
dibedakan antara lain: (1) Syarat Umum, dan (2), Syarat Khusus.
Syarat umum bersifat imperative, artinya bila hakim menjatuhkan pidana
dengan bersyarat, dalam putusannya itu harus ditetapkan syarat umum, sedangkan
syarat khusus bersifat fakultatif (tidak menjadi keharusan untuk ditetapkan).
Dalam syarat umum, harus ditetapkan oleh hakim bahwa dalam tenggang
waktu tertentu (masa percobaan) terpidana tidak boleh melakukan tindak pidana
(14c ayat 1). Dalam syarat umum ini tampak benar sifat mendidik dalam putusan
pidana dengan bersyarat, dan tidak tampak lagi rasa pembalasan sebagaimana
dianut oleh teori pembalasan.
Sementara itu, dalam syarat khusus, hakim boleh menentukan hal-hal
berikut ini:
1.
Penggantian kerugian akibat yang ditimbulkan oleh dilakukannya tindak pidana
baik seluruhnya maupun sebagian, yang harus dibayarnya dalam tenggang waktu
yang ditetapkan oleh hakim yang lebih pendek dari masa percobaan (14 ayat 1)
2.
Dalam hal hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana
kurungan atas pelanggaran ketentuan Pasal 492 (mabuk ditempat umum), 504
(pengemisan), 505 (pergelandangan) 506 (mucikari), 536 (mabuk dijalan umum)
hakim dapat menetapkan syarat-syarat khusus yang berhubungan dengan kelakuan
terpidana (14a ayat 2), syarat-syarat khusus tersebut tidak diperkenankan
sepanjang melanggar atau mengurangi hak-hak terpidana dalam hal berpolitik
(kenegaraan) dan menjalankan agamanya (14a ayat 5).
Sementara itu mengenai lamanya masa percobaan itu, ditentukan (14b)
sebagai berikut:
1.
Bagi kejahatan dan pelanggaran Pasal: 492, 504, 505, 506 dan 536 paling lama
tiga tahun
2.
Bagi jenis pelanggaran lainnya adalah paling lama dua tahun.
Masa percobaan itu mulai berlaku sejak putusan menjadi tetap dan telah
diberitahukan kepadanya menurut tata cara yang diatur dalam UU. Jika pernah
dilakukan penahanan sementara, masa penahanan sementara itu tidak boleh
diperhitungan (14b ayat 2 dan 3).
Syarat khusus mengganti kerugian, tidak boleh ditetapkan/dilekatkan
apabila hakim menjatuhkan pidana denda dengan bersyarat didasarkan pada
pertimbangan hakim bahwa terpidana benar-benar sangat berat (tidak mampu)
membayar denda. Sudah barang tentu terpidana dalam keadaan ekonomi yang
demikian, ia lebih tidak mampu lagi jika dibebani syarat khusus untuk mengganti
kerugian.
Pelanggaran terhadap, baik syarat umum maupun syarat khusus, tidak
dengan sendirinya/tidak secara otomatis pidana yang dijatuhkan benar-benar
dilaksanakan. Untuk melaksanakan pidana setelah terbukti dilanggarnya syarat
yang ditetapkan, jaksa penuntut umum tidak harus mengajukan permintaan pada
hakim untuk melaksanakan pidananya. Begitu juga hakim tidak wajib mengabulkan
permintaan jaksa penuntut umum untuk melaksanakan pidana yang telah diputusnya.
Hakim bisa saja menjawab permintaan jaksa dengan surat peringatan saja kepada
terpidana agar mematuhi syarat-syarat yang ternyata telah dilanggarnya itu.
Hakim dapat memerintahkan jaksa untuk melaksanakan putusan pemidanaan
dalam hal:
1.
Jika dalam masa percobaan terpidana telah terbukti melakukan tindak pidana
(melanggar syarat umum);
2.
Jika dalam masa percobaan telah terbukti melanggar syarat khusus
3.
Jika sebelum lewatnya masa percobaan, terbukti terpidana telah dipidana dengan
putusan yang menjadi tetap karena tindak pidana yang lain yang dilakukannya
sebelum masa percobaan berjalan;
4.
Setelah lewat masa percobaan, jika terpidana telah melakukan tindak pidana
dalam masa percobaan itu, asal saja penuntutan terhadap tindak pidana yang
kemudian itu berakhir dengan suatu putusan pemidanaan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap (14f ayat 2)
Pejabat yang member perintah agar pidana dijalankan adalah hakim yang
telah menjatuhkan pidana pada tingkat pertama (hakim pada pengadilan tinggi
yang bersangkutan) karena, walaupun kemudian perkara itu naik banding atau naik
kasasi, pelaksanaan putusan pidana dengan bersyarat itu tetap pada hakim
pengadilan tingkat pertama.[6][8]
Dalam
praktek hukuman semacam ini kiranya jarang sekali sampai dijalankan oleh karena
si terhukum akan berusaha benar-benar dalam masa percobaan tidak melakukan
suatu tindak pidana, dan syarat khusus biasanya dipenuhi.[7][9]
B.
Perkembangan Teoritis Tentang Tindak Pidana
1. Teori Absolut (vergeldings theorien)
Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata
karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quaia peccatum est).pidana merupakan
akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang
melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya
atau terjadinya kejahtan itu sendiri.
Menurut Johanes Andreas tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori
absolut adalah “untuk memuaskan tuntutan keadilan”.tuntutan keadilan yang
sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant didalam
bukunya Philosophy of Law sebagai
berikut ;
“… Pidana
tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan
tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat,
tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan
telah melakukan suatu kejahatan. Walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat
untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya), pembunuh
terakhir yang masih berada didalam penjara harus dipidana mati sebelum
resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini dilakukan
karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan
perasaan balas dendam yang tidak dibolehkan tetap ada pada anggota masyarakat,
sebab apabila tidak demikian mereka dapat dipandang sebagai orang yang ikut
ambil bagian dalam pembunuhan yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan
umum.”
Jadi pidana bukan merupakan suatu
alat untuk mencapai tujuan melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid). Salah
seorang tokoh penganut teori absolut yang terkenal yaitu Hegel berpendapat
bahwa pidana merupakan suatu keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya
kejahatan.
Teori Hegel
yang dikenal dengan quasi-mathematic,
yaitu;
1)
Wrong being (crime) is the negation of right and
2)
Punishment is the negation of the negation.
Menurut Nigel Walker teori
retributif dibagi dalam beberapa golongan, yaitu;
a.
Teori retributif murni (the pure
retributivist),yaitu bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan
si pembuat.
b.
Teori tidak murni, teori ini dibagi pula ke dalam :
1)
Teori retributif terbatas (the limiting
retributivist), yaitu pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan;
hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan
terdakwa;
2)
Teori retributif yang distributif (retribution
in distribution), yaitu pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak
bersalah, tetapi juga pidana tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh
kesalahan.
Menurut John Kaplan, teori
retribution dibedakan menjadi dua teori, yaitu;
1. Teori
pembalasan (the revenge theory),
yaitu pembalasan mengandung arti bahwa utang si penjahat “telah dibayar
kembali”(the criminal is paid back);
2. Teori
penebusan dosa (the expiration theory),
yaitu penebusan mengandung arti bahwa si penjahat “telah membayar kembali
utangnya” (the criminal pays back).
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (doel theorien)
Menurut teori ini memidanakan bukanlah untuk memuaskan
tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai,
tetapi hanya sebagai saran untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena
itu, J.Andeanaes berpendapat teori ini dapat disebut teori perlidungan
masyarakat (the theory of sosial defence).
Menurut
Negel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atua aliran reduktif (the “reductive”point of view) karena
dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah mengurangi frekuensi
kejahatan. Pidana bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu
yang bermanfaat. Oleh karena itu,teori ini disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran
adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana
dijatuhkan bukan quia peccatum est
(karena yang membuat kejahatan) melainkan ne
peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan).
Menurut
Karl O. Christiansen, ada perbedaan pokok atau perbedaan karakteristik antara
teori retributif dan teori utilitarian, yaitu;
1)
Teori retribution :
a.
Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan
b.
Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana
untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
c.
Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
d.
Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
e.
Pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya
tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
2)
Teori utilitarian
a.
Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention)
b.
Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat;
c.
Hanya pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal
karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d.
Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan;
e.
Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan
maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan
kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
3. Teori Gabungan ( vereniging theorie)
Teori ini dianjurkan pertama kali
oleh Pelligro Rossi (1787-1884). Teori ini menjabarkan bahwa tetap menganggap
pembalasan sebagai asas dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui
suatu pembalasan yang adil. Namun, teori ini berpendirian bahwa pidana
mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam
masyarakat dan prevensi general.[8][10]
C. Tinjauan Umum
Tindak Pidana Korupsi
1.
Pengertian Tindak Pidana
Istilah Tindak Pidana berasal dari
istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam
berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah Strafbaar feit adalah
sebagai berikut:[9][11]
a.
Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan
Indonesia.
b.
Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum seperti, Mr. R.Tresna,
Prof. A. Zainal Abidin, S.H dan Pembentuk Undang-Undang Dasar Sementara tahun
1950.
c.
Delik, digunakan oleh Prof. Drs. E. Utrecht, dan S.H, Prof. Moeljatno.
d.
Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok Hukum Pidana yang
ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja.
e.
Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-Undang dalam
Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak
f.
Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau,
seperti dalam bukunya Asas-Asas Hukum
Pidana.
Strafbaar feit
terdiri dari tiga kata, yakni straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum,
baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, dan feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan
perbuatan.[10][12] Apabiladi hubungkan dengan dengan berbagai peraturan
perundang-undangan Negara Republik Indonesia terlihat tidak ada pola yang sama
didalam mendefinisikan tindak pidana. Kecenderungan pada tahap kebijakan
legislatif untuk menggunakan kata pidana.[11][13]
1.
Simons.
Dalam
Rumusannya Strafbaar feit itu adalah:
“Tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan
oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.
Alasan dari Simons mengapa Strafbaar feit harus dirumuskan seperti diatas karena:
a.
Untuk adanya suatu Strafbaar feit diisyaratkan bahwa disitu terdapat
suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang
dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban itu telah dinyatakan
sebagai tindakan yang dapat dihukum.
b.
Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi semua
unsur delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang.
c.
Setiap Strafbaar feit sebagai pelanggaran tehadap suatu larangan atau kewajiban
menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum
atau suatu onrechtmatige handeling.
2. E.
Utrecht
Menerjemahkan Strafbaar
feit dengan istilah peristiwa pidana
yang sering juga ia disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena
perbuatan ayau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa
hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa
kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.
3.
Pompe
Strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan
sebagai suatu:
”pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum
yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum”.
4.
Prof. Moeljatno
“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa
yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana
adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu
diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan
yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada
orang yang menimbulkan kejahatan)”.
Beliau mengemukakan bahwa menurut ujudnya atau
sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti
bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan
masyarakat dianggap baik dan adil.
R. Tresna
mengartikan Strafbaar feit sebagai peristiwa pidana”Suatu
perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang
atau suatu peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman.[13][15]
Vos merumuskan bahwa Strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh
peraturan perundang-undangan.[14][16]
J.E. Jonkers, yang merumuskan
peristiwa pidana ialah”Perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau
kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan”.[15][17]
Didalam menjatuhkan sesuatu hukuman
itu tidaklah cukup apabila hanya terdapat suatu Strafbaar feit saja
melainkan harus juga ada suatu Strafbaar
person yaitu, seseorang yang dapat
dihukum, dimana orang tersebut tidak dapat dihukum apabila Strafbaar feit yang telah
ia lakukan itu tidak bersifat ”wederechtelijk”
(bersifat melanggar hukum) dan telah ia lakukan baik dengan sengaja maupun
tidak sengaja.[16][18]
Pada umumnya, setiap tindak pidana
yang terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu dapat dijabarkan
menjadi dua unsur, yakni unsur subjektif dan unsur objektif.[17][19] Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif adalah
unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri
pelaku, dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam
hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam
keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur
subjektif dari suatu tindak pidana adalah:
a.
Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
b.
Maksud atau voornemen pada suatu
percobaan atau poging, seperti yang dimaksud di dalam Pasal 3 ayat 1 KUHP
c.
Mempunyai macam-macam maksud seperti yang terdapat misal dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
d.
Merencanakan terlebih dahulu, misalnya yang terdapat di dalam rumusan tindak
pidana pembunuhan Pasal 340 KUHP.
e.
Perasaan takut atau vress seperti
yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Sedangkan unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak
pidana itu adalah:
a.
Bersifat melanggar hukum atau wederechtelikheid
b.
Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri”
didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP
c.
Adanya kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
Didalam KUH
Pidana (WvS) Indonesia, tindak pidana dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu
sebagai berikut:
1.
Kejahatan
Termuat dalam buku II dari Pasal 104
sampai dengan Pasal Pasal 488
2.
Pelanggaran
Termuat dalam buku III, dimulai dari
Pasal 489 sampai dengan Pasal 569 yang terdiri dari 9 jenis pelanggaran.
adanya
pengklasifikasian tindak pidana yang termasuk atau digolongkan sebagai
kejahatan baik terdapat dalam KUH Pidana Buku II maupun Undang-Undang diluar
KUH Pidana, maka pada dasarnya tindak pidana merupakan jenis kriminalitas yang
tergolong berat dan sangat membahayakan kepentingan individu, masyarakat maupun
negara dan ketiga hal ini yang hendak dilindungi oleh hukum pidana apabila
dibandingkan dengan jenis-jenis pelanggaran baik yang terdapat dalam KUHP
maupun diluar KUHP.[18][20]
2.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi sudah dikenal dan
ada dalam khasanah hukum Indonesia sejak adanya Peraturan Penguasa Militer
Nomor PRT/PM-08/1958 tentang Penyelidikan Harta Benda. Istilah ini dapat
dilihat dalam Pasal 1 ayat (a) yang menyatakan bahwa selain wewenang mengadakan
penyelidikan terhadap harta benda seseorang yang diasangka melakukan korupsi
menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tanggal 9 April 1957
Penguasa Militer berwenang pula mengadakan penyelidikan terhadap harta benda
setiap orang atau badan di dalam daerah yang kekayaannya diperoleh secara
mendadak dan mencurigakan.[19][21]
Dewasa ini, jika membicarakan
masalah korupsi maka seringkali yang ada dalam benak kita khususnya masyarakat
awam hanyalah mengenai persoalan perbuatan penyelewengan keuangan atau
penyuapan. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam
ragamnya, dan artinya tetap sesuai walaupun mendekati masalah itu dari berbagai
aspek.[20][22]
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari
bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore
= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan
wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa :
1.
Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran.
2.
Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
Dalam Black’s Law Dictionary, Korupsi merupakan suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang
tidak resmi dengan memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak
dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk
mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain.[21][23]
Arti
secara harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina
atau memfitnah, penyuapan, niet ambtelijk
corruptie; dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk,
seperti penggelapan uang penerimaan uang sogok dan sebagainya.[22][24]
Menurut
Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptive adalah
korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan Negara.[23][25]
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan
(uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain,
penerimaan uang sogokan atau lainnya.[24][26]
Andi Hamzah yang mengutip dari The
Lexicon Webster Dictionary mengartikan: korupsi berarti kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.[25][27]
Menurut
Syed Hussein Alatas korupsi ini dalam prakteknya meliputi cirri-ciri sebagai
berikut:[26][28]
1.
Korupsi
selalu melibatkan lebih dari satu orang
2.
Korupsi
pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan
3. Korupsi
melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik
4. Korupsi
dengan berbagai macam akal berlindung dibalik pembenaran hukum
5. Mereka yang
terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas dan mereka
mempengaruhi keputusan.
6. Tindakan
korupsi mengandung penipuan baik pada badan public atau masyarakat umum.
7. Setiap
bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan.
8. Setiap
bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang
melakukan itu
9. Suatu
perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam
tatanan masyarakat.
Didalam
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, terdapat tiga istilah hukum yang perlu diperjelas,
yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara, dan perekonomian negara.
Yang
dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah:
1.
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
2.
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya atau perekonomian negara.[27][29]
Sedangkan pengertian keuangan negara
dalam undang-undang ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik
yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala
kekayaan dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya:
a.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggungjawaban pejabat lembaga negara,
baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.
b.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang
menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.
Dengan memperhatikan rumusan diatas,
maka berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang dapat dijadikan
subjek tindak pidana korupsi tidak hanya manusia tetapi juga Badan Hukum. Hal
ini dapat kita lihat dalam Pasal 1 ayat (3) yang dimaksud dengan setiap orang
adalah perseorangan atau termasuk korporasi sedangkan yang dimaksud dengan
korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Didalam kepustakaan ilmu hukum, yang
dimaksud dengan badan hukum adalah subjek hukum yang bukan merupakan manusia,
tetapi merupakan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat
oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.[28][30]
Badan hukum dianggap sebagai subjek
Tindak Pidana terutama dalam hal-hal yang menyangkut:
1.
Sumber keuangan negara (pajak, bea ekspor dam impor barang dan sebagainya)
2.
Pengaturan perekonomian berupa pengendalian harga, penggunaan cek, pengaturan
perusahaan dan sebagainya.
3.
Pengaturan keamanan (subversi, keadaan bahaya dan sebagainya)[29][31]
Dengan rumusan tersebut, pengertian
melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup
perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus
dituntut dan dipidana.
Dalam ilmu hukum dikenal dua macam
sifat melawan hukum, yaitu:
1.
Melawan hukum Materiil (Materiele Wederrechtelijkheid), merupakan pengertian
melawan hukum yang luas, yaitu; melawan hukum sebagai unsur yang tidak hanya
melawan hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis
(dasar-dasar hukum pada umumnya)
2.
Melawan hukum Formal (Foermele Wederrechtelijkheid), merupakan unsur dari hukum
positif yang tertulis saja sehingga ia baru merupakan unsur daripada tindak
pidana, apabila ditegaskan disebutkan dalam rumusan tindak pidana.
Perbuatan melawan hukum disini mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana sesuai dengan Pasal 2 ayat 1. Dalam ketentuan ini, kata
“dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan
bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan
bukan dengan timbulnya akibat.[30][32]
3.
Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi
Persoalan korupsi yang sekarang
telah menjadi gurita dalam system pemerintahan di Indonesia merupakan gambaran
dari bobroknya tata pemerintahan di negara ini. Fenomena ini telah menghasilkan
kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta buruknya pelayanan
publik. Akibat dari korupsi penderitaan selalu dialami oleh masyarakat,
terutama yang berada dibawah garis kemiskinan.
1.
Pemberian Suap/sogok
Manusia
cenderung berambisi hidup dengan kemewahan, kehormatan dan jenuh dengan
kemiskinan dan penderitaan. Sehingga manusia yang tergolong kedalam tipe
tersebut melakukan apapun yang dapat ia lakukan tanpa mempertimbangkan
prinsif-prinsif moralitas, etika ataupun kebenaran umum. Berbagai cara yang
haram pun mulai muncul dalam pikiran mereka dan salah satu diantaranya adalah
dengan memberikan suap.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi II, tahun 1991, tidak dapat ditemukan definisi
kata ini, tetapi kita dapat menemukan sinonimnya yaitu sogok yang didefinisikan
adalah dana yang sangat besar yang digunakan untuk menyogok para petugas.
Menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
21 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap gratifikasi
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, antara lain diatur dalam Pasal 5, 6, 11 dan 12.
2.
Pemalsuan
Pemalsuan
merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari
dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan
pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain.
Kegiatan
yang dianggap signifikan dalam intensitas kemunculan pemnipuan adalah
meninggikan anggaran dalam pengajuan kegiatan serta menggunakan barang milik
negara untuk kepentingan pribadi.
3.
Pemerasan
Pemerasan
merupakan perbuatan memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah
uang atau barang atau bentuk lain sebagai ganti dari seorang pejabat publik
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan tersebut dapat diikuti
dengan ancaman fisik ataupun kekerasan.
4.
Penyalahgunaan Jabatan atau Wewenang
Merupakan
perbuatan mempergunakan kewenangan yang dimiliki, untuk melakukan tindakan yang
memihak atau pilih kasih kepada kelompok atau perseorangan, sementara bersikap
diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya. Pasal 3 UU No.31
tahun1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi
menentukan penyalahgunaan jabatan atau wewenang adalah setiap orang yang dengan
sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
5.
Nepotisme
Nepotisme
dipakai sebagai istilah untuk menggambarkan perbuatan mengutamakan sanak
keluarga, kawan dekat serta anggota partai politik yang sepaham, tanpa
memeperhatikan persyaratan yang ditentukan.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Mengapa pidana dengan bersyarat dapat diterapkan terhadap tindak pidana
korupsi yang merupakan extra ordinary crime.
Pada
dasarnya, penerapan pidana dengan
bersyarat tidak diatur didalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999 diubah dengan
Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Sanksi pidana
yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi yaitu:[32][34]
1.
Pidana Mati
Didalam
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana yang diancam mati
yaitu Pasal 2 ayat (2). Pidana Mati disini “dapat diancam apabila tindak pidana
yang diatur pada ayat (2) beserta penjelasannya. Keadaan tertentu dijelaskan
dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUPTK yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku
tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu
negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, pada
waktu terjadi bencana nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau
pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan militer.[33][35]
2.
Pidana Penjara
Semua
tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi diancam dengan pidana penjara baik penjara seumur hidup maupun
sementara. Pidana penjara seumur hidup terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), 3, 12,
12B ayat (2). Pidana penjara sementara diancam dengan batas maksimum
dan batas minimum. Batas minimum ditentukan dalam Pasal-Pasal dalam UU ini sebagai
salah satu upaya dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana korupsi.[34][36]
3.
Pidana Denda
Undang-undang
PTPK menerapkan pidana denda yang tinggi sebagai salah satu upaya dalam
mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi[35][37]
4.
Pidana Tambahan
Pasal
18 UU PTPK mengatur mengenai jenis pidana tambahan yang dapat diancamkan kepada
terdakwa yang melanggar Pasal-Pasal yang ditentukan Pasal 17 yaitu Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 14 UU PTPK. Pidana tambahan yang dapat dikenakan
yaitu pidana tambahan yang terdapat Pasal 10 KUHP.[36][38]
Kemudian penulis menemukan beberapa
putusan Pengadilan baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi bahkan
di Tingkat Mahkamah Agung yang menjatuhkan Putusan Pidana dengan Bersyarat,
seperti dua Putusan berikut:
1.
Putusan Mahkamah Agung No. 1702 K/Pid/2007
Membaca
Putusan Pengadilan Negeri Samarinda Nomor: 376/Pid.B/2005/PN. Smda tanggal 16
Februari 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut:
a.
Menyatakan terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD BIN H. AS’AD ZAMZAM tersebut
terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan Tindak Pidana
Korupsi yang dilakukan secara Bersama-sama dan berlanjut;
b.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD BIN H. AS’AD
ZAMZAM dengan pidana penjara selama 4 (empat) Tahun dan pidana denda sebesar
Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan
kurungan;
c.
Menghukum terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD BIN H. AS’AD ZAMZAM untuk
membayar uang pengganti sebesar Rp. 3.463.175,- (tiga milyar empat ratus enam
puluh tiga juta seratus tujuh puluh lima ribu rupiah) dikurangi harta yang
disita berupa:
-
1 (satu) bidang tanah dan bangunan rumah di perum Pandan Arum Blok B No.12
Samarinda dan 1 (satu) bidang tanah dan bangunan rumah di Perum Karpotek Blok Y
No. 15 Samarinda senilai Rp.900.000.000,- (Sembilan ratus juta rupiah)
-
1 (satu) bidang tanah dan bangunan Ruko di halan P. Antasari HGB No. 1744
Samarinda senilai Rp.1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah),
dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah putusan
mempunyai kekuatan hukum tetap terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara
selama 2 (dua) tahun;
d.
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR
AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,
kecuali waktu selama dirawat nginap di rumah sakit di luar Rumah Tahanan Negara
yang tidak ikut dikurangkan;
e.
Menyatakan barang bukti berupa:
-
(satu) bidang tanah dan bangunan rumah di Perum Pandan Arum Blok B No. 12
Samarinda
-
1 (satu) bidang tanah dan bangunan rumah di Perum Karpotek Blok Y No.15
Samarinda;
-
1 ( satu) bidang tanah dan bangunan Ruko di jalan P. Antasari HGB No. 1744
Samarinda;
Dirampas
untuk negara;
-
Rekening Koran pada Bank BPD Samarinda No. 10.0000130758.7 dengan saldo Rp.
3.125.179,97,-
-
Rekening Koran pada Bank BCA Samarinda No. 027.0811779 dengan saldo
Rp.8.553.447,87
Dikembalikan
kepada terdakwa;
-
Barang bukti berupa surat/dokumen tetap dilampirkan dalam berkas perkara ini;
f.
Menghukum terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM untuk
membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah);
Membaca
Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur No.62/Pid/2006/PT.KT.SMDA tanggal 13
Oktober 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut:
-
Menerima permintaan banding dari terdakwa dan jaksa penuntut umum;
-
Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Samarinda tanggal 16 Februari 2006 nomor:
376/Pid.B/2005/PN.Smda yang dimintakan banding tersebut dengan perbaikan
sekedar mengenai status barang bukti, sehingga amar selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:
1. menyatakan terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR
AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan telah
bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama Dan
berlanjut;
2.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD
ZAMZAM dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan Pidana denda sebesar
Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan
kurungan;
3.
menghukum terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM untuk
membayar uang pengganti sebesar Rp.3.463.175.000,- (tiga milyar empat ratus
enam puluh tiga juta seratus tujuh puluh lima ribu rupiah) dengan ketentuan
apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah putusan mempunyai kekuatan
hukum tetap, terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua)
tahun;
4.
menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR
AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,
kecuali waktu selama dirawat nginap di rumah sakit di luar Rumah Tahanan Negara
yang tidak ikut dikurangkan;
5.
menyatakan barang bukti berupa:
- (satu) bidang tanah dan bangunan rumah di
Perum Pandan Arum Blok B No.12 Samarinda;
- 1 (satu) bidang tanah dan bangunan
rumah di Perum Karpotek Blok Y No.15 Samarinda;
- 1 (satu) bidang tanah dan bangunan
Ruko di Jalan P. Antasari HGB No.1744 Samarinda;
Dikembalikan kepada Ny. Fauziah Kasyful;
- Rekening Koran pada Bank BPD
Samarinda No.10.0000130758.7 dengan saldo Rp.3.125.179,97,-;
- Rekening Koran pada
Bank BCA Samarinda No.027.081177 dengan saldo Rp.8.553.447,87 Dikembalikan
kepada terdakwa;
-
Barang bukti berupa surat/dokumen tetap dilampirkan dalam berkas perkara ini;
6. Menghukum
terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah);
Membaca Putusan Mahkamah Agung
No.1702 K/Pid/2007 tanggal 28 Januari 2008 yang amar lengkapnya sebagai
berikut:
1.
Menyatakan terdakwa Drs. H. KASYFUL ANWAR AS’AD bin H. AS’AD ZAMZAM tersebut
terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana : KORUPSI
YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DAN SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT;
2.
Menghukum oleh karena itu terdakwa dengan pidana penjara selama 1(satu) tahun;
3.
Memerintahkan bahwa hukuman tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika
dikemudian hari ada putusan hakim menentukan lain, disebabkan karenaterdakwa
melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam
perintah tersebut yaitu 1 (satu) tahun habis;
2. Menghukum
pula terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.50.000.000,-(lima puluh juta
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti
dengan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun habis;
5. Menetapkan barang-barang bukti berupa sebagai
berikut:
1. - 1 (satu) bidang tanah dan bangunan rumah
di Perum Pandan Arum Blok B No.12
Samarinda;
- 1 (satu)
bidang tanah dan bangunan rumah di Perum Karpotek Blok Y No.15 Samarinda;
- 1 (satu) bidang tanah dan bangunan
Ruko di Jalan P. Antasari HGB No.1744 Samarinda;
Dikembalikan kepada Ny. Fauziah Kasyful;
2. - Rekening Koran pada Bank BPD
Samarinda No.10.0000130758.7 dengan saldo Rp.3.125.179,97,-;
-
Rekening Koran pada Bank BCA Samarinda No.027.0811779 dengan saldo
Rp.8.553.447,87 Dikembalikan kepada terdakwa Drs. Kasyful Anwar As’Ad bin H.
As’ad Zamzam;
3. Barang
bukti berupa surat/dokumen tetap dilampirkan dalam berkas perkara ini;
" Membebankan biaya perkara ini dalam semua
tingkat peradilan kepada terdakwa yang dalam tingkat kasasi ini sebesar
Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah);
2.
Putusan No.611 K/Pid/2006
Membaca putusan Pengadilan Negeri Banyumas No.39 / Pid.B /
1999 / PN.Bms tanggal 24 November 1999 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
- Menyatakan Terdakwa MARTOJOEWOTO alias WARMONO seperti
tersebut diatas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana : KORUPSI DILAKUKAN SECARA BERLANJUT”;
- Memidana Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 5 (lima) bulan;
- Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah
Rp.1.195.000,- (satu juta seratus sembilan puluh lima ribu rupiah);
-
Memerintahkan barang bukti dalam perkara ini berupa :
1. Surat
Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banyumas Nomor141/419/84/51
tertanggal 23 Oktober 1984, tentang Pemutihan Surat Keputusan pengangkatan
dalam jabatan Perangkat Desa atas nama
MARTOJOEWONO
sebagai Sekretaris Desa dikembalikan kepada Terdakwa;
2. Buku Kas
Umum Model C.2 bulan Januari 1996 sampai dengan bulan Februari 1998 dan Buku
Kas Umum Model C.2 bulan Maret 1998 sampai dengan bulan Februari 1999
dikembalikan pada Pemerintah Desa Karangnanas melalui saksi Karsan
Siswodiharjo;
3. Kwitansi
tertanggal 27 Juni 1996 yang ditanda tangani oleh W.Martojoewono yang berisi
penerimaan uang dari Yudiharjo Wahyudi sebanyak Rp.1.000.000,- untuk pembayar
sewa garapan sawah seluas 1 bau dalam waktu 2 tahun terhitung mulai ranteban
1996 sampai dengan sadon 1998;
4. Kwitansi
tertanggal 12 September 1996 yang ditanda tangani oleh Martorjoewono yang
berisi penerimaan uang dari Wahyudi sebanyak Rp.600.000,- untuk pembayaran sewa
garapan tanah benda desa seluas 1 bau dalam waktu 4 potong (2 tahun);
5. Kwitansi
tertanggal 27 Juni 1996 yang ditanda tangani oleh K.Siswodiharjo yang berisi
penerimaan uang dari Yudiharjo sebanyak Rp.700.000,- guna membayar uang sewa
garapan sawah 2 potong (1 tahun);
6. Kwitansi
tertanggal 1 Oktober 1998 yang ditanda tangani oleh K. Siswodiharjo yang berisi
uang dari Yudiharjo sebanyak Rp.500.000,- guna membayar satu potong garapan
sawah bekas pensiunan bk Mulyasengaja seluas 1 bau;
7. Kwitansi
tertanggal 27 Oktober 1997 yang ditanda tangani oleh Martojoewono yang berisi
penerimaan uang dari Budi Sutrisno sebanyak Rp.500.000,- guna membayar swadaya
pembangunan 1997;
8. Kwitansi
tertanggal 17 Desember 1998 yang ditanda tangani oleh Rikun Anshori yang berisi
penerimaan uang dari Budi Sutrisno sebanyak Rp.50.000,- guna membayar swadaya
pembangunan desa Karangnanas Tahun Anggaran 1998/1999;
Nomor 7 dan
Nomor 8 dikembalikan kepada saksi Budi Sutrisno;
9. Surat
Pernyataan tertanggal 13 Oktober 1999 yang ditanda tangani oleh Adi Prayitno
pemilik toko Gemilang tetap dilampirkan dalam berkas perkara ini;
-- Membebani
Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.2.500,-(dua ribu lima ratus
rupiah);
Membaca
putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang No. 26/Pid/2000/PT. Smg tanggal 23 Februari 2000 yang amar
lengkapnya sebagai berikut :
-- Menerima
permintaan banding dari Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum ;
-- Memperbaiki
putusan Pengadilan Negeri Banyumas tanggal 24 November 1999
No.39/Pid.B/1999/PN.Bms yang dimohonkan banding, sehingga amar selengkapnya
berbunyi sebagai berikut :
--
Menyatakan Terdakwa Martojoewono alias Warmono seperti tersebut diatas terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI DILAKUKAN
SECARA BERLANJUT”;
-- Menghukum
Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan;
--
Memerintahkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika
dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain, disebabkan karena
sebelum selesainya masa percobaan selama 1 (satu) tahun, terpidana melakukan
perbuatan pidana;
-- Menghukum
Terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp.1.745.000,- (satu juta tujuh
ratus empat puluh lima ribu rupiah);
--
Memerintahkan barang bukti berupa :
1. Surat
Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 141/419/84/51 tanggal
23 Oktober 1984, tentang pemutihan Surat Keputusan pegangkatan dalam jabatan
Perangkat Desa atas nama Martojoewono sebagai Sekretaris Desa, dikembalikan
kepada Terdakwa ;
2. Buku Kas
Umum Model C.2 bulan Januari 1996 sampai dengan bulan Februari 1998 dan Buku
Kas Umum Model C.2 bulan Maret 1998 sampai dengan bulan Februari 1999
dikembalikan pada Pemerintah Desa Karangnanas melalui saksi Karsan
Siswodiharjo;
3. Kwitansi
tertanggal 27 Juni 1996 yang ditanda tangani oleh W. Martojoewono yang berisi
penerimaan uang dari Yudiharjo Wahyudi sebanyak Rp.1.000.000,- untuk pembayar
sewa garapan sawah seluas 1 bau dalam waktu 2 tahun terhitung mulai ranteban
1996 sampai dengan sadon 1998;
4. Kwitansi
tertanggal 12 September 1996 yang ditanda tangani oleh Martorjoewono yang
berisi penerimaan uang dari Wahyudi sebanyak Rp.600.000,- untuk pembayaran sewa
garapan tanah benda desa seluas 1 bau dalam waktu 4 potong (2 tahun);
5. Kwitansi
tertanggal 27 Juni 1996 yang ditanda tangani oleh K. Siswodiharjo yang berisi
penerimaan uang dari Yudiharjo sebanyak Rp.700.000,- guna membayar uang sewa
garapan sawah 2 potong (1 tahun);
6. Kwitansi
tertanggal 1 Oktober 1998 yang ditanda tangani oleh K.Siswodiharjo yang berisi
uang dari Yudiharjo sebanyak Rp.500.000,- guna membayar satu potong garapan
sawah bekas pensiunan bk Mulyasengaja seluas 1 bau;
7. Kwitansi
tertanggal 27 Oktober 1997 yang ditanda tangani oleh Martojoewono yang berisi
penerimaan uang dari Budi Sutrisno sebanyak Rp.500.000,- guna membayar swadaya
pembangunan 1997;
8. Kwitansi
tertanggal 17 Desember 1998 yang ditanda tangani oleh Rikun Anshori yang berisi
penerimaan uang dari Budi Sutrisno sebanyak Rp.50.000,- guna membayar swadaya
pembangunan desa Karangnanas Tahun Anggaran 1998/1999;
Nomor 7 dan
Nomor 8 dikembalikan kepada saksi Budi Sutrisno;
9. Surat
Pernyataan tertanggal 13 Oktober 1999 yang ditanda tangani oleh Adi Prayitno
pemilik toko Gemilang tetap dilampirkan dalam berkas perkara ini;
-- Menghukum
Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam peradilan tingkat pertama sebesar
Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah), dalam tingkat banding sebesar Rp.2.500,-
(dua ribu lima ratus rupiah);
Kemudian
ditingkat Kasasi Mahkamah Agung, Hakim Agung yang menangani Perkara ini menolak
permohonan Kasasi dari Jaksa/Penuntut Umum pada kejaksaan Negeri Banyumas tersebut, sehingga Pidana
yang dijatuhkan terhadap Terpidana yang berlaku adalah yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang No. 26/Pid/2000/PT.Smg tanggal 23
Februari 2000.
Dari dua
putusan pengadilan diatas maka, penulis mengetahui bahwa selain
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
mengacu kepada Pasal 10 KUHP masih ada lagi jenis pemidanaan yang dapat
dijatuhkan kepada terpidana Tindak Pidana Korupsi, yaitu dengan menjatuhkan
putusan pidana dengan bersyarat. Dengan kata lain hukuman tersebut tidak usah dijalani,
kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan
karena sebelum selesainya masa percobaan selama 1 (satu) tahun, terpidana
melakukan perbuatan pidana. Lalu, sebagai tambahan juga dijatuhkan pidana
tambahan berupa membayar uang pengganti dan pidana denda.
Berdasarkan
Pasal 14a sampai dengan Pasal 14f Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka, yang
dapat dijatuhi putusan pidana dengan bersyarat hanyalah tindak pidana yang
bersifat ringan (tipiring) sehingga bila pidana dengan bersyarat dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana korupsi akan melukai semangat pemberantasan korupsi
di Indonesia dan menyalahi ketentuan-ketentuan didalam Undang-Undang No.31
tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Karena
Didalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut menentukan
batasan minimal dan maksimal hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana maksimalnya adalah
hukuman mati.
B.
Apakah yang menjadi alasan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dengan
bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Bagi hakim
yang bijak, ketika ia akan menarik dan menetapkan amar putusan, ia terlebih
dulu akan merenungkan dan mempertimbangkan benar tentang manfaat apa yang akan
dicapai dari penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik bagi terdakwa,
maupun masyarakat dan negara.[37][39]
Hukuman atau sanksi yang dianut hukum pidana membedakan
hukuman pidana dengan bagian hukum yang lain. Hukuman dalam hukum pidana
ditujukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup yang teratur.[38][40]
Didalam system hukum acara pidana, pada pokoknya dikenal dua
jenis putusan pengadilan:
1.
Jenis Putusan yang bersifat Formil
Jenis
yang pertama adalah putusan pengadilan yang bukan merupakan putusan akhir,
yaitu:
a.
Putusan yang berisi pertanyaan tidak berwenangnya pengadilan untuk memeriksa suatu
perkara (onbevoegde verklaring),
Pasal 148 ayat 1 (KUHAP). Contoh, perkara yang diajukan oleh penuntut umum
bukan merupakan kewenangan pengadilan yang bersangkutan, melainkan kewenangan
pengadilan lain.
b.
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan/surat dakwaan penuntut umum batal (nietig
verklaring van de acte van verwijzing
Pasal 156 ayat (1) KUHAP.) dalam hal ini misalnya surat dakwaan jaksa tidak
memenuhi Pasal 143 ayat (3) KUHAP, yaitu tidak dicantumkannya waktu dan tempat
tindak pidana dilakukan di dalam surat dakwaan.
c.
Putusan yang berisi pernyataan bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard-Pasal
156 ayat (1) KUHAP). Misalnya, perkara yang diajukan oleh penuntut umum sudah
daluarsa, nebis in idem, perkara yang memerlukan syarat aduan (klacht delict), penuntutan seorang
penerbit yang telah memenuhi syarat Pasal 61 KUHP.
d.
Putusan yang berisi penundaan pemeriksaan perkara oleh karena ada perselisihan
prejudisiel
2.
Jenis Putusan yang bersifat Materil
Sedangkan
yang kedua adalah jenis putusan pengadilan yang merupakan putusan akhir (eind
vonnis), yaitu:
a.
Putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari dakwaan (vrijspraak) Pasal 191
ayat (1) KUHAP
b.
Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging)-
Pasal 191 ayat (2) KUHAP
c.
Putusan yang berisi suatu pemidanaan (veroordeling)-
Pasal 193 ayat (1) KUHAP.[39][41]
A.d.a.
Putusan Bebas (vrijspraak)
Putusan
yang demikian ini dijatuhkan oleh pengadilan apabila ia berpendapat bahwa
kesalahan atau perbuatan yang didakwakan terhadap terdakwa tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan di dalam pemeriksaan di pengadilan.
Tidak
terbuktinya kesalahan terdakwa ini adalah minimum bukti yang ditetapkan oleh
undang-undang tidak terpenuhi, misalnya hanya ada keterangan tersangka, tanpa
dikuatkan oleh alat bukti lain, atau alat bukti terpenuhi, tetapi hakim tidak
yakin akan kesalahan terdakwa. Putusan bebas ini bersifat negative, dalam arti
bahwa putusan itu tidak menyatakan terdakwa tidak melakukan perbuatan yang
didakwakan itu, melainkan menyatakan bahwa kesalahan terdakwa tidak terbukti.
Jadi, bahwa di persidangan hal itu tidak terbukti.[40][42]
A.d.b.
Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum
Putusan
ini dijatuhkan oleh hakim jika ia berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, jadi bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana. Oleh perbuatan yang
terbukti itu sama sekali tidak dapat dimasukkan dalam salah satu ketentuan
undang-undang pidana atau karena adanya alasan pembenar
(rechtvaardigingsground) tersebut dalam Pasal 48 KUHP, Pasal 49 ayat (1), Pasal
50 KUHP dan Pasal 51 Ayat (1) KUHP
Putusan
ini juga dijatuhkan oleh hakim dalam hal perbuatan yang terbukti itu merupakan
tindak pidana, akan tetapi terdakwanya tidak dapat dipidana disebabkan tidak
adanya kemampuan bertanggung jawab tersebut dalam Pasal 44 KUHP atau disebabkan
adanya alasan pemaaf tersebut dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP dan Pasal 51 ayat
(2) KUHP. Adapun perbedaan yang prinsipil antara dua macam putusan tersebut
diatas ialah bahwa dalam hal putusan bebas jaksa tidak dapat naik banding
kepada pengadilan tinggi (Pasal 67 KUHAP), sedangkan dalam hal pelepasan dari
segala tuntutan hukum dapat dimintakan banding, baik oleh terdakwa atau jaksa).[41][43]
A.d.c.
Putusan Pemidanaan
Putusan
pemidanaan ini dijatuhkan oleh hakim apabila kesalahan terdakwa terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya dianggap terbukti dengan sah dan
meyakinkan. Jadi, menurut Pasal 193 ayat (1) KUHAP apabila terdakwanya pada
waktu melakukan tindak pidana itu belum berumur enam belas tahun maka hakim
dapat memilih di antara ketentuan yang disebut dalam Pasal 45 KUHP, yaitu:
a.
Menyerahkan kembali kepada orang tuanya atau wali tanpa dikenakan suatu pidana;
b.
Memerintahkan agar terdakwa diserahkan kepada pemerintah, dan supaya dipelihara
dalam suatu tempat pendidikan negara sampai berumur delapan belas tahun (lihat
Pasal 46 KUHP);
3. berdasarkan jenis-jenis putusan
pengadilan diatas, hakim harus memberikan pertimbangan yang harus adil dalam
menjatuhkan putusan. Dari
putusan-putusan pidana dengan bersyarat yang sudah ada sebelumnya Putusan
Mahkamah Agung No. 1702 K/Pid/2007 dan Putusan No.611 K/Pid/2006 yang menjadi
dasar pertimbangannya adalah sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Agung No. 1702 K/Pid/2007
Menimbang, bahwa untuk menentukan jenis pidana dan lamanya
pidana yang dijatuhkan, Mahkamah Agung akan memperhatikan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan pemidanaan sebagai berikut :
Hal-hal yang
memberatkan:
1. Perbuatan
terdakwa merugikan keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur;
2. Perbuatan terdakwa menghambat
usaha untuk mewujudkan clean government;
3. Perbuatan terdakwa dapat
menurunkan citra dan wibawa lembaga DPRD;
Hal-hal yang
meringankan
1. Terdakwa
belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga;
2. Terdakwa
di persidangan sangat kooperatif, sopan dan tidak menghambat persidangan;
3. Terdakwa
tidak terlibat dalam pengelolaan keuangan DPRD Kaltim dan tidak ikut dalam
kesepakatan dalam hal pembukaan rekening atas nama Ketua DPRD Kaltim;
4. bahwa
sebagian besar uang yang diterima oleh terdakwa telah digunakan untuk
kepentingan sosial;
Menimbang,
bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka Mahkamah Agung akan menjatuhkan
pidana yang jenis dan lamanya akan mewujudkan tujuan pemidanaan yang lebih
bersifat edukatif, korektif dan preventif;
2. Putusan Mahkamah Agung No.611 KPid/2006
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi pada pokoknya sebagai berikut :
1.
Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banyumas dalam putusannya Nomor
39/Pid.B/1999/PN.Bms. tanggal 24 November 1999 menjatuhkan pidana penjara
kepada Terdakwa selama 5 (lima) bulan;
2.
Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang dalam
putusannya Nomor 26/Pid/2000/PT.Smg tanggal 23 Februari 2000 menyatakan
memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Banyumas 39/Pid.B/1999/PN.Bms tanggal 24
November 1999 tersebut, dengan menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama
5 (lima) bulan dengan perintah bahwa hukuman tersebut tidak usah dijalani
kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim yang memerintahkan lain
disebabkan karena sebelum selesainya masa percobaan selama 1 (satu) tahun
terpidana melakukan suatu perbuatan pidana;
3. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa
Tengah di Semarang dalam pertimbangan putusannya (pada halaman 14) adalah sebagai
berikut :
3.1. Jumlah yang dikorupsi oleh
Terdakwa relatif sangat kecil tidak sesuai dengan pengabdian;
3.2. Terdakwa sudah berupaya
menyerahkan kembali uang tersebut, akan tetapi ditolak, sebagai hal yang
meringankan ;
4. Bahwa sehubungan dengan alasan
pertimbangan tersebut Nomor 3 diatas, kami Jaksa Penuntut Umum akan
menanggapinya sebagai berikut :
4.1. Bahwa pengabdian Terdakwa telah
dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk meringankan penjatuhan pidana kepada
Terdakwa ; Bahwa pertimbangan tentang pengabdian Terdakwa, adalah bukan
merupakan pertimbangan yuridis dan oleh karena itu, tidak dapat dijadikan
sebagai dasar pertimbangan untuk meringankan penjatuhkan pidana. Disamping itu,
pertimbangan pengabdian tersebut juga tidak jelas karena Pengadilan Tinggi
tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan pengabdian tersebut ;
4.2. Bahwa Terdakwa oleh Penuntut
Umum didakwa melakukan tindak pidana
Korupsi sebesar Rp.1.991.000,- dan oleh Pengadilan Negeri Banyumas dinyatakan terbukti sebesar
Rp.1.195.000,-;
Apa yang disebut oleh Pengadilan
Tinggi Jawa Tengah bahwa Terdakwa telah berupaya menyerahkan kembali uang
tersebut (yang ditolak oleh Ka Ur Keuangan), pernyataan Pengadilan Tinggi
mengenai upaya penyerahan kembali yang demikian ini, adalah tidak tepat
sehingga perlu kami luruskan sebagai berikut :
4.2.1. Bahwa pernyataan Pengadilan
Tinggi tersebut memberi kesan seolah-olah Terdakwa berupaya menyerahkan seluruh
uang yang dikorupsi, padahal yang senyatanya tidak demikian, Terdakwa pada
waktu itu hanya akan menyerahkan / menyetorkan uang pologoro Rp.95.000,- bukan
seluruh uang yang dikorupsi;
4.2.2. Bahwa uang pologoro sebesar Rp.95.000,- tersebut
sebenarnya sudah Terdakwa terima dari penduduk sejak lama (kira-kira satu tahun
yang lalu) akan tetapi baru diserahkan kepada Ka Ur Keuangan pada waktu setelah
proses pemeriksaan perkaranya sedang berlangsung di Kejaksaan Negeri Banyumas.
Penolakan penyetoran uang pologoro tersebut oleh Kaur Keuangan didasarkan pada
pertimbangan adanya kekhawatiran pihak Perangkat Desa itu jika sampai
mengganggu proses pemeriksaan Kejaksaan ;
4.2.3. Bahwa dengan demikian maka
upaya Terdakwa untuk menyerahkan uang pologoro tersebut tidak dapat dijadikan
sebagai pertimbangan yang meringankan bagi penjatuhan pidana terhadap Terdakwa
sebab kecuali uang pologoro itu belum diterima sampai saat pemeriksaan
persidangan pengadilan, jumlahnya juga sangat kecil bila dibanding dengan
jumlah uang yang dikorupsi;
5. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa
Tengah telah menjatuhkan hukuman percobaan terhadap Terdakwa, akan tetapi
Pengadilan Tinggi didalam putusannya tidak mencantumkan ketentuan Pasal 14 KUHP
sebagai dasar pemidanaan dan Pengadilan Tinggi juga tidak mempertimbangkan
hal-hal yang menyebabkan dijatuhkannya hukuman percobaan itu sebagaimana diatur
dalam Pasal 14 KUHAP tersebut ;
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat :
Bahwa alasan – alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan
karena Judex Factie tidak salah menerapkan hukum, lagi pula mengenai berat
ringannya pidana dalam perkara ini merupakan wewenang Judex Factie yang tidak
tunduk pada kasasi, kecuali menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum ancaman
pidananya atau kurang dari batas minimum ancaman pidananya, yang ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan atau menjatuhkan hukuman dengan tidak
memberikan pertimbangan yang cukup dan incasu dalam menjatuhkan hukuman
tersebut Judex Factie telah memberikan pertimbangan yang cukup tentang keadaan
yang memberatkan pemidanaan;
Dari dua
Putusan diatas kita dapat melihat yang diberikan oleh majelis hakim dalam
menjatuhkan sanksi terhadap dua orang terpidana korupsi yang terbukti melakukan
tindak pidana korupsi tetapi dijatuhi pidana dengan bersyarat, dimana jika
majelis hakim berpedoman kepada Undang-Undang No.31 tahun 1999 diubah dengan
Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka
mejelis hakim tidak akan menemukan pidana dengan bersyarat ditiap-tiap Pasal
dalam Undang-Undang tersebut.
Dari
Putusan Mahkamah Agung No. 1702 K/Pid/2007 penulis dapat melihat bahwa untuk
menentukan jenis pidana dan lamanya pidana yang dijatuhkan, Mahkamah Agung akan
memeperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pemidanaan sebagai
berikut :
Menimbang, bahwa mengenai unsur-unsur lain dari tindak
pidana yang dimaksud dalam Pasal 3 undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang No.20 Tahun 2001 dari dakwaan Subsidair tersebut yaitu perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi “ dan Unsur”
“dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian negara, mengenai Pasal 55
(1) KUHP dan Pasal 64 ayat 1 KUHP, Mahkamah Agung akan mengambil alih
pertimbangan hukum Pengadilan Negeri yang memang sudah tepat dan benar dengan
menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana dalam dakwaan Subsidair telah
dipenuhi oleh perbuatan terdakwa”;
Menimbang, bahwa mengenai hukuman untuk membayar uang
pengganti, menurut pendapat Mahkamah Agung tidak patut dan tidak adil apabila
kepada terdakwa dijatuhkan hukuman untuk membayar uang pengganti sebesar
Rp.3.463.175.000,- karena sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun
2000 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004, terdakwa sebagai Wakil
Ketua DPRD wajar untuk berpenghasilan sejumlah tersebut, mengingat uang
penghasilannya meliputi : a. Uang Representasi, b. Uang Paket, c. Tunjangan
Jabatan, d. Tunjangan Komisi, e. Tunjangan khusus dan tunjangan perbaikan
penghasilan dan tunjangan-tunjangan lainnya. Lagi pula yang menjadi kriteria
untuk menentukan jumlah uang pengganti berdasarkan Pasal 18 ayat 1 huruf b
Undang-Undang No.31 Tahun 1991 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 adalah harus
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan ini casu
tuntutan untuk adanya jumlah dari harta benda yang diperoleh dari korupsi yang
dilakukan oleh terdakwa;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
menurut pendapat Mahkamah Agung, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan
Subisidair (melanggar Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
No.20 Tahun 2001), oleh karena itu ia harus dihukum;
Hal-hal yang
memberatkan:
1. Perbuatan
terdakwa merugikan keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur;
2. Perbuatan terdakwa menghambat
usaha untuk mewujudkan clean government;
3. Perbuatan terdakwa dapat
menurunkan citra dan wibawa lembaga DPRD;
Hal-hal yang
meringankan
1. Terdakwa
belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga;
2. Terdakwa
di persidangan sangat kooperatif, sopan dan tidak menghambat persidangan;
3. Terdakwa
tidak terlibat dalam pengelolaan keuangan DPRD Kaltim dan tidak ikut dalam
kesepakatan dalam hal pembukaan rekening atas nama Ketua DPRD Kaltim;
4. bahwa
sebagian besar uang yang diterima oleh terdakwa telah digunakan untuk
kepentingan sosial;
Setelah membaca
pertimbangan Mahkamah Agung diatas bahwa terpidana terbukti melanggar Pasal 3
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana Pasal tersebut
berbunyi” setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana paling sedikit 1(satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda denda paling sedikit
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah). Di Pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai pidana
dengan bersyarat.
Kemudian
Mahkamah Agung Juga merasa tidak adil bila harus menjatuhkan hukuman untuk
membayar uang pengganti, karena mengingat jabatan terpidana sebagai wakil ketua
DPRD sehingga terpidana dianggap wajar memiliki jumlah kekayaan seperti
tersebut diatas.
Tujuan
adanya uang pengganti adalah untuk memidana dengan seberat mungkin para
koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan
korupsi. Tujuan lain adalah untuk mengembalikan uang negara yang melayang
akibat suatu perbuatan korupsi. Menurut undang-undang, salah satu unsur tipikor
adalah adanya tindakan yang “merugikan negara”. Dengan unsure ini, maka setiap
terjadi suatu perbuatan korupsi pasti akan menimbulkan kerugian pada keuangan
negara. Merupakan suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian menerapkan
sebuah kebijakan yang tertuang dalam undang-undang dalam mengupayakan
kembalinya uang negara tersebut.[43][45]
Definisi pidana pembayaran uang pengganti dapat ditarik dari
Pasal 18 UU ayat 1 huruf b No 31 Tahun 1999 yaitu”pembayaran uang pengganti
yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi”. Untuk dapat menentukan dan membuktikan berapa
sebenarnya jumlah”harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana
korupsi” jangan hanya ditafsirkan harta benda yang masih dikuasai oleh
terpidana pada saat jatuhnya putusan pengadilan tetapi juga harta benda hasil
korupsi yang pada waktu pembacaan putusan sudah dialihkan terdakwa kepada orang
lain.[44][46]
Jadi, dengan kata lain Mahkamah Agung hanya menjatuhkan
pidana denda kepada terpidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1702
K/Pid/2007. Penjatuhan pidana dengan bersyarat pada kasus korupsi akan
mengurangi kesan beratnya tindak pidana korupsi sehingga menyebabkan orang
tidak lagi melihat ancaman pidana dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagai sesuatu yang menakutkan. Dalam hal ini pemidanaan Tindak
Pidana Korupsi telah kehilangan fungsi pencegahan umumya. Pencegahan khusus
berupa efek jera yang diharapkan muncul dari pemidanaan korupsi pun juga
dikhawatirkan hilang bersamaan dengan penerapan pidana dengan bersyarat yang
berarti bahwa terpidana tidak perlu menjalani hukuman meskipun terbukti bersalah.
Hukuman percobaan dilatarbelakangi pemikiran yang ingin
memberi kesempatan pada pelaku tindak pidana untuk memperbaiki perilakunya
secara non institusional di dalam masyarakat. Aspek rehabilitatif suatu
pemidanaan menjadi titik berat penjatuhan bentuk pidana ini. Sejauh yang
penulis tahu, preferensi hakim memilih bentuk hukuman percobaan adalah sangat
rendah meskipun terhadap jenis tindak pidana ringan dan bahkan untuk jenis crime
without victim sekalipun. Padahal jenis tindak pidana ringan merupakan
jenis tindak pidana yang direkomendasikan untuk penerapan hukuman percobaan.[45][47]
BAB
IV
PENUTUP
Bab ini merupakan hasil analisis
terhadap data dan informasi yang sudah berhasil dikumpulkan dan dipaparkan pada
Bab II dan Bab III diatas. Bertitik tolak dari uraian pada Bab II dan
pembahasan pada Bab III dapat diambil kesimpulan dan saran.
1.
Kesimpulan
Sesuai dengan permasalah yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya. Maka penulis akan mencoba menguraikan beberapa
kesimpulan yang diantaranya sebagai berikut:
a.
Pidana bersyarat dapat diterapkan terhadap tindak pidana korupsi yang merupakan
extra ordinary crime, karena
undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang tidak secara eksplisit
mengatur kemungkinan dijatuhkannya hukuman percobaan namun Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membuka ruang dan kesempatan untuk
menerapkan vonis yang semacam ini. Ancaman minimum pidana penjara 1 (satu)
tahun seperti terdapat pada Pasal 3, Pasal 5, dan Pasal 9 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi memberi ruang dan kesempatan pada hakim utuk menjatuhkan
Pidana dengan bersyarat pada kasus-kasus tindak pidana korupsi yaitu apabila
kasus yang dijerat dengan Pasal-Pasal tersebut kemudian dijatuhi pidana penjara
tidak lebih dari 1 (satu) tahun.
b.
Yang menjadi alasan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dengan bersyarat
terhadap pelaku tindak pidana korupsi lebih bersifat subjektif terhadap para
pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri bukan dari sudut pandang objektif dari
perbuatan itu, dimana bila penulis lihat dari sudut pandang objektif maka tidak
memungkinkan hakim memberikan pidana dengan bersyarat karena unsur-unsur dalam
Pasal-Pasal yang dijeratkan terhadap para pelaku telah terpenuhi.
Tetapi
bila hakim melihat dari sudut pandang subjektif pelaku tindak pidana korupsi
memang memungkinkan untuk menjatuhkan pidana dengan bersyarat, adapun beberapa
hal yang termasuk kedalam pertimbangan subjektif hakim diantaranya:
-
Pertimbangan dari latar belakang terdakwa
-
Kondisi fisik dan mental terdakwa
-
Tindakan terdakwa yang kooperatif, sopan dan tidak menghambat persidangan
-
Status sosial daripada terdakwa itu sendiri
-
Dan memiliki itikad baik untuk mengembalikan hasil korupsinya kepada negara
2.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka
penulis mencoba memberikan beberapa saran bila tidak ingin efek jera yang
diharapkan muncul dari pemidanaan korupsi pun juga dikhawatirkan hilang
bersamaan dengan penerapan pidana dengan bersyarat yang berarti bahwa terpidana
tidak perlu menjalani hukuman meskipun terbukti bersalah.
a.
Diharapkan kepada hakim, baik ditingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
maupun Mahkamah Agung agar memberikan pidana yang berat kepada pelaku tindak
pidana korupsi, agar anggota masyarakat lain dapat merasakan efek jera yang
diharapkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan. Walaupun telah ditambah
dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dan pidana denda.
b.
Hakim Diharapkan lebih mempertimbangkan kerugian negara daripada pelaku tindak
tindak pidana itu sendiri agar pidana dengan bersyarat ini tidak perlu lagi
dijatuhkan pada putusan tindak pidana korupsi yang lain.
BAB V
DAFTAR
PUSTAKA
Chaerudin, dkk,. Tindak Pidana Korupsi.
PT. Refika Aditama. Bandung, 2008, hlm 1
Leden
Marpaung. Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan. Djambatan.
Jakarta. 2007, hlm 3
http://antikorupsi.org/indo/content/view/14050/6/
Adami
Chazawi “Pelajaran Hukum Pidana “, Teori-teori Pemidanaan, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2002.
Soerjono soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, Hlm.32
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat,
Alumni 1985, bandung. Hlm.217
Ibid, hlm 55
Op.cit., hlm 54-62
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008
Evi Hartanti.,Op.Cit. hlm.,59-62
Op.cit., hlm 67-68
Ibid.,hlm.,69.
H.M.Rasyid Ariman, M.Fahmi Raghib,
S.Pettanase, Bahan Kuliah Hukum Pidana Dalam Kodifikasi (Kejahatan Tertentu Dalam
KUHP), Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, hlm.3
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi
edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.5-7
R.Tresna,
Asas-asas Hukum Pidana, P.T Tiara Ltd, Jakarta, 1959.,hlm 27.
Op.cit.,
Adami Chazawi. Hlm.72.
Ibid.,
hlm.75.
M.
Sudrajat Basar, Tindak-tindak Pidana Tertentu didalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Remaja Karya CV, Bandung, 1984.,Hlm.2
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum
Pidana Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997., hlm.193
H.M.Rasyid Ariman, M.Fahmi Raghib,
S.Pettanase, op.cit.,hlm.10
Rohim,
Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008.
Andi
Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.,hlm.6.
Rohim, op.cit. hlm. 2
Martiman
Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Mandar
Maju, Bandung, 2009.
Evi Hartanti, Op.Cit.,hlm 9.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 527.
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia,
Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta, 1986.,hlm.9
Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit.,
hlm 11
Pasal 2 dan 3 UU No.31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
R.
Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006
S.R.
Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, alumni Ahaen
Patehan, Jakarta, 1982.,Hlm.219
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.31
Tahun 1999
Rohim, Ibid., hlm 20
Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang
Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Jakarta. solusi Publishing, 2010. hlm. 6
Ibid, Hlm. 7
Ibid, Hlm.8
Ibid, Hlm. 10
Ibid. Hlm.11
Op.cit. Adami Chawawi. Hlm.157
Leden
Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika. 2008 Hlm.105
Syarifuddin
Pettanase, Ansorie Sabuan. Hukum Acara Pidana. Palembang. Percetakan
Universitas Sriwijaya. 2000. Hlm 215
Ibid. hlm. 216
Ibid. Hlm. 217
Ibid. Ham. 218
Op.cit. Efi Laila Kholis. Hlm. 17
Ibid. Efi Laila Kholis. Hlm.15
[2][2] Leden Marpaung. Tindak Pidana
Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan. Djambatan. Jakarta. 2007, hlm 3
[4][6] Muladi,
Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni 1985, bandung. Hlm.217
[5][7] Ibid, hlm
55
[6][8] Op.cit.,
hlm 54-62
[7][9] Wirjono
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
2008
[8][10] Evi
Hartanti.,Op.Cit. hlm.,59-62
[9][11] Op.cit.,
hlm 67-68
[10][12]
Ibid.,hlm.,69.
[11][13] H.M.Rasyid
Ariman, M.Fahmi Raghib, S.Pettanase, Bahan Kuliah Hukum Pidana Dalam Kodifikasi
(Kejahatan Tertentu Dalam KUHP), Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, hlm.3
[12][14] Evi
Hartanti, Tindak Pidana Korupsi edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007,
hlm.5-7
[13][15] R.Tresna,
Asas-asas Hukum Pidana, P.T Tiara Ltd, Jakarta, 1959.,hlm 27.
[14][16] Op.cit.,
Adami Chazawi. Hlm.72.
[15][17] Ibid.,
hlm.75.
[16][18] M.
Sudrajat Basar, Tindak-tindak Pidana Tertentu didalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Remaja Karya CV, Bandung, 1984.,Hlm.2
[17][19] P.A.F.
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997., hlm.193
[18][20] H.M.Rasyid
Ariman, M.Fahmi Raghib, S.Pettanase, op.cit.,hlm.10
[19][21] Rohim,
Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008.
[20][22] Andi
Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.,hlm.6.
[21][23] Rohim,
op.cit. hlm. 2
[22][24] Martiman
Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Mandar
Maju, Bandung, 2009.
[23][25] Evi
Hartanti, Op.Cit.,hlm 9.
[24][26] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hlm. 527.
[25][27] Andi
Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta,
1986.,hlm.9
[26][28] Martiman
Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm 11
[27][29] Pasal 2
dan 3 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[28][30] R. Wiyono,
Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006
[29][31] S.R.
Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, alumni Ahaen
Patehan, Jakarta, 1982.,Hlm.219
[30][32] Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999
[31][33] Rohim,
Ibid., hlm 20
[32][34] Efi Laila
Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Jakarta. solusi
Publishing, 2010. hlm. 6
[33][35] Ibid, Hlm.
7
[34][36] Ibid,
Hlm.8
[35][37] Ibid, Hlm.
10
[36][38] Ibid.
Hlm.11
[39][41] Syarifuddin Pettanase, Ansorie Sabuan. Hukum Acara Pidana. Palembang.
Percetakan Universitas Sriwijaya. 2000. Hlm 215
[41][43] Ibid. Hlm.
217
[42][44] Ibid. Ham.
218
[43][45] Op.cit.
Efi Laila Kholis. Hlm. 17