TUGAS
MATA KULIAH
INTERNATIONAL
COMMERCIAL CONTRACT
PROPOSAL
MAKALAH
PRINSIP
KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM
INTERNATIONAL INSTITUTE FOR THE
UNIFICATION OF PRIVATE LAW
(UNIDROIT) DAN PEMBATASANNYA MELALUI HUKUM NASIONAL
Dosen:
Prof.
Dr. Felix Oentoeng Soebagjo, S.H., LL.M
Fatmah
Jatim, S.H., LL.M
Disusun
Oleh:
Sylviana
Kusuma Lestari
0806478475
No
Absensi 22
FAKULTAS
HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM
PASCASARJANA
JAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemilihan Judul
Globalisasi
terjadi hampir di semua bidang kehidupan masyarakat. Globalisasi di bidang
ekonomi dapat digambarkan dengan adanya suatu situasi dimana terjadi hubungan
saling ketergantungan diantara pihak dalam hal ini negara-negara di dunia
sebagai subjek hukum internasional. Ketergantungan tersebut secara tidak
langsung terbentuk sebagai akibat dari upaya untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional tiap negara melalui perdagangan internasional. Berkembangnya
perdagangan internasional saat ini memberikan dampak yang luas pada segala
aspek kehidupan yang lain, antara lain perkembangan dalam pembuatan kontrak
jual beli internasional.
Terdapat
hubungan yang erat antara perdagangan internasional dengan kontrak
internasional. Transaksi perdagangan internasional tertuang dan tertutup dalam
kontrak internasional, karena itu perkembangan (hukum) kontrak internasional
sedikit banyak bergantung kepada perkembangan transaksi perdagangan
internasional berikut hukum yang mengaturnya.
Kontrak
dalam melakukan perdagangan internasional merupakan suatu bagian yang penting
dalam transaksi internasional, oleh karena itu secara alamiah peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penjualan telah lama menjadi
perhatian. Keanekaragaman peraturan nasional tiap negara memberikan suatu kebutuhan
tersendiri akan adanya suatu peraturan yang bersifat universal dan
internasional.
Pembentukan suatu konvensi internasional pada dasarnya
bertujuan agar terciptanya suatu harmonisasi hukum atau aturan-aturan dalam
perdagangan internasional. Terdapat beberapa perjanjian yang terkait dengan
kontrak internasional, antara lain konvensi tentang jual beli internasional,
yaitu
United Nation Convention on
Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi CISG 1980) dan
konvensi tentang prinsip-prinsip kontrak internasional, yaitu
Principles of International Commercial
Contracts dalam
The International
Institute for the Unification of Private Law (Konvensi UNIDROIT 1994).
Seperti halnya konvensi CISG
,
UNIDROIT pun berupaya menciptakan suatu harmonisasi agar perbedaan hukum
nasional tidak menjadi rintangan atau kendala bagi para pihak pembuat
perjanjian dalam melakukan transaksi perdagangan internasional.
Sebagai
salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi UNIDROIT melalui Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan
Statute of International Institute for The
Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi
Hukum Perdata), maka dapat dikatakan bahwa Indonesia mengakui adanya konvensi
tersebut dan bersedia menjalankan ketentuan-ketentuan dalam konvensi dimaksud.
Walaupun begitu, prinsip UNIDROIT pada dasarnya tidak memiliki kekuatan hukum
apapun. Sarjana terkemukan yang merupakan pakar bidang hukum ini, yaitu
Profesor Bonnel menyatakan prinsip UNIDROIT ini sekedar instrument yang
memiliki kekuatan ‘pengaruh’ saja (
persuasive
value).
Berdasarkan
hal-hal tersebut, maka penulis akan membahas mengenai “Prinsip Dalam International Institute For The Unification
Of Private Law (UNIDROIT) Dan Penerapannya Melalui Hukum Nasional”.
B.
Pokok-Pokok
Permasalahan
Berdasarkan
penjelasan pada latar belakang, maka dirumuskan suatu permasalahan, yaitu:
1. Apa tujuan Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Konvensi
UNIDROIT melalui
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The
Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi
Hukum Perdata)?
2. Bagaimana pengaruh prinsip-prinsip dalam UNIDROIT
terhadap hukum nasional?
C.
Metode Laporan
1.7.1
Tipe Laporan
Penulis menggunakan metode laporan
yuridis normatif dalam melakukan penyusunan laporan.
Laporan yuridis normatif merupakan laporan yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Metode laporan
yuridis normatif, yaitu berupa laporan hukum tentang asas-asas hukum yang
dilakukan terhadap kaedah-kaedah hukum yang diatur dalam bahan hukum primer dan
yang berkembang melalui pembahasan dalam bahan hukum sekunder serta yang dapat
ditemukan dalam bahan hukum tersier. Kajian hukum normatif akan menghasilkan
laporan yang bersifat preskriptif, yaitu berusaha mencari jalan keluar untuk
mengatasi masalah yang ada. Pendekatan yang digunakan dalam laporan ini adalah
pendekatan kualitatif, yaitu bertujuan untuk memahami latar belakang dari suatu
konsep hukum.
Penulis menggunakan bahan kepustakaan
atau data sekunder sebagai acuan dalam penulisannya. Data sekunder, antara lain
mencangkup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil laporan yang berwujud
laporan. Data sekunder
yang digunakan terdiri dari:
1)
Bahan hukum primer,
yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Adapun bahan
hukum primer yang dimaksud adalah berupa kebijakan terutama yang berkaitan
dengan ketentuan International Institute for The Unification of Private
Law (UNIDROIT). Bahan hukum primer
tersebut terdiri dari:
a)
UNIDROIT Principles of International Commercial
Contracts 1994;
b)
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
c)
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
d)
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional;
e)
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan;
f)
Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The
Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi
Hukum Perdata).
2)
Bahan Hukum Sekunder,
yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer. Sedangkan yang
dimaksud dengan bahan hukum sekunder dalam hal ini adalah bahan kepustakaan
yang menjelaskan bahan hukum primer, antara lain majalah, jurnal ilmiah, Koran
dan lain sebagainya. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari:
a) Buku-buku
tentang International Institute for The Unification of Private Law (UNIDROIT);
b) Buku-buku
tentang hukum internasional
c) Buku-buku
tentang perdagangan internasional;
d) Buku-buku
tentang perdata internasional;
e) dan
lain-lain.
3)
Bahan hukum tersier,
yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum
tersier tersebut terdiri dari:
a) Kamus
umum Bahasa Indonesia;
b) Kamus
istilah hukum;
c) Kamus
hukum perdagangan internasional;
d) Kamus
Bahasa Inggris-Indonesia;
e) Black’s Law Dictionary;
f) www.unidroit.org
g) www.google.com;
h) dan lain-lain.
1.7.2 Analisis Data
Data yang dikumpulkan dari laporan
kepustakaan akan dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif. Metode
deskriptif, yaitu menggambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi
pokok permasalahan. Kualitatif, yaitu metode analisa data yang mengelompokan
dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya kemudian
dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari penelitin kepustakaan
sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan. Cara yang digunakan
dalam melakukan analisis adalah induktif, yaitu menyimpulkan hasil laporan dari
hal yang bersifat khusus ke hal yang sifatnya umum.
1.7.3
Tahap Laporan
Langkah-langkah yang ditempuh dalam
laporan ini dibagi menjadi 2 (dua) tahap, sebagai berikut:
1) Tahap
Persiapan, yaitu dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang
kemudian dilanjutkan dengan penyusunan dan pengajuan usulan laporan dalam bentuk proposal makalah,
lalu dilakukan konsultasi demi penyempurnaan;
2)
Tahap Pelaksanaan,
dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:
a) Tahap
laporan kepustakaan, dilakukan pengumpulan data sekunder dengan cara studi dokumen;
b) Tahap
penyelesaian, dilakukan berbagai kegiatan, antara lain melakukan analisa
terhadap bahan-bahan kepustakaan yang ada, mencari korelasi antara bahan-bahan
kepustakaan, penulisan laporan, dan konsultasi. Setelah itu dilakukan
penyusunan laporan
akhir.
D.
Kerangka
Landasan Teori
Sarjana terkemuka hukum
perdagangan internasional, Schmitthoff berpendapat bahwa otonomi (kebebasan)
para pihak adalah dasar bagi hukum perdagangan internasional:
“the
outonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which
an autonomous law of international trade can be build. The national sovereign
has, as we have seen, no objection that in that area an autonomous law of
international trade is developed by the parties, …”
Ada tiga alasan mengapa prinsip ini signifikan:
1.
Aturan ini
merupakan dasar yang hakiki bagi para pihak untuk dapat membuat atau
menandatangani suatu kontrak. Dengan aturan dasar ini pula memungkinkan para
pihak untuk membuat atau merancang muatan-muatan kontrak yang belum ada sebelumnya;
2.
Prinsip ini
penting untuk menciptakan suatu kebutuhan akan kepastian di dalam
hubungan-hubungan dagang;
3.
Prinsip party autonomy dibutuhkan dan relevan
karena prinsip ini berfungsi pula untuk melindungi keinginan atau
harapan-harapan para pihak di dalam melangsungkan usaha dagangnya.
Dengan tepat Clive M.
Schmitthoff menegaskan bahwa dengan prinsip otonomi ini pula para pihak dapat
mengembangkan, menginovasi atau menciptakan bentuk-bentuk kontrak baru yang
mereka inginkan dan sepakati. Pengakuan terhadap kebebasan berkontrak ini telah
mengembangkan, memperluas, bahkan menciptakan bentuk-bentuk baru di bidang
kontrak. Schmitthoff mengemukakannya sebagai berikut:
“…the area
of contract law is, subject to exception and restriction, governed by optional
law. Founded in the principle of the autonomy of the parties’ will. This is the
area in which a transnational law of international trade has developed and can
be furter evolved. This law is essentially founded on a parallelism of acion in
the various legal systems, in an area in which we have seen, the sovereign
national state in not essential interested. The aim of this parallelism of
action is to facilitate the conduct of international trade by establishing
uniform rules of law for it. In some international activities the need for such
rules is stronger than others.”
Perlu dikemukakan bahwa
kebebasan berkontrak sifatnya adalah tidak mutlak. Ada batas-batas yang
memagarinya. Batas-batas tersebut, antara lain adalah tidak boleh disimpanginya
aturan-aturan hukum nasional (yang sifatnya publik). Batas ini dikenal dalam
hukum latin yang berbunyi pacta privata
juri publico derogare non possunt.
Pembatasan kepentingan umum
terhadap prinsip ini dikemukakan pula oleh Professor Yntema, sebagai berikut:
“…the principle
of party autonomy in the law of contract is subject to various restriction in
the different municipal laws and is not interpreted elsewhere in the same
manner; these restriction are mainly imposed for reasons of public policy or in
the public interest.”
Prinsip ini sebenarnya lahir
dari pemikiran hukum alam dengan pemukanya Hugo Grotius. Menurut Grotius,
prinsip ini disebut juga dengan teori kekuatan moral dari suatu janji (the theory of the inherent moral force of a
promise). Berdasarkan teori ini, suatu janji secara moral adalah mengikat.
Prinsip ini termuat juga
dalam Pasal 25 AB (Algemene Bepalingen
Van Wegeving). Pasal ini menyatakan bahwa ‘orang dengan perbuatan atau
perjanjiannya tidak boleh menghilangkan kekuatan dari peraturan-peraturan hukum
dari ketentuan umum atau kesusilaan.
Pada hakikatnya pembuatan
kontrak merupakan salah satu sistem pembuatan hukum dalam hubungan keperdataan.
Kontrak akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Pada pembuatan
kontrak terdapat unsur proses seperti terdapat dalam pembuatan undang-undang. L.J Van
Apeldoorn menyatakan bahwa perjanjian atau kontrak dikelompokkan ke dalam
faktor yang membantu pembentukan hukum. Oleh karena itu, dalam beberapa hal
tertentu pembentukan hukum atau undang-undang dapat dianalogikan dengan
perjanjian atau kontrak karena keduanya memiliki sifat yang sama, yaitu
mengikat. Hingga batas-batas tertentu para pihak dalam suatu perjanjian atau
kontrak bertindak seperti pembentuk undang-undang, yaitu untuk mengikatkan diri
diantara mereka sendiri.
Pembuatan kontrak walaupun
menganut prinsip kebebasan berkontrak tetapi terdapat suatu
pembatasan-pembatasan tertentu dalam pembuatan kontrak tersebut. Pembatasan ini
antara lain demi kapentingan nasional atau kepentingan negara. Teori
kepentingan negara atau disebut juga teori governmental
interest analysis dipelopori oleh Prof. Brainerd Currie.
Yang dimaksud dengan interest (kepentingan) dalam teori ini
sebenarnya adalah kepentingan dari negara (governmental
interest) yang sistem hukumnya relevan dengan pokok perkara untuk
memberlakukan hukumnya dalam penyelesaian pokok perkara yang sedang dihadapi
yang dapat disimpulkan dari kebijakan hukum (policies) di dalam kaedah hukum lokal yang bersangkutan. Adanya
kebijakan-kebijakan tertentu yang melatarbelakangi pemberlakuan suatu kaidah
hukum lokal atau domestik itulah yang mendasari kepentingan dari negara yang
bersangkutan untuk memberlakukan hukumnya dalam perkara.
E.
Kerangka
Konsepsional
Untuk menghindarkan perbedaan pengertian
terhadap istilah-istilah yang dipergunakan dalam laporan ini, berikut ini
diberikan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut.
Kebebasan berkontrak adalah kebebasan
para pihak untuk membuat kontrak sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
Perjanjian
Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. (Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).
Pengesahan
adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi ( accession),
penerimaan (acceptance) dan penyetujuan ( ap-proval). (Pasal
1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).
Pensyaratan (Reservation)
adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral.
(Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).
Impor adalah
kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. (Pasal
1 Angka 13
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan).
Ekspor
adalah kegiatan mengeluarkan barang dari
daerah pabean. (Pasal
1 Angka 14
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan).
Industri Dalam Negeri adalah keseluruhan
produsen dalam negeri yang menghasilkan barang sejenis dengan barang terselidik
dan atau barang yang secara langsung merupakan saingan barang terselidik, atau
produsen yang secara kolektif menghasilkan bagian terbesar dari total produksi
barang sejenis dalam negeri. (Pasal 1 Angka 4 Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan
Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor).
F.
Sistematika
Penulisan
Dalam
laporan ini, penulis membagi ke dalam empat
bab yang terdiri dari:
1.
Bab I, yang merupakan
pendahuluan, menguraikan latar belakang pemilihan
judul, pokok-pokok
permasalahan, metode penelitian, kerangka landasan, kerangka
konsepsional, dan
sistematika penulisan yang
dipergunakan.
2.
Bab II, akan membahas
mengenai International Institute
For The Unification Of Private Law (Unidroit)
Secara Umum, yaitu Sejarah
UNIDROIT dan Prinsip dalam
UNIDROIT.
3.
Bab III, akan membahas Penerapan
Prinsip UNIDROIT Melalui Hukum Nasional Indonesia, yaitu Tujuan Hukum Perdagangan Internasional dan Mandatory
Rules dalam Hukum Nasional dikaitkan
dengan peraturan-peraturan di Indonesia, yaitu Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara,
Serta Lagu Kebangsaan.
4.
Bab IV, merupakan penutup
yang berisikan kesimpulan dan saran atas laporan
ini.
BAB II
INTERNATIONAL INSTITUTE
FOR THE UNIFICATION OF PRIVATE LAW (UNIDROIT) SECARA UMUM
A. Sejarah
UNIDROIT
The International Institute for the Unification of
Private Law (UNIDROIT) adalah sebuah
organisasi antar pemerintah yang sifatnya
independen. UNIDROIT dibentuk pada tahun 1926 sebagai suatu
badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB bubar,
UNIDROIT dibentuk kembali pada tahun 1940 berdasarkan suatu
perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (the UNIDROIT
Statute). UNIDROIT berkedudukan di kota Roma. Prinsip-prinsip hukum UNIDROIT merupakan prinsip-prinsip umum bagi kontrak
komersial international yang bisa diterapkan kedalam aturan nasional, atau
dapat dipakai oleh pembuat kontrak untuk mengatur transaksi-transaksi komersial
international sebagai pilihan hukum.
Tujuan
utama pembentukannya adalah melakukan kajian untuk memodernisasi,
mengharmonisasi dan mengkoordinasikan hukum privat,
khususnya hukum komersial (dagang) di antara negara atau di
antara sekelompok negara. Keanggotaan UNIDROIT terbatas
hanya untuk negara-negara yang menundukkan dirinya
kepada Statuta UNIDROIT. Negara-negara ini
berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum, ekonomi,
politik dan budaya yang berbeda.
Prinsip-prinsip UNIDROIT memberikan
solusi terhadap masalah yang timbul ketika terbukti bahwa tidak mungkin untuk
menggunakan sumber hukum yang sesuai dengan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu,
prinsip–prinsip UNIDROIT digunakan sebagai sumber hukum yang dijadikan acuan
dalam menafsirkan ketentuan hukum kontrak yang tidak jelas. Dari segi formal,
prinsip ini menghindari penggunaan terminologi khusus yang digunakan dalam
sistem hukum tertentu. Cara penyusunan prinsip-prinsip UNIDROIT menggunakan
model dari Restatement of the Law of
Contracts (RLOC) yang dibuat oleh American
Law Institute (ALI), yang didirikan pada tahun 1923.
Memang ada kalanya berlaku suatu prinsip
hukum umum, prinsip hukum ini diketahui melalui suatu tinjauan maupun
inventarisasi atas berbagai hukum nasional untuk menemukan prinsip yang secara
umum berlaku di berbagai negara.
Salah satu contoh prinsip hukum umum adalah pacta
sunt servanda, yaitu suatu prinsip yang menentukan bahwa persetujuan
mengikat para pihak dan harus dihormati. Namun, dalam praktik kerap timbul
kesulitan dalam penggunaan prinsip hukum umum sebagai sumber lex mercatoria.
Pada kepustakaan hukum komersial, hukum
kebiasaan internasional yang berkembang dalam praktik dan telah diadopsi ke
dalam konvensi internasional, dapat dikategorikan ke dalam lex mercatoria. Dalam
pengertian secara linguistik lex
mercatoria diambil dari bahasa Latin,
yang berarti hukum perniagaan atau komersial. Pada umumnya
di dalam beberapa kepustakaan istilah lex
mercatoria diberikan pengertian sebagai hukum yang seragam (uniform law) yang keberadaanya diterima
oleh komunitas komesial di berbagai negara.
Sifat hukum seragam tidak mengikat. Ia hanya bersifat persuasif. Karena itu derajat
pengadopsian atau penerapannya sangat
bergantung kepada masing-masing negara. Model hukum ini berbeda dengan
perjanjian atau konvensi internasional.
Pada
saat suatu negara turut serta, aksesi atau meratifikasi suatu perjanjian atau
konvensi internasional, maka pada prinsipnya seluruh aturan perjanjian mengikat
negara tersebut.
Aturan-aturan seragam lebih rendah tingkatannya daripada
hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk aturan seragam tampak antara lain
dalam modal-model kontrak standar atau kontrak baku yang dicantumkan oleh para
pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka buat.
Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi
memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu kontrak
apabila para pihak hendak memanfaatkan fasilitas lembaga atau asosiasi yang
bersangkutan. Hal ini antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul
arbitrase baik nasional maupun asing. Klausul-kluasul standar arbitrase
tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi merancang klausul choice
of forum-nya, dalam hal ini arbitrase.
Bagaimana unifikasi dan harmonisasi dapat bekerja, agak
sulit untuk dipaparkan di sini. Namun demikian, Katerina Pistor, guru besar di
Columbia Law School, mengemukakan istilah yang dinamakannya standardization
of law (standardisasi hukum). Maksud standardisasi di sini mengacu kepada
suatu tahap dari kekhususan dari suatu hukum (the level of specificity of
law). Standar hanya mencakup prinsip-prinsip hukum (legal principles),
bukan atau tidak aturan-aturan hukumnya (legal rules).
Pada hakikatnya pembuatan kontrak
merupakan salah satu sistem pembuatan hukum dalam hubungan keperdataan. Kontrak
akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, pada pembuatan kontrak
terdapat unsur proses seperti pada pembuatan undang-undang. L.J. van Apeldoorn menyatakan
bahwa perjanjian atau kontrak dikelompokkan ke dalam faktor yang membantu
pembentukan hukum. Oleh karena itu, dalam beberapa hal tertentu pembentukan
hukum atau undang-undang dapat dianalogikan dengan perjanjian atau kontrak
karena keduanya memiliki sifat yang sama, yaitu mengikat. Sampai dengan batasan
tertentu, para pihak dalam perjanjian atau kontrak bertindak sebagai pembentuk
undang-undang. Perbedaanya adalah apabila perjanjian hanya mengikat bagi para
pihak yang membuatnya sedangkan undang-undang mengikat bagi semua warga Negara.
Sebagaimana arti lex mercatoria yang telah dijelaskan di atas yakni hukum komersial,
oleh karena itu doktrin ini berkaitan dengan hukum kontrak komersial, yaitu
hukum kebisaan dalam masyarakat bisnis dalam proses pembuatan dan pelaksanaan
kontrak bisnis. Dilihat dari tahapannya, kontrak dibuat dengan 3 (tiga) tahap,
yaitu tahap negosiasi, tahap pembuatan kontrak, dan tahap pelaksanaan kontrak.
Sebelum melakukan negosiasi, kedua belah
pihak harus memenuhi syarat untuk menjamin keabsahan dalam menutup suatu
kontrak. Namun, UNIDROIT tidak mengatur ketentuan yang membatasi validitas
kontrak seperti masalah kedewasaan, immoralitas, dan kepentingan umum, karena
hal itu dianggap sebagai bagian dari hukum nasional masing-masing negara.Melalui
penelitian dan upaya yang cukup lama, pada tahun 1971 UNIDROIT berusaha menelaah
prinsip lex mercatoria agar dapat
dihimpun menjadi dokumen autentik. Baru pada tahun 1994 berhasil disusun
prinsip-prinsip umum yang dikenal dengan UNIDROIT
Principles of International Commercial Contracts (UPICCs), yang kemudian
oleh para pakar dikategorikan ke dalam the
New Lex Mercatoria.
Melihat tujuan utama UNIDROIT yaitu mempersiapkan harmonisasi
aturan-aturan hukum privat. Upaya ini dipandang penting
mengingat perkembangan teknologi baru dalam praktek-praktek perdagangan
yang memerlukan aturan hukum baru. Biasanya aturan-aturan
baru tersebut juga dibuat oleh negara-negara. Masalahnya
adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara satu
aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karena itu aturan tersebut
perlu diharmonisasi, atau bahkan diunifikasi guna memperlancar
perdagangan internasional.
Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi hukum
tersebut banyak
bergantung kepada keinginan dan kerelaan negara-negara untuk
mau menerimanya. Meskipun menyadari adanya
kesulitan upaya tersebut, UNIDROIT memiliki kedudukannya
yang menguntungkan sebagai organisasi antar pemerintah.
Dalam kaitan ini, UNIDROIT menerapkan pemberlakuan
konvensi atau perjanjian internasional yang
mensyaratkan penerimaan dari negara-negara anggotanya.
Tujuannya adalah menerapkan aturan-aturan konvensi
tersebut ke dalam sistem hukum negara-negara
anggota yang menundukkan dirinya kepada
konvensi tersebut. Penerimaan suatu aturan
konvensi oleh negara akan jauh lebih memudahkan pemberlakuan
aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam
wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga negara atau
subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut).
Selama berdiri UNIDROIT telah melakukan lebih dari 70 kajian.
Kajian-kajian ini ada yang telah menghasilkan berbagai perjanjian
atau konvensi internasional, antara lain sebagai berikut:
- Convention
relating to a Uniform Law on the Formation of Contracts for the
International Sale of Goods (The Hague 1964);
- Convention
relating to a Uniform Law on the International Sale of Goods (The Hague,
1964);
- International
Convention on the Travel Contract (Brussels, 1970);
- Convention
providing a Uniform Law on the Form of an International Will (Washington,
1973);
- Convention
on Agency in the International Sale of Goods (Geneva, 1983);
- UNIDROIT
Convention on International Financial Leasing (Ottawa, 1988);
- UNIDROIT
Convention on International Factoring (Ottawa, 1988);
- UNIDROIT
Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural Objects (Rome, 1995);
- Convention
on International Interests in Mobile Equipment (Cape Town, 2001);
- Protocol
to the Convention on International Interests in Mobile Equipment on
Matters specific to Aircraft Equipment (Cape Town, 2001).
B. Prinsip dalam UNIDROIT
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam UNIDROIT 2004 (UNIDROIT Principles) terdiri dari 10 Chapter dan 184 Articles. Sistematika UNIDROIT Principles
terdiri dari Preamble (Pembukaan), Chapter 1 : General Provision (Ketentuan-ketentuan
Umum) dan Chapter 2
: Formation and Authority of Agents (Pembentukan
Perjanjian dan Kewenangan Agen), Chapter 3
: Validity (Validitas/Keabsahan Perjanjian), Chapter 4 : Interpretation (Penafsiran
Persyaratan Perjanjian), Chapter 5 : Content
and Third Party Right (Isi Perjanjian dan Hak Pihak Ketiga), Chapter 6 : Performance (Pelaksanaan
Perjanjian), Chapter 7 : Non – Performance (Wanprestasi dan
akibat-akibatnya), Chapter 8 : Set – Off (Penjumpaan Hutang), Chapter 9
: Assigment of Right, Transfer of Obligation, Assigment of Contract (Pengalihan
Hak, Pengalihan Kewajiban dan Pengalihan Perjanjian), Chapter 10: Limitation
Periods (Tenggang Waktu Daluarsa).
Prinsip
pertama, kebebasan berkontrak, sebenarnya adalah prinsip universal dalam hukum
perdagangan internasional. Setiap sistem hukum pada bidang hukum dagang
mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang
(internasional). Schmitthoff menanggapi secara positif kebebasan pertama ini.
Beliau menyatakan:
“The autonomy of the parties’ will in the law
of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade
can be built. The national sovereign has,..., no objection that in that area an
autonomous law of international trade is developed by the parties, provided
always that that law respects in every national jurisdiction the limitations
imposed by public policy.”
Kebebasan
tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas. Ia meliputi kebebasan untuk
melakukan jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati. Ia termasuk pula
kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula
kebebasan untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak. Kebebasan ini
sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan
umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh
masing-masing sistem hukum.
Prinsip utama UNIDROIT Principles, selain mewarnai pemberlakuan hampir seluruh asas yang
ada di UNIDROIT Principles, juga
dianggap sebagai salah satu tiang utama dari suatu tata ekonomi internasional
yang terbuka, berorientasi pasar, dan kompetitif adalah bahwa para pelaku bisnis
bebas untuk menentukan kepada
siapa mereka akan menawarkan atau dari siapa mereka akan memperoleh pemasokan
barang atau jasanya dan bagi mereka terbuka kemungkinan untuk secara bebas
bersepakat tentang persyaratan-persyaratan
setiap transaksi yang mereka adakan.
Pasal
selanjutnya adalah mengenai Binding
Character of Contract dalam Pasal 1.3
UNIDROIT Principles, sebagai berikut:
“A
contract validly entered into is binding upon the parties. It can only be
modified or terminated in accordance with its term or by agreement or as
otherwise provided in these Principles.”
Perjanjian yang sah adalah mengikat
para pihak. Perjanjian tersebut hanya dapat diubah atau diakhiri sesuai dengan
syarat-syarat dalam perjanjian atau dengan persetujuan atau ditentukan sebaliknya
dalam UNIDROIT Principles.
Pasal
ini
mencerminkan asas Pacta Sunt
Servanda yang menetapkan bahwa “perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya”. Asas ini baru mengikat
apabila:
· Persetujuan telah
dicapai oleh para pihak (sesuai Chapter
2 UNIDROIT Principles)
dan tidak melanggar syarat-syarat
sahnya kontrak (sesuai Chapter 3 UNIDROIT
Principles);
· Telah
memenuhi persyaratan-
persyaratan sahnya
kontrak yang ditetapkan di dalam kaidah-kaidah memaksa untuk sahnya kontrak
yang berlaku pada hukum nasional atau hukum internasional.
Inti dari Pacta Sunt
Servanda dalam Pasal
1.3. UNIDROIT Principles
adalah sebuah kontrak dapat dirubah atau diakhiri kapanpun para pihak
menyepakatinya. Jadi artinya, modifikasi atau
pengakhiran kontrak tanpa ada kesepakatan hanya dapat diajukan sebagai alasan
yang sah apabila sesuai dengan
persyaratan kontrak, atau bila secara tegas dimungkinkan di dalam
prinsip-prinsip UNIDROIT Principles.
Walaupun Pasal 1.3 pada dasarnya
berprinsip bahwa “Sebuah kontrak hanya
mengikat para pihak pembuatnya”, namun UNIDROIT Principles
mengakui adanya situasi-situasi tertentu di mana kaidah hukum nasional
menentukan bahwa kontrak dapat membawa akibat hukum pada pihak ke-3.
Pada
dasarnya prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT tidak secara tegas mencantumkan jual
beli internasional sebagai objek dasar pengaturan. Hal ini dapat dilihat dari
Purpose
of the Principles yang terdapat
dalam preamble UNDROIT, sebagai berikut:
·
Berupaya
untuk menciptakan suatu aturan yang berimbang. Dengan adanya aturan yang
berimbang tersebut diharapkan para pihak yang terlibat dalam perdagangan
internasonal yang berlatar belakang tingkat ekonomi dan sistem politik, bahkan
sistem hukum yang berbeda dapat menggunakannya;
·
Tujuan
lainnya yang juga penting adalah bahwa sistem UNIDROIT ini dapat digunakan oleh
para pihak manakala mereka menemukan jalan buntu dalam menentukan hukum mana
yang akan dipilih terhadap kontrak mereka. Kebuntuan ini karenanya dapat
diselesaikan dengan kesepakatan para pihak untuk memilih prinsip kontrak
UNIDROIT ini;
·
Adalah
bahwa prinsip UNIDROIT dapat digunakan oleh para pihak untuk menafsirkan
sesuatu hal (klausul) dalam kontrak yang menimbulkan sengketa karena adanya
perbedaan penafsiran diantara para pihak;
·
Fungsi
lainnya dari prinsip UNIDROIT ini adalah bahwa prinsip-prinsip hukum kontrak
yang terdapat di dalamnya dapat dimanfaatkan sebagai pegangan bagi para pihak
perancang hukum di negara-negara di dunia dalam merancang hukum kontraknya.
Bahkan dalam preamble juga dinyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan
perjanjian internasional lainnya yang dibuat setelah adanya prinsip UNIDROIT,
untuk mengacu kepada prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT.
Tujuan
dibuatnya prinsip-prinsip UNIDROIT adalah untuk menentukan aturan umum bagi
kontrak komersial internasional. Prinsip ini berlaku apabila para pihak telah
sepakat bahwa kontrak mereka tunduk pada prinsip tersebut dan pada prinsip
hukum umum (
general principles of law),
lex mecantoria,
dan sejenisnya.
Prinsip-Prinsip
UNIDROIT memberikan solusi terhadap masalah yang timbul ketika terbukti bahwa
tidak mungkin untuk menggunakan sumber hukum yang relevan dengan hukum yang
berlaku di suatu negara. Oleh karena itu, prinsip-prinsip UNIDROIT digunakan
sebagai sumber hukum yang dijadikan acuan dalam menafsirkan hukum kontrak yang
tidak jelas. Apabila tidak ditemukan aturannya dalam hukum yang berlaku (
governing law), maka prinsip-prinsip
UNIDROIT dapat digunakan sebagai solusi, sehingga menjadi instrumen hukum
tambahan karena prinsip-prinsipnya diambil dari kebiasaan dan praktik yang
seragan dalam hukum internasional.
Agar
orang dapat memahami prinsip-prinsip UNIDROIT, maka para pembuatnya
mengemukakan beberapa hal berikut ini
:
· Tujuan
pembuatan UNIDROIT Principles, adalah
membentuk seperangkat aturan-aturan yang seimbang dan dapat digunakan di
seluruh dunia, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan dalam tradisi hukum, dan
kondisi ekonomi dan politik dari negara-negara
yang menerapkannya;
· Dikaitkan
dengan substansinya UNIDROIT Principles
umumnya bersifat fleksibel, mengikuti perkembangan-perkembangan ekonomi dan
teknologi yang dapat mempengaruhi praktek perdagangan transnasional;
· Dari
segi bentuk formalnya,
UNIDROIT Principles menghindarkan
diri dari penggunaan terminologi
yang dikenal di dalam beberapa sistem hukum tertentu saja;
· Dari
segi penegakannya
UNIDROIT Principles sebagai suatu
pranata yang tidak melibatkan persetujuan pemerintah negara-negara nasional,
bukanlah merupakan suatu pranata yang mengikat (binding instrument), dan karena itu daya mengikatnya tergantung
pada kewenangan persuasif
yang ada di negara-negara
tersebut.
Terdapat
prinsip-prinsip utama dalam UNIDROIT, yaitu prinsip kebebasan berkontrak,
prinsip itikad baik (
good faith) dan
transaksi jujur (
fair dealing),
prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat, prinsip
kesepakatan melalui penawaran (
offer)
dan penerimaan (
acceptance) atau
melalui tindakan, prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk, prinsip
kewajiban menjaga kerahasiaan, prinsip perlindungan pihak lemah dari
syarat-syarat baku, prinsip syarat sahnya kontrak, prinsip dapat dibatalkannya
kontrak bila mengandung perbedaan besar (
gross
disparity), prinsip
contra
proferentem dalam penafsiran kontrak baku, prinsip menghormati kontrak
ketika terjadi kesulitan (
hardship),
prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (
force majeur).
1.
Prinsip
kebebasan berkontrak
Prinsip kebebasan berkontrak begitu tercermin dalam
pernyataan Pasal 1.1 UNIDROIT Principles
yang merupakan dasar dari prinsip kebebasan berkontrak, sebagai berikut:
“The
parties are free to enter into a contract and to determine its content”.
Prinsip ini ditekankan sebagai
dasar dari prinsip perdagangan internasional.
Kebebasan disini adalah bebas untuk menyatakan dengan siapa pihak
tersebut akan membuat kontrak, bebas menentukan barang yang akan
diperdagangakan, bebas untuk melakukan negosiasi, bebas untuk memilih forum (choice of forum) maupun memilih hukum (choice of law) yang akan dipergunakan
dalam kontrak.
Prinsip
kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1.1 UNIDROIT Principles ini pada dasarnya menegaskan
adanya kebebasan para pihak untuk membuat kontrak sesuai dengan kesepakatan
yang mereka buat, sedangkan pengaturan di Indonesia tentang prinsip kebebasan
berkontrak terdapat dalam ketentuan
Pasal 1338 BW yang menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah
kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah
kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya
asas konsensualisme menurut hukum perjanjian di Indonesia memantapkan adanya
asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat
perjanjian maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.
Asas
konsensualisme juga duanut oleh prinsip-prinsip UNIDROIT, sebagai prinsip dasar
kontrak internasional. Kontrak internasional memang harus menganut asas
konsensual karena dalam hubungan transaksi bisnis internasional para pihak
tidak langsung bertemu secara fisik tetapi menggunakan berbagai sarana
telekomunikasi. Dewasa ini berkembang berbagai sarana hukum kontrak yang
memperjanjikan jual beli barang, yang barangnya sendiri belum ada tetapi
harganya telah disepakati, bahkan sudah dibayar.
Prinsip
UNIDROIT bertujuan untuk mengharmonisasi hukum kontrak komersial di
Negara-negara yang menerapkannya, sehingga materi terfokus pada persoalan yang
dianggap netral. Dengan demikian ruang lingkup yang diatur oleh Prinsip
UNIDROIT adalah kebebasan berkontrak.
Dasar pemikirannya adalah bahwa apabila kebebasan berkontrak tidak diatur maka
dapat terjadi distorsi, tetapi sebaliknya apabila pengaturannya terlalu ketat,
maka akan hilanglah makna dari kebebasan berkontrak itu sendiri.
Oleh
karena itu UNIDROIT berusaha untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang
diharapkan dapat memberikan solusi persoalan perbedaan hukum dan kepentingan
ekonomi lainnya. Prinsip kebebasan berkontrak diwujudkan dalam lima bentuk
prinsip hukum, yaitu:
a. Kebebasan
menentukan isi kontrak;
Selain bebas untuk
menentukan pihak dalam membuat kontrak, kebebasan berkontrak juga
memperbolehkan pihak-pihak tersebut untuk memilih hukum yang akan mereka gunakan.
Tidak adanya suatu paksaan dalam UNIDROIT untuk menggunakan hukum tersebut
dalam setiap kontrak internasional yang dibuat, prinsip UNIDROIT pada dasarnya
tidak memiliki kekuatan hukum apapun.
Dari bentuknya, pilihan
hukum dapat berupa pilihan secara tegas dinyatakan oleh para pihak dalam suatu
klausul kontrak, pilihan secara diam-diam atau tersirat, kesepakatan para pihak
untuk menyerahkan pilihan hukum kepada pengadilan, dan ketetapan para pihak
untuk tidak memilih atau membuat klausul pilihan hukum.
Klausul pilihan forum (choice of forum) merupakan salah satu
klausul yang cukup penting dalam pembuatan suatu kontrak, walaupun terkadang
klausul ini sering tidak dicantumkan oleh para pembuat kontrak. Seperti halnya
inti dari prinsip kebebasan berkontrak, penempatan klausul ini tergantung dari
kesepakatan para pihak apakah akan menggunakan klausul tersebut dalam kontrak
mereka.
b. Kebebasan
menentukan bentuk kontrak;
Prinsip-prinsip
UNIDROIT menentukan kesederhanaan dalam pembuatan kontrak dengan menegaskan
bahwa kontrak tidak perlu tertulis. Hal ini tercantum dalam Pasal 1.2 UNIDROIT Principles,
sebagai berikut:
“Nothing in these Principles requires a contract,
statement or any other act to be made in or evidenced by a particular form. It
may be proved by any means, including witnesses”.
Ketentuan
yang menyatakan bahwa pembuatan kontrak ini dapat dilakukan secara tidak
tertulis bisa terjadi karena berdasarkan sejarah adanya hukum perdagangan
internasional yang disebabkan oleh hukum para pedagang yang sifatnya hukum
kebiasaan atau lex
mercatoria.
Kalimat
pertama dari Pasal 1.2 UNIDROIT
Principles
tersebut memberi perhatian pada
adanya sistem hukum nasional yang mewajibkan persyaratan formal untuk substansi kontrak atau untuk pembuktian adanya kontrak. Kalimat kedua menetapkan berlakunya
kebebasan para pihak untuk menggunakan segala upaya untuk membuktikan adanya
kontrak (termasuk bukti lisan). Pembatasan terhadap Kebebasan Mengenai Bentuk Perjanjian :
· Kebebasan
para pihak dalam menentukan bentuk perjanjian dibatasi oleh hukum yang seharusnya berlaku;
· Artinya
hukum yang seharusnya berlaku berdasarkan Hukum
Perdata Internasional (HPI) dapat menetapkan
persyaratan tentang bentuk, baik yang menyangkut perjanjiannya atau pasal-pasal
tertentu (kaitkan dengan Pasal
1.4.). Para
pihak juga bebas untuk menentukan bentuk tertentu untuk penutupan, perubahan
atau pengakhiran perjanjian.
Dalam
masa ini, para pedagang sendiri yang menentukan bentuk dan isi kontrak yang
mereka sepakati, karenanya lex
mercatoria sebenarnya adalah
lembaga hukum yang tumbuh karena adanya kebutuhan para pedagang guna menuangkan
kesepakatan yang telah dicapai diantara mereka. Hannu Honka menggambarkan
kehadiran lembaga hukum ini dengan uraian, sebagai berikut:
“Lex Mercatoria
does not devire its authority from formal legislative activities, such as
conventions, but rather from acceptance of the need for a basic international
order in contract law. It includes general principles of contract law”
Seiring
dengan perkembangan waktu yang menyebabkan berkembangnya pula transaksi di
bidang perdagangan internasional memberi
dampak terhadap bentuk kontrak perdagangan. Banyaknya hal-hal yang harus diatur
dan pembatasan-pembatasan yang disepakati oleh para pihak menyebabkan bentuk
kontrak secara tidak tertulis menjadi mustahil untuk digunakan.
Adanya
prinsip kebebasan para pihak untuk berkontrak (party autonomy) didukung oleh kemajuan teknologi memberikan peluang
semakin berkembangnya bentuk kontrak yang digunakan oleh para pihak. Prinsip
kebebasan berkontrak ini adalah prinsip yang dapat menembus
formalitas-formalitas dan dengan prinsip inilah hukum kontrak internasional
berkembang dengan pesat dan member peluang untuk para pihak secara kreatif
menemukan bentuk kontrak kontrak dengan berbagai variannya.
Secara
umum dari segi bentuknya, kontrak internasional dapat digolongkan ke dalam
beberapa bentuk, sebagai berikut:
·
kontrak awal (pra
kontrak atau Memorandum of
Understanding-MoU);
·
kontrak di bidang jual
beli barang dan jasa;
·
kontrak di bidang
perwakilan (Agency and Distributorship
Agreement);
·
kontrak di bidang
waralaba;
·
kontrak di bidang
lisensi dan alih teknologi;
·
kontrak di bidang usaha
patungan (Joint Ventures Contract);
·
kontrak di bidang
pembangunan ekonomi (Economic Development
Agreement).
c. Kontrak
mengikat sebagai undang-undang;
Perjanjian yang sah
adalah mengikat para pihak. Perjanjian tersebut hanya dapat diubah atau
diakhiri sesuai dengan syarat-syarat dalam perjanjian atau dengan persetujuan
atau ditentukan sebaliknya dalam, hal ini tertuang dalam Pasal 1.3 UNIDROIT Principles,
sebagai berikut:
“A contract validly entered into is binding
upon the parties. It can only be modified or terminated in accordance with its
terms or by agreement or as otherwise provided in these Principles”.
Dalam
melakukan analisa terhadap pelaksanaan kontrak (performance of contract), sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) masalah
hukum, sebagai berikut:
·
Apakah telah dilakukan
pelaksanaan kontrak sepenuhnya. Hal ini tergantung dari apakah sudah
dilaksanakan syarat kontrak. Jika terpenuhi, berarti kontrak telah sukses dan
selesai;
·
Adakalanya terjadi
ingkar janji oleh dalah satu pihak, maka perlu dilihat apakah ingkar janji itu
ada alasan pemaafnya. Alasan pemaaf dapat berupa karena berlakunya klausul
eksemsi (effect of exception clauses),
terjadinya perubahan atau pengakhiran kontrak dengan persetujuan (variation or termination by agreement),
dan pengakhiran kontrak karena kegagalan;
·
Apakah telah terjadi
pelanggaran kontrak. Hal ini perlu dilihat dari syarat kontrak, pelaksanaannya,
penyelesaian perselisihan, dan anti rugi bagi pihak yang tak bersalah.
Kebanyakan
sistem hukum mengakui bahwa konsekuensi dari prinsip kebebasan berkontrak
berarti para pihak bebas untuk memasukan klausul yang mewajibkan mereka
melakukan renegosiasi kontrak apabila terjadi perubahan keadaan yang
mengakibatkan kesulitan. Keberatan sementara orang terhadap klausul itu karena
menimbulkan ketidakpastian hukum.
Jika
para pihak sepakat untuk mengadakan renegosiasi maka dapat terjadi 3 (tiga)
kemungkinan. Pertama, mereka mungkin sepakat bahwa kontrak yang ada
dikesampingkan dan kemudian menegosiasi kesepakatan yang seluruhnya baru.
Kedua, mereka membatalkan persyaratan kontrak yang lama dan menggantinya dengan
yang baru, cara ini dikenal dengan istilah novasi (novation). Ketiga, mereka membiarkan kontrak yang ada tetapi
mengubah beberapa syaratnya yang disebut variation
dari kontrak asli.
Hukum
perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan. Kelemahan
tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam bidang-bidang hukum lainnya, yakni
terdapatnya pengecualian-pengecualian atau klausul-klausul 'penyelamat' yang
bersifat memperlonggar kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut
yaitu:
·
Hukum
perdagangan internasional sebagian besar bersifat pragmatis dan permisif. Hal
ini mengakibatkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional kurang obyektif
di dalam 'memaksakan' negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam
kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan ekonomi
memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan politisnya;
·
Aturan-aturan hukum
perdagangan internasional bersifat mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa).
Kelemahan ini sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan
internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan hukum ini di
tengah krisis.
d. Aturan
memaksa sebagai pengecualian
Walaupun
sesuai dengan Pasal 1.1 UNIDROIT
Principles
dan Pasal 1338
BW ditegaskan
adanya jaminan atas kebebasan berkontrak, tetapi untuk tetap menjamin
ketertiban umum dan kepentingan nasional, tidak boleh dilupakan pula aturan
memaksa sebagai pengecualian. Prinsip-prinsip UNIDROIT memberikan tempat bagi
aturan yang memaksa (
mandatory rules)
baik yang berasal dari hukum domestik, maupun dari hukum internasional yang
dapat menghalangi kebebasan berkontrak,
hal ini terdapat dalam Pasal 1.4 UNIDROIT
Principles:
“Nothing in these Principles shall restrict the application of
mandatory rules, whether of national, international or supranational origin,
which are applicable in accordance with the relevant rules of private
international law”.
Tidak ada satu
ketentuan pun dalam UNIDROIT Principles
yang dapat menghalangi penerapan aturan-aturan memaksa, baik berasal dari
national, internasional maupun supranasional, yang dipakai sesuai dengan
kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional
(HPI) yang relevan. Kaidah-kaidah hukum memaksa (mandatory rules)
yang diberlakukan oleh negara dalam hukum nasionalnya, atau untuk
melaksanakan suatu konvensi internasional, atau yang digunakan oleh sebuah
organisasi internasional, tidak dapat dikesampingkan oleh asas-asas UNIDROIT Principles.
Bila para pihak
memasukkan prinsip-prinsip UNIDROIT
sebagai syarat dalam kontrak maka syarat-syarat itu tidak dapat mengesampingkan
kaidah memaksa dari lex cause
atau lex fori atau negara
ketiga yang memiliki kaitan yang erat dengan kontrak. Bila (khususnya dalam
proses pengadilan dan/atau arbitrase) asas-asas UNIDROIT Principles
diberlakukan sebagai hukum yang berlaku, maka UNIDROIT Principles
tidak dapat mengesampingkan kaidah-kaidah memaksa dari sistem hukum yang
seharusnya berlaku berdasarkan pendekatan HPI.
Ada
beberapa kategori aturan yang dianggap sebagai hukum yang memaksa oleh
prinsip-prinsip UNIDROIT, yaitu:
·
Aturan hukum
memaksa yang berlaku dalam prinsip-prinsip UNIDROIT sendiri;
·
Aturan memaksa
yang berlaku apabila prinsip-prinsip UNIDROIT dipilih sebagai hukum yang
mengatur kontrak;
·
Aturan memaksa
berdasarkan HPI yang relevan.
Dalam Pasal 1.5 UNIDROIT Principles menyatakan:
“The
parties may exclude the application of these Principles or derogate from or
vary the effect of any of their provisions, except as otherwise provided in the
Principles”
Dari ketentuan di atas
dapat ditarik tiga unsur pokok, yaitu:
· Prinsip-prinsip
UNIDROIT sebagai pilihan hukum dan tidak bersifat memaksa;
· Penggunaan
prinsip-prinsip UNIDROIT dapat dikesampingkan atau dimodifikasi baik secara
tegas, atau diam-diam;
· Apabila
para pihak sudah menundukan diri pada prinsip-prinsip UNIDROIT, maka mereka
harus tunduk pada aturan yang memaksa dari prinsip-prinsip hukumnya.
e. Sifat
internasional dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT yang harus diperhatikan dalam
penafsiran kontrak.
Hal
yang perlu diperhatikan dalam penafsiran kontrak, yaitu:
·
Penafsiran
prinsip-prinsip UNIDROIT berbeda dengan penafsiran terhadap kontraknya;
·
Dalam
menafsirkan prinsip-prinsip UNIDROIT harus memperhatikan sifat internasional
dan tujuannya;
·
Dimungkinkan
adanya penambahan terhadap ketentuan dari prinsip-prinsip UNIDROIT.
Karena tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT adalah
dalam rangka upaya harmonisasi, maka ketika melakukan penafsiran harus
memperhatikan sifat internasional, sehingga dalam memahami istilah dan konsep
yang dipakai haruslah dilihat secara otonom, misalnya tidak menggunakan
terminologi yang digunakan dalam hukum domestik tertentu. Sebab prinsip-prinsip
UNIDROIT merupakan hasil studi komparatif dari para ahli hukum yang berlatar
belakang sistem hukum dan budaya yang berbeda, sehingga substansinya merupakan
hasil kompromi dari berbagai sistem hukum. Hal ini dapat terlihat dalam Pasal
1.6 ayat (1) UNIDROIT Principles,
sebagai berikut:
“In
the interpretation of these Principles, regard is to be had to their
international character and to their purposes including the need to promote
uniformity in their application”
2.
Prinsip
itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing)
Walaupun dinyatakan
bebas untuk menentukan isi kontrak, tetapi segala hal yang dicantumkan di
dalam kontak tersebut
harus berdasarkan dengan prinsip bonafide.
Berdasarkan prinsip ini, apa yang telah disepakati para pihak, maka kesepakatan
itu harus dihormati dan dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 1.7 UNIDROIT Principles
mengenai Good Faith and Fair Dealing,
sebagai berikut:
“(1) Each party must
act in accordance with good faith and fair dealing in international trade;
(2)The parties may not exclude or limit this duty.”
Berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 1.7 UNIDROIT Principles tersebut, ada tiga unsur itikad
baik dan transaksi jujur, yaitu:
1.
Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar
yang melandasi kontrak;
2.
Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam UNIDROIT
ditekankan pada praktek perdagangan internasional;
3.
Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat
memaksa.
Berdasarkan prinsip tersebut maka
negosiasi tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk dan menyimpang dari prinsip
fair dealing, contohnya :
·
seseorang melakukan atau melanjutkan negosiasi tanpa
berkeinginan mengadakan kontrak dengan maksud untuk mengalihkan perhatian lawan/saingan
bisnisnya;
·
suatu pemutusan negosiasi dimana tahap perundingan sudah
mencapai suatu kondisi dimana secara timbal balik para pihak telah memberikan
harapan bahwa perundingan akan menjadi kontrak;
·
apabila dengan sengaja menyesatkan pihak lain mengenai isi
atau syarat kontrak, baik dengan menyembunyikan fakta yang semestinya
diberitahukan ataupun mengenai status pihak yang berkepentingan dalam
negosiasi.
3.
Prinsip
diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat
Dalam hal ini,
UNIDROIT memberikan pedoman bagaimana hukum kebiasaan berlaku, terlihat dalam
Pasal 1.8 UNIDROIT Principles:
“A party cannot act inconsistently
with an understanding it has caused the other party to have and upon which that
other party reasonably has acted in reliance to its detriment”
Ketentuan di
atas mengandung hal-hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa:
·
Praktek
kebiasaan harus memenuhi kriteria tertentu;
·
Praktek
kebiasaan yang berlaku di lingkungan para pihak;
·
Praktek
kebiasaan yang disepakati;
·
Praktek kebiasaan
lain yang diketahui luas atau rutin dilakukan;
·
Praktek
kebiasaan yang tidak benar;
·
Praktek
kebiasaan setempat yang berlaku mengesampingkan aturan umum.
Apabila
praktek kebiasaan telah disepakati untuk diberlakukan terhadap suatu transaksi,
maka hukum kebiasaan akan mengesampingkan ketentuan umum yang bertentangan
dengan kebiasaan itu. Alasannya adalah karena hukum kebiasaan setempat mengikat
para pihak sebagai syarat-syarat yang mengatur kontrak secara keseluruhan.
Pengecualian diberikan hanya terhadap ketentuan yang bersifat memaksa.
4.
Prinsip
kesepakatan melalui penawaran (offer)
dan penerimaan (acceptance)
Hal ini tertuang
dalam Pasal 2.1.1 UNIDROIT Principles,
sebagai berikut:
“A
contract may be concluded either by the acceptance of an offer or by conduct of
the parties that is sufficient to show agreement”
Inti dari
ketentuan tersebut adalah bahwa persetujuan terjadi karena:
·
penawaran dan
penerimaan;
·
perilaku yang
menunjukan adanya persetujuan untuk terikat kontrak.
Dasar
pemikiran dari prinsip-prinsip UNIDROIT adalah dengan tercapainya kata sepakat
saja sudah cukup untuk melahirkan kontrak. Konsep tentang penawaran dan
penerimaan digunakan untuk menentukan apakah dan kapankah para pihak telah
mencapai kata sepakat. Namun, dalam prakteknya terkadang kontrak menyangkut
transaksi yang rumit dan seringkali terwujud setelah melalui negosiasi yang
cukup panjang tanpa diketahui urutan penawaran dan penerimaannya, sehingga
sulit untuk menentukan kapan kata sepakat itu terjadi.
5.
Prinsip
larangan bernegosiasi dengan itikad buruk
Larangan
untuk melakukan negosiasi yang berdasarkan itikad buruk dalam Pasal 2.15 UNIDROIT Principles tentang Negotiation in Bad Faith, sebagai berikut:
“(1) A party is free to negotiate and is not liable
for failure to reach an agreement; (2) However, a party who negotiates or
breaks off negotiations in bad faith is liable for the losses caused to the
other party; (3) It is bad faith, in particular, for a party to enter into or
continue negotiations when intending not to reach an agreement with the other
party”.
Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung
jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi dan prinsip hukum tentang
negosiasi yaitu :
· Kebebasan negosiasi;
· Tanggung jawab atas negosiasi dengan
itikad buruk;
· Tanggung jawab atas pembatalan
negosiasi dengan itikad buruk.
6.
Prinsip
kewajiban menjaga kerahasiaan
Ketika
para pihak melakukan negosiasi, tentu ada rahasia perusahaan yang terbuka dan
diketahui oleh kedua belah pihak. Ada kemungkinan mereka memanfaatkan rahasia
tersebut untuk keuntungannya. Pasal 2.1.16 UNIDROIT Principles mengatur kewajiban menjaga kerahasiaan:
“Where
information is given as confidential by one party in the course of
negotiations, the other party is under a duty not to disclose that information
or to use it improperly for its own purposes, whether or not a contract is
subsequently concluded. Where appropriate, the remedy for breach of that duty
may include compensation based on the benefit received by the other party”
Dari
ketentuan dia atas, dapat disimpulkan bahwa para pihak pada dasarnya tidak
wajib menjaga rahasia. Akan tetapi, ada informasi yang memiliki sifat rahasia
sehingga perlu dirahasiakan dan dimungkinkan adanya kerugian yang harus
dipulihkan. Apabila tidak ada kewajiban yang disepakati, para pihak dalam negosiasi
pada dasarnya tidak wajib untuk memberlakukan bahwa informasi yang mereka pertukarkan sebagai hal
yang rahasia. Dengan kata lain, para pihak diberi kebebasan untuk menentukan
informasi mana yang bersifat rahasia dan tidak.
7.
Prinsip
perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku
Praktek
menggunakan kontrak baku dapat dilihat dalam Pasal 2.1.19 UNIDROIT Principles,
yaitu:
“(1) Where one party or both parties
use standard terms in concluding a contract, the general rules on formation
apply, subject to Articles 2.1.20 - 2.1.22. (2) Standard terms are provisions
which are prepared in advance for general and repeated use by one party and
which are actually used without negotiation with the other party”
Pasal dia atas
mengandung ketentuan, sebagai berikut:
·
Apabila salah
satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat baku, maka berlaku aturan
umum tentang pembentukan kotrak dengan tunduk pada UNIDROIT Principles Pasal 2.1.20 sampai 2.1.22;
·
Syarat baku
merupakan aturan yang dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan secara
umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak yang secara nyata digunakan tanpa
negosiasi dengan pihak lain.
8.
Prinsip
syarat sahnya kontrak
Sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3.1 UNIDROIT Principles, yaitu:
“These
Principles do not deal with invalidity arising from (a) lack of capacity; (b)
immorality or illegality”
Hal ini dapat diartikan bahwa prinsip UNIDROIT
tidak mengatur ketidakabsahan yang timbul dari tidak memiliki kemampuan, tidak
memiliki kewenangan, amoralitas dan ilegalitas.
Tidak
mungkin semua dasar syarat sahnya kontrak yang ditemukan dalam berbagai sistem
hukum nasional dipakai dalam ruang lingkup prinsip UNIDROIT. Alasan
pengecualian ini mengingat baik karena kompleksitas yang melekat pada masalah
status, kewenangan, dan kebijaksanaan publik serta perbedaan yang ekstrem
mengenai bagaimana hal itu diberlakukan dalam hukum domestik.
9.
Prinsip
dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar (gross disparity)
Prinsip
ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari prinsip itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing) serta prinsip keseimbangan
dan keadilan. Hal ini dilandasi adanya kenyataan disparitas yang besar di
masyarakat. Oleh karena itu, diperlukannya sistem aturan yang dapat melindungi
pihak yang memiliki posisi yang tidak menguntungkan. Prinsip-prinsip UNIDROIT
mengaturnya dalam Pasal 3.10 UNIDROIT Principles:
“(1) A
party may avoid the contract or an individual term of it if, at the time of the
conclusion of the contract, the contract or term unjustifiably gave the other
party an excessive advantage. Regard is to be had, among other factors, to (a)
the fact that the other party has taken unfair advantage of the first party’s
dependence, economic distress or urgent needs, or of its improvidence,
ignorance, inexperience or lack of bargaining skill, and (b) the nature and
purpose of the contract.
(2)
Upon the request of the party entitled to avoidance, a court may adapt the
contract
or term in order to make it accord with reasonable commercial standards of fair
dealing.
(3) A
court may also adapt the contract or term upon the request of the party
receiving
notice of avoidance, provided that that party informs the other party of its
request promptly after receiving such notice and before the other party has
reasonably acted in reliance on it. The provisions of Article 3.13(2) apply
accordingly”
Salah
satu pihak boleh meminta pembatalan kontrak apabila terjadi perbedaan mencolok
(gross disparity) yang memberikan
keuntungan berlebihan dan secara tidak sah kepada salah satu pihak. Keadaan
demikian didasarkan pada:
·
Fakta bahwa
pihak lain telah mendapatkan keuntungan secara curang dari ketergantungan,
kesulitan ekonomi atau kebutuhan yang mendesak, atau dari keborosan,
ketidaktahuan, kekurangpahaman atau kekurangahlian dalam tawar menawar;
·
Sifat dan tujuan
dari kontrak.
Atas
permintaan pembatalan kontrak oleh pihak yang berhak, pengadilan dapat mengubah
kontrak atau syarat tersebut agar sesuai dengan standar komersial yang wajar
dari transaksi yang jujur. Pengadilan dapat juga mengubah seluruh kontrak atau
sebagian syaratnya atas permintaan pihak yang menerima pemberitahuan
pembatalan. Pemohon harus memberitahu pihak lain tentang permohonannya
tersebut.
Adanya
perbedaan yang besar mengenai keuntungan yang tidak dibenarkan, hal ini
disebabkan oleh posisi tawar yang seimbang, sifat dan tujuan dari kontrak, dan
faktor-foktor lain sehingga menimbulkan hak untuk membatalkan atau mengubah
kontrak tersebut.
10. Prinsip contra proferentem dalam penafsiran
kontrak baku
Pengaturan
penafsiran kontrak diatur dalam UNIDROIT Principles
Chapter 4 dengan delapan pasal (Pasal
4.1 sampai dengan 4.8). Pasal 4.6 menyatakan:
“If
contract terms supplied by one party are unclear, an interpretation against
that party is preferred”
Ketentuan
ini menyatakan bahwa jika syarat kontrak yang diajukan oleh salah satu pihak
tidak jelas, maka penafsiran yang berlawanan dengan pihak tersebut harus
didahulukan.
Para
pihak harus bertanggung jawab atas rumusan syarat kontrak, baik kontrak yang
dirancang sendiri maupun karena adanya pengajuan syarat-syarat terhadap kontrak
tersebut. Misalnya dengan menggunakan syarat baku yang dipersiapkan terlebih
dahulu, terkadang pihak pembuat diharuskan menanggung resiko atas ketidakjelasan
rumusan yang dibuatnya.
Hal
ini merupakan alasan mengapa pasal tersebut menentukan bahwa jika syarat
kontrak yang diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas. Maka diberikan
preferensi penafsiran yang berlawanan dengan pembuat syarat baku tersebut. Cara
pemberlakuan aturan ini akan bergantung pada hal-hal sebagai berikut:
·
Keadaan dari
kasus yang dihadapi;
·
Sifat kekurangan
syarat kontrak yang merupakan pokok objek negosiasi lebih lanjut antara para pihak;
·
Pembenaran untuk
menafsirkan syarat itu yang melawan pihak pembuat klausul baku tersebut.
Kontrak
komersial internasional sering dibuat dalam dua atau lebih versi bahasa yang
dapat mempertemukan butir-butir tertentu. Terkadang para pihak menentukan versi
mana yang dapat diberlakukan jika terjadinya perbedaan penafsiran. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan dalam Pasal 4.7 UNIDROIT Principles mengenai linguistic
discrepancies yang menentukan
bahwa apabila kontrak dibuat dalam dua atau lebih versi bahasa yang semuanya
berlaku, jika terjadi pertentangan diantaranya maka prioritas penafsiran
digunakan menurut versi asli dari kontrak itu.
Selanjutnya
dalam Pasal 4.8 UNIDROIT Principles mengenai
supplying
an omitted term menyatakan
bahwa apabila para pihak dalam kontrak tidak sepakat atas suatu syarat yang
penting dalam menentukan hak dan kewajiban mereka, maka harus dipilih syarat
yang paling tepat dengan keadaan tersebut. Faktor-faktor yang dapat digunakan
untuk menentukan syarat-syarat yang tepat, sebagai berikut:
·
Kehendak para
pihak;
·
Sifat dan tujuan
dari kontrak;
·
Itikad baik dan
transaksi wajar;
·
Kelayakan.
Jika
keinginan para pihak tidak ditentukan secara jelas, syarat yang diajukan dapat
ditentukan sesuai dengan sifat dan tujuan dari kontrak tersebut. Hal ini dengan
tetap memperhatikan prinsip itikad baik dan transaksi jujur serta kewajaran.
11. Prinsip menghormati
kontrak ketika terjadi kesulitan (hardship)
Ketentuan
tentang hardship dibedakan dengan
ketentuan tentang force majeur.
Ketentuan tentang hardship ini
tertuang dalam Section 2,
yang terdiri dari 3 (tiga) pasal. Dalam Pasal 6.2.1 UNIDROIT
Principles menentukan bahwa apabila
pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak tersebut
bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya dengan tunduk pada
ketentuan tentang hardship. Ketentuan ini menentukan dua hal pokok, yaitu sifat
mengikat dari kontrak sebagai aturan umum dan perubahan keadaan yang relevan
dengan kontrak jangka panjang.
Prinsip
mengikatnya kontrak bagaimana pun juga bukan suatu yang absolut. Apabila
terjadi keadaan yang menimbulkan perubahan fundamental atas keseimbangan dari
kontrak, keadaan itu merupakan situasi yang dikecualikan yang dimaksud dalam
prinsip-prinsip ini sebagai hardship.
Pasal
6.2.2 UNIDROIT Principles memberikan
definisi tentang peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai hardship, yaitu
peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak. Hal ini
diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai
pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun, sementara itu:
·
Peristiwa itu
terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan kontrak;
·
Peristiwa tidak
dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat
penutupan kontrak;
·
Peristiwa
terjadi di luar kontrol dari pihak yang dirugikan;
·
Resiko dari
peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.
Unsur
hardship tertuang dalam Pasal 6.2.2
(a) sampai dengan (d) UNIDROIT Principles,
yaitu perubahan keseimbangan kontrak secara fundamental, meningkatnya
ongkos pelaksanaan kontrak, dan menurunnya nilai pelaksanaan kontrak yang harus
diterima oleh salah satu pihak.
Menurut
prinsip umum, adanya perubahan keadaan tidak mempengaruhi kewajiban pelaksanaan
kontrak, oleh karena itu adanya hardship
tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak, kecuali perubahan itu bersifat
fundamental.
Definisi
hardship dalam Pasal 6.2.1 UNIDROIT Principles lebih bersifat umum,
sedangkan kontrak komersial internasional seringkali memuat aturan yang konkret
dan terperinci. Para pihak dapat saja merubah isi aturan kontrak dalam rangka
menyesuaikannya dengan keadaan khusus dari transaksi. Akibat hukum dari
peristiwa ini dapat dilihat dalam Pasal 6.2.3 UNIDROIT Principles sebagai berikut:
·
Pihak yang
dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain.
Permintaan tersebut harus diajukan segera dengan menunjukan dasar-dasarnya;
·
Permintaan
renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan
untuk menghentikan pelaksanaan kontrak;
·
Apabila para
pihak gagal untuk mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar,
masing-masing pihak dapat mengajukannya ke pengadilan;
·
Apabila
pengadilan membuktikan adanya hardship
maka pengadilan dapat memutuskan untuk mengakhiri kontrak pada tanggal dan
jangka waktu yang pasti, atau dapat pula mengubah kontrak untuk mengembalikan
keseimbangannya.
12. Prinsip pembebasan
tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force
majeur)
Pembahasan
tentang force
majeur ini
terdapat dalam Pasal 7.1.7 UNIDROIT Principles,
pasal ini mengatur tentang keadaan memaksa dengan menyatakan antara lain,
sebagai berikut:
·
Force
majeur yang
dilakukan oleh salah satu pihak yang dimaafkan apabila pihak tersebut dapat
membuktikan bahwa force
majeur tersebut
disebabkan oleh suatu rintangan di luar pengawasannya dan hal itu secara wajar
tidak diharapkan akan terjadi;
·
Apabila
rintangan hanya bersifat sementara, maka pemberian maaf akan berakibat hukum
atas jangka waktu dengan memperhatikan akibat dari rintangan pelaksanaan
kontrak tersebut;
·
Pihak yang gagal
melaksanakan kontrak harus memberipemberitahuan kepada pihak lainnya tentang
rintangan dan akibat terhadap kemampuannya untuk melaksanakan kontrak. Jika
pemberitahuan itu tidak diterima oleh pihak lain dalam jangka waktu yang wajar,
setelah pihak yang gagal melaksanakan mengentahui atau seharusnya telah
mengetahui adanya rintangan itu, ia bertanggung jawab atas kerugian akibat dari
tidak diterimanya pemberitahuan tersebut;
·
Pasal ini tidak
mencegah salah satu pihak untuk menggunakan haknya mengakhiri kontrak, menahan
pelaksanaan kontrak, atau meminta pembayaran bunga atas uang yang telah jatuh
tempo.
BAB
III
PENERAPAN PRINSIP
UNIDROIT MELALUI HUKUM NASIONAL INDONESIA
A. Tujuan
Hukum Perdagangan Internasional
Kegiatan
ekspor impor didasari oleh kondisi bahwa tidak ada suatu negara yang
benar-benar mandiri karena satu sama lain saling membutuhkan dan saling
mengisi. Setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda, baik sumber daya
alam, iklim, geografi, demografi, struktur ekonomi dan struktur sosial.
Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan komoditas yang dihasilkan, komposisi
biaya yang diperlukan, kualitas dan kuantitas produk.
Tujuan
hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak berbeda dengan tujuan GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade, 1947) yang termuat dalam
Preambule-nya. Tujuan tersebut adalah:
· untuk
mencapai perdagangan internasional yang stabil dan menghindari
kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek perdagangan nasional yang merugikan
negara lainnya;
· untuk
meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan perdagangan yang
menarik dan menguntungkan bagi pembangunan ekonomi semua negara; meningkatkan
standar hidup umat manusia; dan
· meningkatkan
lapangan tenaga kerja.
· untuk
mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan sepihak suatu negara
tertentu, yang akan mengimplementasikan kebijakan perdagangan terbuka dan adil
yang bermanfaat bagi semua negara; dan
· meningkatkan
pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi
jual beli barang.
Ada pula yang
menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan internasional juga pada analisis
akhirnya akan menciptakan perdamaian dan keamanan internasional.
Untuk
memenuhi setiap keperluan dalam negaranya, tiap negara seringkali melakukan
perdagangan (perdagangan internasional). Menurut Sadono Sukirno,
manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut:
· Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di
negeri sendiri. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi
perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut
diantaranya kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya
perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak
diproduksi sendiri;
· Memperoleh keuntungan dari spesialisasi.
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan
yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat
memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara
lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang
tersebut dari luar negeri;
· Memperluas pasar dan menambah keuntungan.
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya)
dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang
mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional,
pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual
kelebihan produk tersebut keluar negeri.
·
Transfer teknologi modern. Perdagangan luar
negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih
efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.
Era
globalisasi membawa pengaruh dalam hukum internasional yakni semakin
kuatnya kecenderungan kearah harmonisasi hukum. Pada saat yang bersamaan,
Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melakukan reformasi hukum, termasuk di
bidang hukum perdagangan. Pembaharuan hukum ini diharapkan dapat lebih
mendorong investor dan pelaku bisnis asing melakukan kegiatan bisnisnya di Indonesia
dan pada gilirannya dapat menggerakan perekonomian negara.
Harmonisasi
hukum dibidang perdagangan dan bisnis ini menjadi kebutuhan yang semakin
mendesak, karena dalam era globalisasi transaksi bisnis international semakin
meningkat intensitasnya maupun kompleksitasnya. Sehingga bagi pelaku bisnis
internasional diperlukan pedoman yang dapat dijadikan sebagai pegangan
yang pasti dalam transaksi-transaksinya.
Adapun
peraturan-peraturan hukum yang berbeda antara satu negara dengan negara lain
menimbulkan resiko-resiko tambahan tertentu dalam transaksi bisnis
international. Disamping itu transaksi international berhadapan dengan berbagai
peraturan pemerintah lebih dari satu negara, dan transaksi bisnis international
tunduk pada lebih dari satu hukum yang berbeda. Pemerintah Indonesia mempunyai
komitmen yang kuat dalam batas-batas kemampuannya untuk selalu terbuka
melakukan kerjasama baik dengan negara-negara lain maupun dengan
organisasi international termasuk UNIDROIT, dalam upaya mewujudkan suatu unifikasi
dan harmonisasi hukum, terutama dibidang hukum dan bisnis.
Hubungan-hubungan perdagangan
internasional antar negara sudah ada sejak lama.
Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti
negara kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern.
Perjuangan negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian
dan pengawasan (kontrol) terhadap ekonomi internasional
telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan
perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya. Mereka
menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk pembangunan
ekonomi mereka.
Di atas dikemukakan bahwa negara-negara
mencantumkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional dalam hukum
nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan internasional
ini karenanya menjadi sumber hukum yang cukup penting dalam hukum perdagangan
internasional. Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit banyak
kemungkinan dapat berbeda antara satu sama lainnya. Perbedaan ini kemudian
dikhawatirkan akan juga mempengaruhi kelancaran transaksi perdagangan itu
sendiri.
Masalah ini sebelumnya sudah cukup lama
disadari oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk organisasi dunia PBB. Dalam
resolusi Majelis Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa:
"Conflicts
and divergencies arising from the laws of different states in matters relating
to international trade constitute an obstacle to the development of world trade."
Untuk
menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang dapat dilakukan. Pertama,
negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya
mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk mengatur
hubungan-hubungan hukum perdagangan mereka. Kedua, apabila aturan hukum
perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu
pihak, maka hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara
penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui penerapan
prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah klausul pilihan
hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak
(internasional) yang mereka buat. Ketiga,
teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi
hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional.
Teknik
ketiga ini dipandang cukup efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik
di antara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara. Kedua kata
ini hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau perbedaan yang perlu untuk
dicatat. Kedua kata sama-sama berarti upaya atau proses menyeragamkan substansi
pengaturan sistemsistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup
pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda. Perbedaan kedua kata
tersebut terletak pada derajat penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum,
penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan
sistem hukum yang baru.
Harmonisasi
hukum tidak sedalam unifikasi hukum. Tujuan utama harmonisasi hukum hanya
berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat
fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).
Untuk
dapat melaksanakan unifikasi dan harmonisasi hukum ini karenanya hanya dapat
dicapai oleh para ahli hukum yang mendalami atau menguasai perbandingan hukum.
Upaya ini dapat dilakukan oleh suatu tim ahli perbandingan hukum yang terdiri
dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum yang berbeda-beda yang
hendak diupayakan unifikasi dan harmonisasi hukumnya. Dalam upaya unifikasi dan
harmonisasi hukum, masalah esensialnya adalah bagaimana metode yang akan
diterapkannya.Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan
perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya dapat
ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda komparatif.
Menurut
Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3 metode, yaitu metode dengan
memberlakukan perjanjian/konvensi internasional (international convention);
penerapan atau pemberlakuan perjanjian atau konvensi internasional adalah cara
yang paling banyak digunakan dalam hukum seragam (uniform laws); dan
aturan seragam (uniform rules).
Dengan
berjalannya pembangunan hukum secara bersama-sama, jika negara menggunakan
prinsip yang seragam, diharapkan akan tercapai suatu harmonisasi di bidang
hukum perdagangan internasional ini. Terdapat beberapa alasan perlunya
memperhatikan hukum perdagangan internasional yang terdapat dalam UNIDROIT,
antara lain:
·
Pertama, hampir semua
negara di dunia (sampai sekarang jumlah negara yang melakukan ratifikasi
terhadap Konvensi UNIDROIT berjumlah 63 negara) dalam melakukan pembaruan
terhadap hukum kontraknya;
·
Kedua, prinsip-prinsip
UNIDROIT telah memperhitungkan persoalan pembangunan yang sering dialami oleh
negara-negara berkembang, hal ini dapat dilihat dari adanya gross disparity dan prinsip hardship. Hal ini sangat penting,
khususnya bagi kontrak jangka panjang;
·
Ketiga, prinsip-prinsip UNIDROIT memperhatikan
perlindungan pada pihak yang posisinya lemah dalam membuat kontrak. Hal ini
terlihat dalam prinsip perlindungan pihak yang lemah dalam syarat-syarat baku
dengan cara terdapat pembelaan diri bagi pihak yang bukan pembuat kontrak baku
terhadap kontrak yang tidak seimbang;
·
Keempat, prinsip
kebebasan berkontrak dibatasi dengan hukum yang memaksa (mandatory rules) demi kepentingan umum;
·
Kelima, prinsip-prinsip
UNIDROIT bersifat praktis karena penyusunannya mengakomodasi kepentingan
praktek yang dapat menjembatani berbagai kendala perbedaan sistem hukum;
·
Keenam, prinsip UNIDROIT
mengatur tanggung jawab prakontrak, sehingga itikad baik harus sudah berlaku
sejak saat dilakukannya proses negosiasi.
B. Mandatory Rules
dalam Hukum Nasional
Untuk melakukan
hubungan internasional, diperlukan suatu perjanjian internasional. Cara
mengikatkan diri suatu negara ke dalam suatu perjanjian internasional
berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut suatu negara. Terdapat
dua sistem, yaitu Civil Law system atau Common
Law System. Di dalam sistem hukum Civil
Law, penandatanganan suatu perjanjian (signing)
tidak serta merta menjadi sumber hukum nasional sebelum dilakukan ratifikasi
oleh parlemen (non-self implementing
legislation). Sedangkan sebaliknya di dalam sistem hukum Common Law, penandatanganan suatu
perjanjian serta merta merupakan sumber hukum nasional (self-implementing legislation).
Bagi Indonesia yang
masih menganut sistem hukum "Civil Law", pemberlakuan perjanjian
internasional ke dalam sistem hukum nasional masih memerlukan proses ratifikasi
oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945
tentang sahnya suatu perjanjian internasional dan merujuk kepada Undang-undang
Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang Nomor 24
tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Peratifikasian suatu
perjanjian internasional yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia mutatis
mutandis merupakan hukum nasional (hukum positif) sebagai dasar penerapannya di
dalam praktik. Namun demikian dalam proses legislasi di Indonesia,
peratifikasian tersebut diwujudkan dalam suatu "Undang-undang
Pengesahan". Implementasi undang-undang ratifikasi (pengesahan) tersebut
masih harus melalui suatu proses harmonisasi dengan undang-undang lama dalam
hal objek perjanjian internasional telah dimuat sebagian atau seluruhnya di
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses harmonisasi
tersebut akan melahirkan suatu undang-undang tentang Perubahan. Jika objek
perjanjian yang telah melalui proses ratifikasi belum diatur sama sekali di
sistem hukum nasional maka dilakukan proses perancangan undang-undang baru.
Seperti telah dikatakan sebelumnya, walaupun Indonesia telah melakukan
ratifikasi atas Konvensi UNIDROIT, tetapi penggunaan konvensi tersebut dalam
hukum nasional merupakan pilihan dan negara masih memiliki kewenangannya untuk
melakukan pembatasan terhadap perdagangan atau kerjasama yang dianggap memegang
peranan penting terhadap negara. Hal ini tercermin dalam pembatasan terhadap Freedom
of Contract, sebagai berikut:
· Sektor ekonomi dimana tidak ada kompetisi
Di dalam sektor-sektor ekonomi di
mana negara berwenang menetapkan kebijaksanaan yang mengecualikan sektor-sektor
itu dari persaingan, demi kepentingan umum. Dalam beberapa kasus, barang dan
jasa hanya dapat disediakan oleh supplier tertentu, yang biasanya badan publik;
· Pembatasan oleh hukum yang memaksa (mandatory
rules)
Hal ini dapat dilihat juga di dalam
Pasal 1.4 UNIDROIT Principles.
Mandatory rules
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia mencerminkan bahwa
sebagai negara yang telah menjadi anggota UNIDROIT, Indonesia tetap memiliki
kedaulatannya untuk membuat suatu perundang-undangan sendiri. Beberapa
ketentuan yang mencerminkan prinsip mandatory
rules antara lain terdapat dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, sebagai berikut:
1. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pada
dasarnya UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999) dibuat untuk mewujudkan demokrasi
dalam bidang ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap
warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang
dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga
diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar
yang wajar. Selain itu, undang-undang ini pula diharapkan dapat menciptakan
situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya
pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas
dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian
internasional.
Hal
inilah yang menjadi dasar adanya pembatasan prinsip kebebasan berkontrak.
Pertimbangan tidak boleh dilakukannya monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat menjadikan
pihak yang melakukan perjanjian tidak sepenuhnya bebas mengatur usaha mereka.
Walaupun hal ini dirasakan membatasi kegiatan berusaha, tetapi dengan
pertimbangan adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk
berpartisipasi di dalam perekonomian, pemerintah merasakan perlu untuk
melakukan pembatasan ini. UU No. 5 Tahun 1999 mengakui adanya perjanjian baik itu dalam
bentuk tertulis maupun dalam bentuk tidak tertulis sesuai dengan ketentuan
Pasal 1.2 UNIDROIT.
Pembatasan
terhadap prinsip kebebasan berkontrak dalam UU No. 5 Tahun 1999 tercermin jelas
dalam Bab III mengenai Perjanjian yang Dilarang dan Bab IV mengenai Kegiatan
yang Dilarang. Bentuk perjanjian yang dilarang, yaitu oligopoli, penetapan
harga, pembagian
wilayah,
pemboikotan,
kartel,
trust,
oligopsoni,
integrasi vertikal, perjanjian
tertutup,
dan perjanjian dengan pihak luar negeri. Sedangkan
yang termasuk dalam kegiatan yang dilarang, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan
pasar,
dan persekongkolan.
Jika
diamati lebih jauh, pembatasan ini diciptakan antara lain untuk melindungi
konsumen. Kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui kontrak
yang mereka buat akan berdampak pula pada konsumen dimana kontrak tersebut
dijalankan. Mengingat pentingnya pelaksanaan perdagangan (usaha) yang baik,
maka undang-undang ini pun mengamanatkan untuk membentuk Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU).
Keberadaan KPPU di masyarakat
diharapkan dapat menjamin hal-hal, antara lain konsumen tidak lagi menjadi
korban posisi produsen sebagai price taker, adanya keragaman produk dan harga
dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan, terjadinya fisiensi alokasi
sumber daya alam, konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi
kualitas seadanya yang lazim ditemui pada pasar monopoli, kebutuhan konsumen
dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya,
menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi,
membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak, dan
menciptakan inovasi dalam perusahaan.
2. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Salah
satu pembatasan prinsip kebebasan berkontrak terhadap pembuatan kontrak
perdagangan yang diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) adalah mengenai
klausula baku.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti.
Pelaku
usaha juga dilarang untuk mencantumkan klausula baku pada suatu dokumen
dan/atau perjanjian apabila memuat hal-hal sebagai berikut:
· Menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
· Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
· Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen, menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
· Mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
· Memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
· Menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
· Menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
3. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Berbeda
dengan pengaturan yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 Pasal 1 angka 7 yang
mengakui adanya perjanjian baik dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk tidak
tertulis, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional (UU No. 24 Tahun 2000) hanya mengakui perjanjian dalam
bentuk tertulis.Hal ini
dikarenakan Indonesia menurut undang-undang ini menyatakan mengikat diri pada
perjanjian internasional salah satunya melalui penandatangan, pengesahan, dan
pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik.
Perlu
diperhatikan dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 9 bahwa pengesahan
perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan
presiden. Sesuai dengan pernyataan dalam Pasal 1 angka 2 mengenai pengesahan, Indonesia
telah ikut meratifikasi Konvensi UNIDROIT, tetapi pengesahan tersebut dilakukan
melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang
Pengesahan Statute of International
Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional
Untuk Unifikasi Hukum Perdata), maka dapat dikatakan bahwa Indonesia harus
mematuhi semua ketentuan yang terdapat dalam Konvensi UNIDROIT tersebut.
Walaupun
sebagai anggota masyarakat internasional, Indonesia dituntut untuk dapat
mematuhi semua peraturan internasional, tetapi dengan adanya prinsip reservasi, Indonesia dapat menyatakan untuk
mengecualikan suatu aturan yang dirasakan belum dapat dilakukan. Pernyataan ini
tentunya harus langsung diutarakan pada saat akan menandatangani suatu
perjanjian.
Persyaratan
lain yang diutarakan dalam undang-undang ini adalah tentang pengesahan
perjanjian. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang
apabila berkenaan dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan
negara; perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia; kedaulatan atau hak berdaulat negara; hak asasi manusia dan
lingkungan hidup; pembentukan kaidah hukum baru; pinjaman dan/atau hibah luar
negeri.
4. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang
Negara, Serta Lagu Kebangsaan
Pada
dasarnya pengaturan undang-undang ini bertujuan untuk memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara, menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menciptakan ketertiban,
kepastian, dan standardisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara,
serta lagu kebangsaan.
Hal
yang akan dibahas sebagai mandatory rules
dalam undang-undang ini adalah mengenai penggunaan bahasa dalam membuat
kontrak perdagangan internasional. Dinyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam dokumen resmi negara, termasuk
dalam hal ini adalah surat perjanjian (kontrak perjanjian).
Selanjutnya
diperjelas dalam Pasal 31 ayat (1) bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi
pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga
negara Indonesia. Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan bahwa Nota kesepahaman
atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing
ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Ketentuan
lain yang berkaitan dengan perjanjian atau kontrak jual beli adalah pernyataan
dalam Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan
dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar
negeri yang beredar di Indonesia.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
latar belakang dan keterangan yang telah
diuraikan dalam laporan ini, maka dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut:
1. Pada
dasarnya Indonesia melakukan ratifikasi Konvensi UNIDROIT melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute
of International Institute for The Unification of Private Law (Statuta
Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata) untuk mengakui adanya
proses pengharmonisasian terhadap hukum perdata sebagai pengakuan Indonesia
pada perdagangan internasional dan pentingnya hukum untuk menunjang perdagangan
tersebut;
2. Walaupun
melalui Indonesia telah menyatakan meratifikasi dan bergabung dalam Konvensi
UNIDROIT, tetapi hal ini tidak menyebabkan Indonesia kehilangan sebagian dari
kedaulatannya, karena pada dasarnya ketentuan UNIDROIT Principles bersifat sukarela dan dalam UNIDROIT Principles tersebut juga menganut
prinsip mandatory rules sebagai
prinsip yang mengakui adanya kekuatan memaksa dari hukum nasional.
B. Saran
1. Perlu
adanya pengharmonisasian peraturan di Indonesia agar dapat lebih menunjang
kegiatan perdagangan dan mendukung kegiatan perdagangan internasional;
2. Peraturan
di Indonesia dalam pembuatannya harus mempertimbangkan kebiasaan-kebiasaan
internasional yang seringkali digunakan atau tercantum dalam konvensi
perdagangan internasional, hal ini bertujuan agar hukum Indonesia dapat
mengimbangi hukum perdagangan internasional yang ada.
Latar belakang dibuatnya konvensi semata-mata karena adanya beberapa
faktor yang berpengaruh cukup penting terhadap pembentukan atau lahirnya CISG
1980. Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Meningkatnya transaksi perdagangan
internasional. Faktor atau perkembangan yang cukup penting adalah semakin
meningkatnya transaksi perdagangan oleh masyarakat bangsa-bangsa, khususnya
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Perdagangan ini yang sifatnya lintas batas
dirasa perlu sebagai ‘topik’ yang harus pertama-tama dibahas ‘dalam suatu
konvensi yang menyeluruh. 2. Adanya perbedaan sistem hukum di dunia. Faktor
kedua adalah karena adanya berbagai macam sistem hukum yang berbeda-beda yang
mengatur kontrak perdagangan. Adanya pluralisme hukum kontrak ini dipandang
tidak begitu kondusif bagi perdagangan internasional. Karenanya masyarakat
internasional merasakan kebutuhan adanya suatu perangkat hukum kontrak yang
harmonis (seragam). Pandangan ini yang menjadi latar belakang lahirnya Konvensi
tersurat dalam preamble Konvensi. Preamble antara lain menyatakan: “Being of the opinion that the adoption of
uniform rules which govern contracts for the international sale of goods and
take into account the different social, economic and legal system would
contribute to th removal of legal barriers in international trade and promote
the development of international trade, ...”. 3. Kelemahan dua Konvensi Den
Haad 1964. Ketiga adalah adanya kecaman terhadap 2 konvensi terdahulu tentang
kontrak internasional yang telah dibuat sejak tahun 1964 (konverensi diplomatik
di Den Haag) oleh the International
Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT), yaitu: a. Konvensi
tentang hukum yang berlaku terhadap jual beli internasional (the Convention Relating to a Uniform Law of
the International Sales of Goods atau ULIS), dan b. Konvensi tentang
pembentukan kontrak jual beli internasional (the Convention Relating to a Uniform Law on The Formation of Contracts
for the International Sales of Goods).
Huala Adolf, Arbitrase
Komersial Internasional, Raja Grafindo, Jakarta, 2003 hlm. 33.
Clive
M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981, hlm.
22. (Selanjutnya disebut“Commercial Law”)dikutip dari Huala Adolf, Hukum
Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, op. cit.
Ketentuan UNIDROIT Principles Pasal
2.1.20 tentang Surprising
terms “(1) No
term contained in standard terms which is of such a character that the other
party could not reasonably have expected it, is effective unless it has
been expressly accepted by that party. (2) In determining whether
a term is of such a character regard shall be had to its content, language and
presentation.”, Pasal
2.1.21 tentang Conflict between standard terms and non-standard terms “In case of conflict between a standard term
and a term which is not a standard term the latter prevails”, Pasal 2.1.22 tentang Battle of forms “Where both parties use standard terms and
reach agreement except on those terms, a contract is concluded on the
basis of the agreed terms and of any standard terms which are common in
substance unless one party clearly indicates in advance, or later and without
undue delay informs the other party, that it does not intend to be bound by
such a contract”.
Lihat ketentuan Pasal 4.6 UNIDROIT Principles “Where a contract is drawn up in two or more language
versions which are equally authoritative
there is, in case of discrepancy between the versions, a preference for the
interpretation according to a version in which the contract was originally
drawn up”.
Lihat ketentuan mengenai hardship
dalam UNIDROIT Principles, Pasal 6.2.1
tentang Contract to be observed “Where
the performance of a contract becomes more onerous for one of the parties, that
party is nevertheless bound to perform its obligations subject to the following
provisions on hardship”. Pasal 6.2.2
tentang Definition of hardship “There
is hardship where the occurrence of events fundamentally alters the equilibrium
of the contract either because the cost of a party’s performance has increased
or because the value of the performance a party receives has diminished, and
(a) the events occur or become known to the disadvantaged party after the
conclusion of the contract; (b) the events could not reasonably have been taken
into account by the disadvantaged party at the time of the conclusion of the
contract; (c) the events are beyond the control of the disadvantaged party; and
(d) the risk of the events was not assumed by the disadvantaged party”.
Pasal 6.2.3 tentang Effects
of hardship “(1) In case of hardship
the disadvantaged party is entitled to request renegotiations. The request
shall be made without undue delay and shall indicate the grounds on which it is
based. (2) The request for renegotiation does not in itself entitle the
disadvantaged party to withhold performance. (3) Upon failure to reach
agreement within a reasonable time either party may resort to the court. (4) If
the court finds hardship it may, if reasonable, (a) terminate the contract at a
date and on terms to be fixed, or (b) adapt the contract with a view to
restoring its equilibrium”.
Pasal 7.1.7 UNIDROIT Principles “(1)
Non-performance by a party is excused if that party proves that the non
performance was due to an
impediment beyond its control and that it could not reasonably be
expected to have taken the impediment into account at the time of the conclusion
of the contract or to have avoided or overcome it or its consequences. (2)
When the impediment is only temporary, the excuse shall have effect for such
period as is reasonable having regard to the effect of the impediment on
the performance of the contract. (3) The party who fails to
perform must give notice to the other party of the impediment and its
effect on its ability to perform. If the notice is not received by the other
party within a reasonable time after the party who fails to perform knew or
ought to have known of the impediment, it is liable for damages
resulting from such non receipt. (4) Nothing in this article prevents a party
from exercising a right to terminate the contract or to withhold performance or
request interest on money due”.
Gunawan
Widjaja dan Ahmad Yani, Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor Impor dan Imbal
Beli), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, Hal. 1.
Rafiqul
Islam, op.cit., hlm. 2. Lihat pula tujuan menurut Aleksander Goldštajn
yang menyatakan: “only deliberate
regulation on the international level will make it possible to do justice, on
the basis of equality, to the interests and general welfare of all members of
the international community” (Aleksander GoldÅ¡tajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta,
2009,
hlm. 21-22.
Preamble GATT dan Preamble Perjanjian WTO
(Marrakesh Agreement Establishing The World
Trade Organization).
Klausul
choice of law tidak wajib sifatnya
untuk harus ada dalam kontrak-kontrak internasional. Tetapi keberadaan klausul
ini akan sedikit banyak membantu para pihak dalam penyelesaian sengketanya
(apabila sengketa memang timbul) di kemudian hari. Lihat Sudargo Gautama, Kontrak
Dagang Internasional, Alumni Bandung, 1977, hlm. 26.
Lihat
Chia-Jui Cheng, Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade
Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman,
1988, hlm. 109. UNCITRAL, badan PBB yang mengurus hukum perdagangan
internasional menggambarkan perbedaan kedua kata tersebut: “While the terms
are closely interrelated, "harmonization" may conceptually be
thought of as the process through which domestic laws may modified to
enhance predictability in crossborder commercial transactions; and
"unification" may be seen as the adoption by States of a
common legal standard governing particular aspects of international
business transactions.” (http://www.uncitral.org/en-index.htm)
diakses pada tanggal 20 November 2009.
Romli Atmasasmita, Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Proses
Legislasi, www.parlemen.net
diakses pada tanggal 25 November 2009.
Hal ini
dapat terlihat dari konsideran Menimbang huruf b dan huruf c Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat “Monopoli
adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha”.
Pasal 1
angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.”
Pasal 1
angka 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun,
baik tertulis maupun tidak tertulis”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 4 “(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku
usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat
(1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 5 “(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
pasar bersangkutan yang sama. (2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: a. suatu perjanjian yang dibuat dalam
suatu usaha patungan; atau b.
suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku”. Pasal 6 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli
yang satu harus membayar dengan
harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama”. Pasal 7 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga
pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat”.
Pasal 8 “Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan
menjual atau memasok kembali
barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 9 “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang
dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 10 “(1) Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha
yang sama, baik untuk tujuan
pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya, untuk menolak
menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: a. merugikan atau dapat diduga akan
merugikan pelaku usaha lain; atau b.
membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau
jasa dari pasar bersangkutan”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 11”Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 12 “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan
anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 13 “(1) Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama
menguasai pembelian atau penerimaan pasokan
agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut
diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan
pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga)
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh
lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 14 “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi
sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan
atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian
langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 15 “(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok
kembali barang dan atau jasa tersebut kepada
pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain
yang memuat persyaratan bahwa
pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok. (3) Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan
bahwa pelaku usaha yang menerima
barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku
usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan atau
jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari
pelaku usaha pemasok”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 16 “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 17 “(1) Pelaku usaha dilarang melakukan
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat. (2) Pelaku usaha
patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) apabila: a. barang dan atau jasa yang
bersangkutan belum ada substitusinya; atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan atau
jasa yang sama; atau c. satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 18 “(1) Pelaku usaha dilarang menguasai
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat. (2) Pelaku usaha
patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila satu pelaku usaha atau
satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 19 “Pelaku usaha
dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain,
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa : a.
menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau b. menghalangi konsumen atau
pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya itu; atau c. membatasi peredaran dan atau penjualan
barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau d. melakukan praktek
diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 22 “Pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat”. Pasal 23 “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan
pihak lain untuk mendapatkan informasi
kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 24 “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan
pihak lain untuk menghambat produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau
jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar
bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan
waktu yang dipersyaratkan”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Pasal 1 angka 10 “Klausula Baku adalah setiap aturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, Pasal 1 angka 1 “Perjanjian
Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur
dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, Pasal 3 “Pemerintah
Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui
cara-cara sebagai berikut : a. Penandatangan; b. pengesahan; c. pertukaran
dokumen perjanjian/nota diplomatik; d. cara-cara lain sebagaimana disepakati
para pihak dalam perjanjian internasional”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, Pasal 1 angka 2 “Pengesahan
adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian
internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification),
aksesi( accession), penerimaan
(acceptance) dan penyetujuan ( ap-proval)”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, Pasal 1 angka 5 “Pensyaratan
(Reservation) adalah pernyataan
sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada
perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani,
menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang
bersifat multilateral”.
Lihat
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera,
Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Penjelasan Pasal 27 “Yang dimaksud “dokumen resmi negara” adalah
antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat
identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan”.