TEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA DENGAN JUJUR DAN BENAR

HUKUM ADALAH KUMPULAN PERATURAN-PERATURAN ATAU KAEDAH-KAEDAH DALAM SUATU KEHIDUPAN BERSAMA : KESELURUHAN PERATURAN TENTANG TINGKAH LAKU YANG BERLAKU DALAM SUATU KEHIDUPAN BERSAMA, YANG DAPAT DIPAKSAKAN DENGAN SUATU SANKSI. (Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH)

Selasa, 01 Oktober 2013

makalah kepresidenan


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang    
 
        Negara Indonesia pada umumnya didominasi oleh pendapat kuat yang beranggapan bahwa negara merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri diatas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Kepercayaan yang tulus pada hal ideal ini mungkin yang mendasari pendapat-pendapat diatas, yang oleh para pejabat negara ini kemudian diturunkan menjadi “kepentingan umum, pembangunan untuk seluruh masyarakat” dan sebagainya. Namun pada kenyataan di lapangan terjadi banyak hal yang tidak membuktikan anggapan ideal tersebut. Negara yang identik dengan kekuasaan, sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, cenderung untuk korup, dalam arti menyimpangi kekuasaannya (abuse of power) . Kekuasaan negara yang tidak terkontrol di Indonesia sebagai akibat dari terpusatnya kekuasaan itu pada satu orang dan segala implikasi negatifnya, tampaknya mengharuskan bangsa ini untuk mengkaji ulang konsep kekuasaan presiden yang sangat besar tersebut. Pandangan negara netral dan paham integralistik, yang biasanya melegitimasi konsep tersebut, sepertinya juga tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di negara ini. Kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden, atau biasa disebut dengan kekuasaan eksekutif, merupakan konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan presidensil oleh UUD 1945,
 sebagaimana dituangkan dalam pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
         Kekuasaan yang sangat luas ini selama pemerintahan orde baru tidak diterjemahkan lebih lanjut ke dalam bentuk-bentuk yang bersifat lebih operasional, dengan batas-batas tanggung jawab dan kewenangan yang jelas. Ketiadaan batasbatas tersebut menyebabkan Pasal 4 ayat (1) menjadi pegangan utama satusatunya bagi kekuasaan pemerintahan ini. Adanya keinginan untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan Indonesia menuju Indonesia yang lebih baik, telah membawa bangsa Indonesia pada keinginan untuk mengamandemen UUD 1945. Secara akademis gagasan agar UUD 1945 diamandemen sebenarnya telah lama muncul yang dapat dijumpai dalam berbagai publikasi. Namun sebagai bagian dari agenda politik gagasan ini baru memperoleh momentumnya setelah jatuhnya rezim orde baru pada bulan Mei 1998. alam amandemen UUD 1945 yang dilakukan salah satu pasal yang diamandemen adalah pasal yang berkaiatan dengan kekuasaan presiden. Dalam konteks negara hukum seperti Indonesia, pembahasan mengenai kekuasaan pemerintahan oleh presiden ini dikaitkan dengan konsep hukum.
        Sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 ada dua masalah mendasar yang selalu menjadi perhatian para pengkaji hukum tata negara. Pertama, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang luar biasa kepada eksekutif (executive heavy). Kedua, sepanjang sejarah berlakunya UUD 1945, belum pernah dilakukan pengisian jabatan puncak eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) secara “wajar”.
1.2     Perumusan Masalah







BAB II
 PEMBAHASAN

A.    Kekuasaan presiden sebelum Amandemen Undang -Udang Dasar 45

           Dengan dasar pemikiran bahwa undang undang dasar 45 menetapkan kekuasaan tertinggi terletak di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat,Namun Kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden, terdapat beberapa pasal yang menimbulkan multi tafsir, Pengaturan lembaga negara oleh Presiden melalui Undang-undang dan adanya praktek ketata negaraan yang tidak sesuai dengan jiwa Pembukaan UUD 1945. Dengan tujuan melakukan perubahan untuk menyempurnakan aturan dasar tentang Tatanan negara, Kedaulatan Rakyat, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, Pembagian kekuasaan dan kesejahteraan sosial yang merata serta menjaga eksistensi negara demokrasi dan negara hukum sesuai aspirasi dan kebutuhan bangsa Indonesia , maka Perubahan UUD 1945 harus dilaksanakan :
A.           Presiden dan Wakil Presiden Sebagai Institusi
        Dalam masyarakat dimana tradisinya bernegara dan berpemerintahan belum tumbuh secara rasional dan impersonal, institusi politik dan hukumnya cenderung berhimpitan dengan konsep ketokohan yang bersifat personal. Dalam keadaan demikian, semua keputusan politik sebagian terbesar dipengaruhi oleh karakter personal atau kepribadian serta perilaku pemimpin yang menentukan keputusan tersebut. Namun, dalam rangka cita-cita Negara Hukum (Rechtsstaat) yang diamanatkan dalam UUD 1945 sebagai konstitusi proklamasi, kecenderungan mengenai praktek-praktek sistem kepemimpinan personal tersebut tidak dapat dipertahankan. Dalam doktrin Negara Hukum, berlaku prinsip bahwa pemimpin yang sebenarnya bukanlah orang, melainkan hukum yang dilihat sebagai suatu sistem. Karena itu, doktrin yang dikenal mengenai ini adalah “the rule of law, and not of man”.
      Sehubungan dengan itu, maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden haruslah dipandang sebagai suatu institusi. Memang benar di dalamnya tersangkut pula soal-soal yang berkenaan dengan karakter, sikap dan perilaku manusianya atau ‘the man behind the gun’. Dengan perkataan lain dalam ‘institusi’ terkait pula persoalan ‘tradisi’ yang perlu terus menerus dibina dan dikembangkan ke arah kondisi yang makin rasional dan impersonal. Karena itu, diperlukan perangkat peraturan perundangan-undangan sebagai instrumen pengaturan normatif mengenai institusi kepresidenan itu. Melalui jalan pengaturan hukum dan pembinaan terus menerus yang disertai oleh ketulusan dan keteladanan serta kesungguhan pemimpin untuk menegakkan hukum dan sistem hukum itulah, kita dapat mengharapkan proses pelembagaan sistem hukum dan sistem kenegaraan kita dapat terus ditingkatkan kualitasnya di masa-masa mendatang. Betapapun juga, semua ide luhur kenegaraan, ide demokrasi dan gagasan negara hukum haruslah dilembagakan dalam institusi, sehingga setiap keputusan yang diambil merupakan keputusan institusi yang tidak diserahkan hanya pada kebijaksanaan tokoh pemimpin yang kebetulan menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam sistem kekuasaan modern, tidak dapat diterima logika dan akal sehat jika keputusan hanya diserahkan pada kehendak pribadi seorang yang menduduki sesuatu jabatan tertentu. Betapapun luhurnya budi seseorang, sekali ia menduduki jabatan kekuasaan umum, maka kepadanya terkena hukum besi dalam kekuasaan yaitu: ‘power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely’. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, dalam setiap negara modern, haruslah diadakan pengaturan dan pembatasan kekuasaan dengan hukum. Bahkan hukumlah yang harus diterima sebagai satu-satunya pengertian mengenai sistem kepemimpinan yang paling objektif, rasional dan impersonal.
          Pemimpin kita yang sesungguhnya adalah ‘the rule of law, and not of man’. Dengan pengertian demikian, maka tokoh pemimpin boleh saja berganti, tetapi sistemnya tidak. Kepemimpinan sistem ini pulalah yang akan terus menjamin keberadaan kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Dalam sistem demokrasi yang kita bangun sekarang, kita memang tidak dapat lagi mengharapkan peranan kepemimpinan persona untuk menjamin persatuan dan kesatuan bangsa seperti pernah diperankan oleh para tokoh pemimpin bangsa dan negara kita di masa lalu. Presiden di masa yang akan datang tidak bisa lagi dianggap sebagai tokoh simbolik yang dapat berfungsi efektif sebagai Bapak Pemersatu Bangsa. Presiden dan Wakil Presiden kita di era demokrasi dewasa ini tidak lebih merupakan tokoh politik biasa, yang untuk sebagian cenderung hanya berpikir mengenai kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompok politiknya sendiri-sendiri.
Oleh sebab itu, satu-satunya jalan untuk menghalangi agar institusi kepresidenan kita tidak larut dalam persoalan-persoalan kepentingan pribadi atau kelompok, ialah dengan membatasi dan mengaturnya sebagai suatu institusi yang diikat oleh norma-norma hukum yang lugas, rasional dan impersonal. Jika, misalnya, Presiden ataupun Wakil Presiden, karena kebiasaan atau karakter pribadinya menunjukkan ‘performance’ yang cenderung mempribadikan urusan-urusan atau persoalan institusi kepresidenan, maka hal itu jelas dapat dinilai sebagai pelanggaran terhadap amanat konstitusi. Karena itulah penting sekali artinya bagi setiap Negara Hukum modern yang bercita-cita menegakkan supremasi hukum dan sistem hukum, untuk menuangkan segala ketentuan mengenai kekuasaan institusi kepresidenan itu dalam dokumen-dokumen hukum yang resmi.
B.      Presiden Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
        Dalam sistem yang dianut oleh UUD 1945, Presiden Republik Indonesia mempunyai kedudukan sebagai Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan. Memang ada kedudukan lain yang juga disebut dalam UUD 1945, yaitu dalam Pasal 10 yang menyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara”. Kedudukan ini biasa disebut sebagai Panglima Tertinggi atas ketiga angkatan bersenjata atau ketiga angkatan Tentara Nasional Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 10A (baru), dinyatakan pula bahwa “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
           Kewenangan-kewenangan yang ditetapkan dalam Pasal-pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan Pasal 15 UUD 1945 biasanya dikaitkan dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Pasal 11 mengatur mengenai kewenangan Presiden untuk menyatakan perang dan damai serta kewenangan untuk membuat perjanjian dengan negara lain. Pasal 12 berkenaan dengan kewenangan menyatakan keadaan bahaya, Pasal 13 berkenaan dengan pengangkatan dan penerimaan Duta Besar dan Konsul. Pasal 14 mengenai pemberian grasi dan rehabilitasi, serta pemberian amnesti dan abolisi; dan Pasal 15 mengenai pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya. Sesuai hasil Perubahan Pertama UUD 1945, pelaksanaan kewenangan Presiden tersebut di atas secara berturut dipersyaratkan diperhatikannya pertimbangan DPR, pertimbangan MA, ataupun diharuskan adanya persetujuan DPR, dan bahkan diharuskan adanya UU terlebih dahulu yang mengatur hal itu. Pelaksanaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 11 memerlukan persetujuan DPR. Pelaksanaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 15 mempersyaratkan adanya UU mengenai hal itu lebih dahulu. Pelaksanaan kewenangan dalam Pasal 13 memerlukan pertimbangan DPR yang harus diperhatikan oleh Presiden. Sedangkan pelaksanaan kewenangan dalam Pasal 14 dibagi dua, yaitu untuk pemberian grasi dan rehabilitasi diperlukan pertimbangan MA sedangkan pemberian amnesti dan abolisi diperlukan pertimbangan DPR.
Memang banyak yang dapat dipersoalkan mengenai materi perubahan UUD 1945 yang menyangkut pelaksanaan Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 tersebut. Misalnya, untuk apa DPD atau kepada DPR ditumpukkan tambahan-tambahan kewenangan yang justru akan sangat merepotkan DPR secara teknis. Misalnya, untuk apa DPR memerlukan keterlibatan untuk memberikan pertimbangan dalam pengangkatan Duta Besar dan Konsul serta penerimaan Duta Besar dan Konsul negara sahabat seperti di tentukan dalam Pasal 13 baru. Perubahan seperti ini justru akan menyulitkan baik bagi pemerintah maupun bagi DPR sendiri dalam pelaksanaan prakteknya. Demikian pula mengenai pertimbangan terhadap pemberian amnesti dan abolisi yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) baru yang selama ini ditentukan perlu dimintakan kepada Mahkamah Agung, untuk apa dialihkan ke DPR. Namun demikian, terlepas dari kelemahan atau kritik-kritik di atas, semua kewenangan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut biasanya dipahami berkaitan dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Ada yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi judikatif seperti pemberian grasi dan rehabilitasi, dan ada pula yang berhubungan dengan keadaan bahaya yang berkait erat dengan kewenangan Presiden untuk menetapkan Peraturan pelaksanaan fungsi legislatif seperti misalnya pernyataan Pemerintah   Pengganti UU (Perpu).
            Sebenarnya, dalam kaitannya dengan fungsi legislatif, berdasarkan ketentuan UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) lama, memang dinyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR”. Dengan ketentuan demikian, dapat dikatakan bahwa kekuasaan legislatif yang utama memang berada di tangan Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan. Hanya saja pelaksanaan kewenangan ini tidak boleh dilakukan semena-mena, dan untuk itu diperlukan persetujuan DPR yang tingkatannya sederajat dengan Presiden. DPR bahkan berhak menolak ataupun menyetujui hanya sebagian rancangan UU yang diajukan oleh Presiden. Bahkan DPR diberi hak pula untuk berinisiatif mengajukan rancangan UU sendiri. Dalam hubungan ini, lembaga DPR dapat dikatakan lebih merupakan lembaga kontrol atau pengawas daripada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Akan tetapi, dalam rangka Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945, ketentuan demikian itu diubah secara mendasar. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) baru juncto Pasal 20 ayat (1) baru, kewenangan membentuk UU itu telah dialihkan dari tangan Presiden ke DPR. Dalam Pasal 20 ayat (1) baru, ditegaskan bahwa “DPR memegang kekuasaan membentuk UU”.
Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru dinyatakan bahwa: “Presiden berhak mengajukan rancangan UU kepada DPR”. Dengan demikian, DPR telah berubah menjadi pemegang utama kekuasaan membentuk UU. Artinya, kewenangan mengatur (regel) tidak lagi berada di tangan Presiden. Presiden kita sekarang sudah berubah menjadi pelaksana belaka (eksekutif) terhadap segala keputusan legislatif dalam bentuk UU yang ditetapkan oleh DPR, dan demikian juga segala keputusan legislatif MPR sebagai lembaga tertinggi negara, baik dalam bentuk UUD, Perubahan UUD, maupun dalam bentuk Ketetapan MPR.
Karakteristik Presiden sebagai pejabat eksekutif itu tentu haruslah berubah dari keadaan sebelumnya dimana Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif juga memegang kekuasaan legislatif dalam membentuk UU. Sejak berlakunya Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945 tersebut, otomatis Presiden tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengatur kepentingan umum yang berisikan materi pengaturan mengenai hak dan kewajiban warganegara. Kalaupun Presiden memerlukan untuk membuat dan menetapkan peraturan-peraturan untuk melaksanakan UU tersebut, maka kewenangannya untuk mengatur itu haruslah bersumber dari kewenangan yang lebih tinggi yang berada di tangan MPR dan DPR. Oleh karena itu, di masa mendatang tidak boleh lagi ditetapkan adanya Keputusan-Keputusan Presiden yang bersifat mandiri dengan fungsi untuk mengatur seperti dipahami selama ini. Kewenangan mengatur (regeling) terhadap kepentingan umum atau pengaturan mengenai hak dan kewajiban warganegara yang boleh ditetapkan secara mandiri oleh Presiden hanya terbatas pada hal saja, yaitu:
(a)     dalam hal dipenuhinya syarat untuk diberlakukannya keadaan darurat (emergency law)  yang memungkinkan Presiden menetapkan Perpu, dan
(b)     dalam hal materi yang perlu diatur memang berkenaan dengan keperluan internal administrasi pemerintahan yang tidak berkaitan dengan kepentingan umum. Dalam hal yang terakhir ini, dikenal adanya prinsip ‘freijsermessen’ (kebebasan bertindak) yang memungkinkan Presiden dapat memiliki ruang gerak yang leluasa untuk mengadakan peraturan-peraturan kebijakan atau ‘policy rules’ (beleid regels) dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan sehari-hari. Selain kedua hal tersebut, Presiden tidak berwenang menetapkan peraturan yang bersifat mandiri dalam arti bukan dalam rangka menjalankan perintah UU ataupun menjabarkan ketentuan UU sebagai produk lembaga legislatif.      
          Dengan tertib berpikir demikian, kita dapat membangun paradigma yang rasional mengenai institusi kepresidenan Republik Indonesia sebagai pejabat pelaksana belaka terhadap berbagai keputusan legislatif. Bahkan, di mata hukum, lembaga kepresidenan yang berisi jabatan dan pejabat Presiden dan Wakil Presiden itu, hanyalah merupakan pelaksana dan pelaku aturan-aturan hukum, baik yang tertuang dalam UUD, TAP MPR, UU, maupun dalam berbagai peraturan perundang-undangan tingkat pelaksanaan. Hal ini sesuai pula dengan bunyi sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden seperti ditentukan dalam Pasal 9 UUD 1945, yang antara lain berbunyi: “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD, menjalankan segala UU dan peraturan-peraturannya dengan selurus-lurusnya, dan berbakti kepada Bangsa dan Negara”. Dalam bunyi sumpah tersebut tercantum tegas bahwa Presiden dan Wakil Presiden bersumpah ‘Demi Allah’ akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Artinya, Presiden dan Wakil Presiden telah sungguh-sungguh bersumpah atau berjanji untuk menaati segala ketentuan hukum dengan selurus-lurusnya, termasuk ketentuan yang tertuang dalam bentuk peraturan-peraturan yang ditetapkan sendiri oleh Presiden seperti PP dan Keppres. Jika Presiden tidak setuju dengan isinya, misalnya karena dianggap sudah ketinggalan zaman, maka dengan kewenangannya, Presiden dapat saja mengubah isi peraturan-peraturan itu sesuai dengan prosedur yang berlaku. Akan tetapi, sekali suatu norma aturan telah ditetapkan menjadi dokumen hukum yang berlaku sah, maka sejak saat itu Presiden diwajibkan menaati segala ketentuan yang diatur dalam peraturan tersebut.
Jika Presiden melanggar peraturan yang ditetapkannya sendiri berarti Presiden telah melanggar sumpah jabatannya sendiri. Jika Presiden melanggar sumpahnya sendiri, berarti Presiden telah melanggar jiwa dan semangat yang terkandung dalam ketentuan Pasal 9 UUD 1945 yang merupakan salah satu butir materi haluan penyelenggaraan negara yang ditentukan dalam konstitusi. Jika Presiden melanggar salah satu segi saja dari materi konstitusi, maka hal itu sudah cukup untuk menjadi alasan bagi DPR untuk menuntut pertanggungjawaban konstitusional di hadapan persidangan majelis yang khusus diadakan untuk itu. Persidangan demikian inilah yang lazim dikenal dengan sebutan Sidang Istimewa atau disebut dengan Persidangan Istimewa sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945.
2.1.1    Perubahan  Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia     
              Tahun 1945
          Hasil penelusuran literatur yang penulis lakukan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya dalam Perubahan Pertama tentang kekuasaan pemerintahan negara oleh Presiden tersebut telah diadakan perubahan yang sangat signifikan. Sebelumnya Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat diubah menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pada perubahan pertama juga telah dilakukan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan oleh Presiden. Sebelumnya Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Perubahannya menjadi Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu masa jabatan, hal tersebut didasarkan pada pemahaman mengenai maksud bentuk pemerintahan republik.
     Kekuasaan pemerintahan oleh presiden yang lain adalah dalam hal mengangkat duta dan konsul juga diadakan perubahan dari yang sebelumnya yaitu dalam hal mengangkat duta Presiden harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam menerima penempatan duta negara lain Presiden juga harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam memberikan grasi dan rehabilitasi Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Sedangkan dalam pemberian amnesti dan abolisi Presiden harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara dalam pemberian gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang sebelumnya tidak diatur harus diatur dengan Undang-undang. Beberapa pasal yang menimbulkan multi tafsir yang berhubungan dengan kekuasaan pemerintahan negara oleh presiden tersebut telah diadakan perubahan sehingga hal yang sangat mendasar dan selalu menjadi perhatian para pengkaji hukum tata negara, karena UUD 1945 memberikan kekuasaan yang luar biasa kepada eksekutif (executive heavy) dalam konteks ini Presiden menjadi pasti / jelas dan tidak menimbulkan salah penafsiran.
2.1.2     Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  
              1945
           Perubahan Kedua, Udang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia ke-9 tanggal 19 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Dalam perubahan kedua ini hasil penelusuran kepustakaan oleh penulis yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan negara oleh Presiden tidak diadakan Perubahan lagi.
2.1.3  Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun   
           1945
     Dalam perubahan ketiga, ini kekuasaan pemerintahan negara oleh Presiden mengalami beberapa perubahan mulai syarat-syarat menjadi Presiden sampai dengan pembuatan perjanjian Internasional. Pada naskah asli UUD 1945 Presiden adalah orang Indonesia asli, telah diadakan perubahan bahwa Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarga negaraan lain, baik karena kehendaknya sendiri maupun orang lain, tidak pernah mengkhianati negara serta mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Persyaratan untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-undang. Kekuasaan pemerintahan oleh Presiden dalam perubahan ketiga UUD 1945 dalam hal membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan mengadakan perubahan dan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR. Ditegaskan dalam pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
2.1.4     Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia   
               Tahun 1945
        Dalam Naskah perubahan Ke-empat, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dinyatakan hal-hal yang berikut :
a.     Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah   dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden bulan Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat;
b.      Penambahan bagian akhir pada perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan kalimat, ”Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000. Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”.
c.     Pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi pasal 3 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 25 Perubahan Kedua Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25.
d.     Penghapusan Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan subtansi Pasal 16 penempatannya tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Dari keseluruhan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dapat diuraikan dalam narasi bahwa Sebelum perubahan dilakukan Undang-Undang Dasar 1945 berjumlah, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal aturan Peralihan, 2 ayat Aturan Tambahan.
Setelah dilakukan perubahan kesatu sampai dengan keempat, maka Undang-undang Dasar 1945 berjumlah, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, 2 Pasal dan Aturan Tambahan.
Dengan latar belakang dan kesepakatan dasar bahwa perubahan undang-undang dasar tidak mengubah Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertegas sistem presidensiil, penjelasan yang memuat hal-hal normatif dimasukkan dalam pasal-pasal (batang tubuh) dan perubahan dilakukan dengan cara adendum. Dapat dicermati bahwa dari uraian yang penulis kemukanan diatas, hal yang paling membedakan antar Undang-undang Dasar 1945 sebelum amandemen dan Undang-undang Dasar 1945 sesudah amandemen adalah tanpa adanya penjelasan. Walaupun ada perbedaan yang sangat mendasar menurut hemat penulis Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan sumber hukum tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik atau tidaknya terletak pada semangat para pemimpin dan para penyelenggara negara serta seluruh komponen masyarakat bangsa Indonesia dalam penyelanggaraan pemerintahan dan hidupnya Negara. 
2.2      Kekuasaan Presiden Sesudah Amandemen Undang-Undang dasar 45
      Tentang implementasi kekuasaan pemerintahan negara oleh Presiden sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tetap sebagaimana diatur dalam pasal 4 artinya Presiden adalah pemegang kekuasan pemerintah menurut Undang-undang Dasar dan pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 Presiden adalah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara.
     Untuk menjalankan Undang-undang ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir reglementer). Selanjutnya kekuasaan pemerintahan negara oleh Presiden sebagai Kepala Negara sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain dalam menerima penempatan duta dari negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam memberi grasi dan rehabilitasi memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dalam hal memberi amnesti dan abolisi memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat serta dalam memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan diatur dengan Undang-undang dan membentuk dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden.
         Memang dalam Undang-undang Dasar 1945 sebelum maupun sesudah perubahan menurut hemat penulis tidak diamanatkan secara tegas bahwa Lembaga Kepresidenan dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara akan diatur dengan Undang-undang seperti Lembaga negara yang lain misalnya Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, Polri, dan lain-lain yang diatur dengan Undang-Undang dibawahnya (Undang-Undang organik) karena negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara sesudah perubahan Undang-undang Dasar 1945 Presiden hanya berhak untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan tidak lagi memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.
Kalau kita melihat perkembangan implementasi pelaksanaan kekuasaan Legislatif oleh Dewan Perwakilan Rakyat selaku pemegang kekuasaan membentuk Undang-undang dewasa ini telah terjadi hal yang sebaliknya sebelum Undang-undang Dasar 1945 dilakukan perubahan yang pertama. Pada waktu itu dominasi kekuasaan terletak di eksekutif (dominasi lembaga kepresidenan) walaupun tidak diatur dengan Undang-undang organik dibawahnya. Tetapi sekarang ini dominasi kekuasaan terletak di tangan Legislatif dan menurut hemat penulis proses tersebut sebenarnya memang belum sepadan apabila dibandingkan dengan lamanya pemerintahan rezim Orde baru yang telah menjalankan kekuasaan lebih kurang selama tiga puluh dua tahun. Dominasi Legislatif ini setelah reformasi digulirkan sampai saat ini menunjukkan tanda-tanda kecenderungan penyimpangan kekuasaan oleh lembaga perwakilan dan bertendensi lemahnya lembaga eksekutif. Karena lembaga kepresidenan dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tidak diatur dengan Undang-undang organik dibawahnya dan Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tidak lagi memegang kekuasaan membentuk Undang-undang, sehingga Presiden tidak mempunyai hak veto dalam rangka menciptakan mekanisme cek and balance, karena Presiden hanya berhak mengajukan Rancangan Undang-undang kepada DPR. Dengan demikian setelah perubahan UUD 1945 ini otomatis kekuasaan Presiden bersama-sama dengan DPR sebagai Legislatif Power dalam negara tidak berlaku lagi.
Sebagai kepala negara sesudah perubahan UUD 1945 Presiden harus dan wajib memperhatikan pertimbangan dari dua lembaga ketatanegaran yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam hal mengangkat Duta dan Konsul, penempatan duta negara lain, pemberian amnesti dan abolisi serta wajib memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dalam hal memberikan grasi dan rehabilitasi. Kedua pertimbangan tersebut sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu menunjukkan adanya pembatasan kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara.



BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
1.    Kekuasaan negara yang tidak terkontrol di Indonesia sebagai akibat dari terpusatnya kekuasaan itu pada satu orang dan segala implikasi negatifnya, tampaknya mengharuskan bangsa ini untuk mengkaji ulang konsep kekuasaan pemerintahan oleh presiden yang sangat besar tersebut. Pandangan negara netral dan paham integralistik, yang biasanya melegitimasi konsep tersebut, sepertinya juga tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di negara ini. Adanya tuntutan demokratisasi di segala bidang yang sudah tidak mungkin ditahan lagi, mengartikan bahwa sudah saatnya kekuasaan presiden yang sangat besar harus dibatasi. Namun sebagai bagian dari agenda politik gagasan ini baru memperoleh momentumnya setelah jatuhnya rezim orde baru pada bulan Mei 1998 di Indonesia. Setelah menelaah, mempelajari, dan mempertimbangkan dengan seksama dan sungguh-sungguh hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat, bangsa, dan negara, serta dengan menggunakan kewenangannya berdasar Pasal 37 UUD 1945, Majelis Permusyarawatan Rakyat telah menetapkan untuk mengadakan perubahan UUD 1945.
2.  Mekanisme check and balance yang berorientasi pada terciptanya mekanisme kontrol antar lembaga negara sehingga masing-masing lembaga berjalan berdasarkan prinsip akuntabilitas (accountability). Karena pertanggungjawaban utama adalah pada rakyat, maka penciptaan kondisi yang menjamin partisipasi rakyat secara optimal harus dibentuk. Tentu saja tak semudah itu mengharapkan pihak penguasa (Eksekutif maupun Legislatif) sesudah perubahan UUD 1945 mau melaksanakan wewenang, kewajiban dan haknya secara benar, karena Sistem yang dibangun ini ternyata juga memiliki kecenderungan penyimpangan kekuasaan oleh lembaga perwakilan dan bertendensi pada lemahnya lembaga eksekutif. Dalam implementasi kekuasaan pemerintahan negara sesudah perubahan Undang-undang Dasar 1945 menggeser executif heavy ke arah legislative heavy sehingga terkesan bukan keseimbangan yang dituju melalui perubahan UUD 1945, tetapi DPR ingin memusatkan kekuasaan di tangannya.
3.  Sebagai langkah nyata di Indonesia dalam hal sistem pemerintahan mulai dilaksanakan sesudah perubahan UUD 1945 bahwa sistem pemerintahan di Indonesia sebelum perubahan secara hakiki adalah sistem presidensil, bukan dimaksudkan sebagai suatu bentuk campuran. Lebih-lebih karena pada saat ini (setelah perubahan UUD 1945) dan kedepan. Presiden disatu pihak dipilih langsung, dan dipihak lain tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR, maka sistem presidensil di Indonesia menjadi lebih murni.

Sekian apa yang kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat.
Baca jugaa makalah kami yang lain tentang
Amandemen UUD 1945 

DAFTAR PUSTAKA
Anom Suryo Putra, Hukum Konstitusi Masa Transisi; Semiloka, Psikoanalisis dan Kritik
           Ideologi, Nuansa Cendekian, Bandung, 2003

Baghir Manan, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press yogyakarta, 2003

Ismail Suny Prof.Dr, SH.M.C.L, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Cetakan ke 3, Radar
           Jaya Offset Jakarta 1977

Jimly Assidiq, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan keempat, PSHTN FH UII,
           Yogya, 2002.

Satjipto Rahardjo, Prof. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bandung, 1996
            Peraturan Perundang-undangan
Eko Jaya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan
            Perubahan-perubahannya 1999-2002, CV., Jakarta 2002.

Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Lembaga               Informasi Nasional Republik Indonesia, 2002. Jalan Merdeka Barat 9 Jakarta10110

Materi Sosialisasi Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Sekretariatjenderal    
           MPR RI ,  Jakarta, 2005. Diposkan oleh RATANUSON di 06:40 Label: Konstitusi dan
           Kelembagaan Negara.

makalah lembaga kepresidenan

BAB I
A.   PENDAHULUAN
Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang ada dalam sebuah negara. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori klasik hukum negara meliputi, kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau Perdana Menteri atau Raja; kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat; dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu melaksanakan fungsinya.
Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu oleh menteri-menteri yang biasanya memiliki suatu depertemen tertentu. Meskipun demikian, dalam kenyataanya, tipe-tipe lembaga yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Secara konseptual, tujuan diadakan lembaga-lembaga negara atau alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.
secara praktis fungsi negara dan ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang. Dalam negara hukum yang demokratik, hubungan antara infra struktur politik  (Socio Political  Sphere)  selaku  pemilik  kedaulatan  (Political Sovereignty) dengan supra struktur politik (Governmental Political Sphere) sebagai pemegang atau pelaku kedaulatan rakyat menurut hukum (Legal Sovereignty), terdapat hubungan yang saling menentukan dan saling mempengaruhi.


B.   Rumusan masalah
v pentingnya masing-masing lembaga negara menjalankan tugas dan wewenangnya
























BAB II
PEMBAHASAN
A. Kelembagaan Negara
1.Pengertian Lembaga Negara
Lembaga negara adalah lembaga pemerintahan atau "Civilizated Organization" Dimana lembaga tersebut dibuat oleh negara , dari negara, dan untuk negara dimana bertujuan untuk membangun negara itu sendiri . Lembaga negara terbagi dalam beberapa macam dan mempunyai tugas nya masing - masing antara lain
2. Tugas Lembaga Negara
A. Tugas umum lembaga negara antara lain :
1.     Menjaga kestabilan atau stabilitas keamanan , politik , hukum , ham , dan budaya
2.     Menciptakan suatu lingkungan yang kondusif , aman , dan harmonis
3.     Menjadi badan penghubung antara negara dan rakyatnya
4.     Menjadi sumber insipirator dan aspirator rakyat
5.     Memberantas tindak pidana korupsi , kolusi , maupun nepotisme
6.     Membantu menjalankan roda pemerintahan negara
B. Tugas dalam Negeri
1.     DPR atau dewan perwakilan rakyat bertugas untuk menampung segala usulan dari rakyat
2.     MPR Majelis perwakilan rakyat dimana bertugas mengatur susunan amandemen / UUD 1945
3.     TNI Tentara Nasional Indonesia bertugas untuk mengatur keamanan dan stabilitas negara
4.     PN Pengadilan negeri bertugas untuk menghukum atau mengadili masalah masalah yang berkaitan dengan hukum perdata maupun hukum pidana
5.     KPK Komisi pemberantasan korupsi bertugas untuk memberantas para oknum / aparat yang melakukan tindak korupsi
C. Tugas luar negeri,     
Adapun lembaga negara luar negeri yang bersifat internasional adalah sebagai berikut
1.     FBI Federal Bureau Investigation "yang bertugas mengatasi masalah tindak pidana dalam maupun luar negeri".
2.     CIA Central intellegence of America " yang bertugas "dibalik layar" dalam urusan keamanan eksternal dan internal dari amerika maupun negara-negara lainnya
Adapun artinya adalah lembaga yang anggotanya terdiri dari beberapa negara dan mempunyai fungsi menjaga kestabilan anggota-anggotanya . Dan Menciptakan suatu kerja sama regional antar negara anggota baik bilateral dan multiteral sehingga tercipta hubungan simbiosis mutualisme antar negara anggota contoh lembaga negara-negara adalah :
1.     PBB Perserikatan bangsa-bangsa terdiri dari banyak negara di seluruh dunia dan berfungsi menjaga kestabilan politik , ekonomi , pangan , dan keamanan di seluruh dunia
2.     NATO Terdiri dari negara-negara superpower gabungan antara eropa dan amerika seperti amerika serikat , inggris dan rusia bertugas menjaga keamanan dan meningkatkan hubungan kerja sama regional antar amerika-eropa.dalam kenyataannya lebih bertugas menjaga keamanan di seluruh dunia atau bisa disebut juga "polisi dunia"
3.     ASEAN Association of South East Asia Nation adalah badan / lembaga negara-negara yang beranggotakan negara - negara di asia tenggara yang bertugas menjaga dan meningkatkan hubungan dan keharmonisan baik di bidang politik , sosial , budaya , ekonomi.
B. Konsep – konsep dasar tentang lembaga – lembaga neegara
  • Bagaimana dulu dalam UUD 1945
  • Konstitusi RIS pernah punya
  • penyebutan badan-badan kenegaraan
Sebagai istilah, dalam UUD 1945 sekarang tidak akan ditemukan satu patah katapun sebutan ”lembaga negara”. Istilah itu berkembang dalam praktik ketatanegaraan kita. UUD 1945 juga tidak menyebut istilah lain. Dalam penjelasan kita temukan sebutan penyelenggara negara. Tapi penjelasan itu sekarang tidak berlaku lagi. Karena setelah amandemen UUD 1945 dikaakan bahwa UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan Btang Tubuh. Memang tidak secara eksplisit ada pernyataan bahwa Penjelasan secara resmi dihapus. Tetapi dengan disebut hanya”Pembaukaan dan Batang Tubuh”, penjelasan sudah tidak lagi mejadi bagian dari UUD  1945. Pada zaman orde baru, misalnya dalam bahan-bahan  tentang UUD 1945, dibahas bahwa UUD 1945 terdiri dari pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan, dengan tidak lagi disebut, maka secara acontrario mejadi tidak lagi bagian darinya. Pertanyaannya adalah mengapa para pembentuk UUD tidak secara eksplisit mencabut pejelasan? Misalnya terhadap lembaga DPA, secara eksplisit dihapus, diganti dengan wantimpres. Ini masalah yuridis. Jika ada pernyataan secara yuridis bahwa penjelasan dihapus, artinya bahwa penjelasan itu diakui secara yuridis keberadaannya. Contoh, penjelasan-penjelasan yang mengambil dari penjelasan, tidak ada dalam batang tubuh.
Dalam UUD 1945 ditemukan istilah ”penyelenggara negara”. Misalnya dulu dalam penjelasan Pasal 1 dikatakan MPR adalah penyelenggara negara tertinggi. Kemudian di dalam penjelasan umum UUD 1945 kita temukan juga istilah penyelenggara negara, misalnya dalam pokok-pokok pikiran, ada istilah penyelenggaran negara. Sama sekali tidak ada istilah lembaga negara. Kalau begitu, atau sebelum kalau begitu, kit a eksplor lebih jauh UUD 1945, yaitu Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Konstitusi RIS punya BAB khusus tentang alat-alat perlengkapan negara RIS, kemuadian dijabarkan seterusnya pada bab, RIS mencantumkan beberapa pranata yg disentuhkan, yaitu Presiden itu memiliki 2 arti dalam bahasa kita. Satu  sisi presiden sebagai pejabat, yaitu orang yang memangku jabatan presiden. Sisi lain, presiden juga adalah sebagai lingkungan jabatan.jika nanti dari bapa/ibu dosen ini menyinggung Logeman, saudara akan menemukan lingkungan jabatan. Contohnya, jika syarat -syarat menjadi presiden, presiden yang menjabat presiden memiliki kekuasaan tertentu. Tetapi adakalanya dimaksudkan adalah lingkungan jabatan. Ketika disebut Predsiden membuat UU, tidak harus orang sebagai jabatannya yang harus selalu hadir, tetapi dapat diwakili oleh menteri.
Perlengkapan negara itu adalah badan-badan penyelenggara yang ditetapkan dalam UUD. Itu poin, penegasannya adalah: yang diatur dan dimuat dalam UUD. Dan UUDS 50 ada bab tentang alat-alat perlengkapan negara ini. pada Pasal 44. yang dimaksudkan sebagai alat perlengkapan negara:
1.     Presiden;
2.     Wapres;
3.     Menteri-mentri
4.     DPR;
5.     MA
6.     dan Badan Pengawas Keuangan
UUD 45 kita sekarang masih belum lengkap, misalnya syarat-syarat presiden. UU pun nambah-nambah lembaga negara. Jadi hati-hati kalo kita bica lembaga negara sekarang, yang mana? Sebelum perubahan UUD 1945 dikenal lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara.

C. Lembaga Negara Dalam Sistem ketatanegaraan
Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, lembaga negara berdasarkan ketentuan UUD adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.
UUD 1945 mengejawantahkan prinisip kedaulatan yang tercermin dalam pengaturan penyelenggaraan negara. UUD 1945 memuat pengaturan kedaulatan hukum, rakyat, dan negara karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan pada hukum, proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan hubungan antar Negara RI dengan negara luar dalam konteks hubungan internasional.
Untuk mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut UUD, maka Prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme kelembagaan antar lembaga  negara.  Dengan  penegasan  prinsip  tersebut,  sekaligus  untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan.
Adanya pergeseran prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prinsip yang mendasari bangunan pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan menurut UUD.
Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan keuangan ada BPK. Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.
A. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sebelum Perubahan UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR memiliki  tugas  dan  wewenang  yang  sangat  besar  dalam  praktek penyelenggaraan negara, dengan kewenangan dan posisi yang demikian penting, MPR disebut sebagai “lembaga tertinggi negara”, yang juga berwenang mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang hierarki hukumnya berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas undang-undang.
Setelah Perubahan UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan oleh MPR, tetapi dilaksanakan “menurut undang-undang dasar”. Dengan demikian, kedaulatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Dasar dan diejawantahkan oleh semua lembaga negara yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. Dengan perubahan tugas dan fungsi MPR dalam sistem ketatanegaraan, saat ini, semua lembaga negara memiliki kedudukan yang setara dan saling mengimbangi.
Saat ini, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang semuanya dipilih oleh rakyat dalam pemilu, bukan lembaga DPR dan lembaga DPD. Komposisi  keanggotaan  tersebut  sesuai  dengan  prinsip  demokrasi perwakilan yaitu “perwakilan atas dasar pemilihan” (representation by election). dengan ketentuan baru ini secara teoritis berarti terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan, yaitu dari sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontal- fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antarlembaga negara.
MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang memiliki program yang ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika calon Presiden dan Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang sudah terpilih.
B.   Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan legislatif sebagaimana tercantum pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Dalam UUD 1945 secara eksplisit dirumuskan tugas, fungsi, hak, dan wewenang DPR yang menjadi pedoman dalam pola penyelenggaraan negara.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, untuk optimalisasi lembaga perwakilan serta memperkukuh pelaksanaan saling mengawasi dan saling mengimbangi oleh DPR, DPR memiliki fungsi yang diatur secara eksplisit  dalam UUD.
Pada Pasal 20A dipertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran  mempertegas  kedudukan  DPR  untuk  membahas (termasuk mengubah) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Kedudukan DPR dalam hal APBN ini lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan Presiden karena apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu [Pasal 23 ayat (3)]. Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh Presiden (pemerintah).
Penegasan fungsi DPR dalam UUD 1945 itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas DPR sehingga DPR makin berfungsi sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat Selanjutnya, dalam kerangka checks and balances system dan penerapan negara hukum, dalam pelaksanaan tugas DPR, setiap anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya. Dalam masa jabatannya mungkin saja terjadi hal atau kejadian atau kondisi yang menyebabkan anggota DPR dapat diberhentikan sebagai anggota DPR. Agar pemberhentian anggota DPR tersebut mempunyai dasar hukum yang baku dan jelas, pemberhentian perlu diatur dalam undang-undang. Ketentuan ini merupakan mekanisme kontrol terhadap anggota DPR. Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa jabatannya dalam undang-undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain yang tidak  berdasarkan  undang-undang.  Ketentuan  itu  juga  sekaligus menunjukkan konsistensi dalam menerapkan paham supremasi hukum, yaitu bahwa setiap orang sama di depan hukum, sehingga setiap warga negara harus tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan hukum itu harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.
C.   Dewan Perwakilan Daerah
Perubahan UUD 1945 melahirkan sebuah lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan kehadiran DPD dalam sistem perwakilan Indonesia, DPR didukung dan  diperkuat  oleh  DPD.  DPR  merupakan  lembaga  perwakilan berdasarkan  aspirasi  dan  paham  politik  rakyat  sebagai  pemegang kedaulatan, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah.
Ketentuan UUD 1945 yang mengatur keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia itu antara lain dimaksudkan untuk:
1.     memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah;
2.     meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah;
3.      mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.
Dengan demikian, keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) berjalan sesuai dengan keberagaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa dan negara. DPD  memiliki  fungsi  yang  terbatas  di  bidang  legislasi,  anggaran, pengawasan, dan pertimbangan. Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kewenangan legislatif yang dimiliki DPD adalah dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi  daerah,  hubungan  pusat  dengan  daerah,  pembentukan, pemekaran, dan pengabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Dalam bidang pengawasan, DPD mengawasi pelaksanaan berbagai undang-undang yang ikut dibahas dan diberikan pertimbangan oleh DPD. Namun, kewenangan pengawasan menjadi sangat terbatas karena hasil pengawasan itu hanya untuk disampaikan kepada DPR guna bahan pertimbangan dan ditindaklanjuti. Akan tetapi, pada sisi lain anggota DPD ini memiliki kedudukan dan kewenangan yang sama dengan DPR ketika bersidang dalam kedudukan sebagai anggota MPR, baik dalam perubahan UUD, pemberhentian Presiden, maupun Wakil Presiden.
UUD NRI Tahun 1945 menentukan jumlah anggota DPD dari setiap provinsi adalah sama dan jumlah seluruh anggotanya tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Penetapan jumlah wakil daerah yang sama dari setiap provinsi pada keanggotaan DPD menunjukan kesamaan status provinsi- provinsi  itu  sebagai  bagian  integral  dari  negara  Indonesia.  Tidak membedakan provinsi yang banyak atau sedikit penduduknya maupun yang besar atau yang kecil wilayahnya.


D.   Presiden
Presiden merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan dibidang eksekutif. Seiring dengan Perubahan UUD 1945, saat ini kewenangan Presiden diteguhkan hanya sebatas pada bidang kekuasaan dibidang pelaksanaan pemerintahan negara. Namun demikian, dalam UUD 1945 juga diatur mengenai ketentuan bahwa Presiden juga menjalankan fungsi yang berkaitan dengan bidang legislatif maupun bidang yudikatif.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar, Presiden haruslah warga negara Indonesia yang sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain. Perubahan ketentuan mengenai persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan zaman serta agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang makin demokratis, egaliter, dan berdasarkan rule of law yang salah satu cirinya adalah pengakuan kesederajatan di depan hukum bagi setiap warga negara. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa jabatan Presiden dapat dikontrol oleh lembaga negara lainnya, dengan demikian akan terhindar dari kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan tugas kenegaraan.

E. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial

Kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat (3) dikatakan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketentuan tersebut menjadi dasar hukum keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut.
1. Mahkamah Agung
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1), MA mempunyai wewenang:
a. mengadili pada tingkat kasasi;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
c. wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
2. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut:
a.  menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
b. memutus  sengketa  kewenangan  lembaga  negara  yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
c. memutus pembubaran partai politik;4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
3. Komisi Yudisial
Wewenang  Komisi Yudisial  menurut  ketentuan  UUD  adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam proses rekrutmen hakim agung, calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Pasal 24B UUD menyebutkan Komisi Yudisial merupakan lembaga negara  yang  bersifat  mandiri  dan  berwenang  mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Dengan demikian, Komisi Yudisial memiliki dua kewenangan, yaitu mengusulkan pengangkatan calon hakim agung di Mahkamah Agung dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga martabat serta menjaga prilaku hakim di Mahkamah Konstitusi.
F. Badan Pemeriksa Keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan dalam bidang auditor. Dalam kedudukannya sebagai eksternal auditor pemerintah yang memeriksa keuangan negara dan APBD, serta untuk dapat menjangkau pemeriksaan di daerah, BPK membuka kantor perwakilan di setiap provinsi. BPK mempunyai tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.












BAB III
PENUTUP
Hal mendasar dalam praktek penyelenggaraan negara adalah resiko dan akibat praktek penyelewengan sistem ketatanegaraan. Perbuatan yang secara sengaja dilakukan hanya untuk kepentingan sesaat bagi kelompok individualitik kolektivitas  tertentu  sama  dengan  proses  legalisasi  kearah  perilaku penyimpangan.Untuk mewujudkan kedewasaan berpolitik dalam sebuah organisasi pemerintahan, terutama dituntut adanya kesadaran kolektivitas sosial. Tanpa adanya kesadaran kolektivitas akan berpotensi menimbulkan adanya stagnasi penyelenggaraan pemerintahan dan cenderung menuju kemunduran.
Model  sistem  penyelenggaraan  negara  oleh  lembaga  Negara menggambarkan model interaksi menjadi sebuah skema konseptual yang satu sama lain saling berkaitan dalam kerangka prinsip checks and balances system. Hubungan antar lembaga negara dalam kerangka pelaksanaan tugas tercermin pada implementasi dari akibat yang ditimbulkan dalam konsep fungsional.
Hal yang perlu dikedepankan dalam praktek penyelenggaraan negara adalah pentingnya masing-masing lembaga negara menjalankan tugas dan wewenangnya secara normal atau mendapat peresetujuan rakyat mengenai praktek yang dapat diterima semua unsur dan tidak merugikan salah satu unsur yang dapat membawa kesulitan dalam hal implementasi tindak lanjut.






SUMBER BACAAN