TEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA DENGAN JUJUR DAN BENAR

HUKUM ADALAH KUMPULAN PERATURAN-PERATURAN ATAU KAEDAH-KAEDAH DALAM SUATU KEHIDUPAN BERSAMA : KESELURUHAN PERATURAN TENTANG TINGKAH LAKU YANG BERLAKU DALAM SUATU KEHIDUPAN BERSAMA, YANG DAPAT DIPAKSAKAN DENGAN SUATU SANKSI. (Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH)

Senin, 01 April 2013

ilmu perundang-undangan

Asas-asas dan Sumber Peraturan Perundang-undangan

REP | 05 January 2013 | 09:17 Dibaca: 1421   Komentar: 0   Nihil
Oleh: EKA SARIPUDIN[1]
1. Pendahuluan
Peranan peraturan perundang-undangan semakin meningkat. Akan tetapi, patut disayangkan tidak jarang muncul masalah seputar peraturan perundang-undangan, baik sebelum, sesudah, maupun setelah ada. Salah satu kemungkinan penyebab masalah itu adalah akibat tidak atau kurang memnfaatkan Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan.
Memahami Ilmu Perundang-undangan sangatlah penting, seperti salah satunya memahami tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, karena di dalamnya terdapat acuan bagaimana cara melahirkan sebuah produk hukum dalam hal ini undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan publik pada saat itu. Jika kita tidak berpedoman kepada asas-asas tersebut maka kemungkinan besar kita akan mendapatkan banyak kekeliruan dalam penetapan dalam sebuah hukum, seperti halnya salah satu asasnya adalah peraturan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan yang bersifat umum.
Dan sesungguhnya orang-orang yang telah melahirkan asas-asas tersebut sangat membantu sekali dalam penetapan peraturan hukum dikemudian hari. Banyak pakar melahirkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yang pada hakikatnya tujuannya sama.
Intinya walaupun banyak pakar yang memikirkan tetang asas-asas pembentukkan ini adalah sama. Menginginkan melahirkan produk hukum yang efisien dan efektif.
Mengenai materi sumber hukum yang menjadi acuan pembentukkan produk hukum adalah Pancasila, UUD 1945, Yurisprudensi, Hukum Agama, Hukum Adat, dan Hukum Internasional. Yang lebih lanjut akan dibahan pada pembahasan makalah ini.
Sebelum dan sesudahnya kami minta maaf kepada Bapak Dosen, karena tidak bisa sesuai dengan keinginan bapak agar tidak meng-copy-paste dari tulisan bapak, karena kami melihat dari buku yang kami temukan, semuanya telah lengkap di dalam buku bapak ini sehingga terlalu picik buat kami jika memaksakan diri untuk berbeda dengan apa yang bapak tulis itu.
2. Asas-Asas Pembentuk Peraturan perundang-undangan
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak[2]. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang sama. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli, kemudian penulis akan mengklasifikasikannya ke dalam dua bagian kelompok asas utama (1) asas materil atau prinsip-prinsip substantif; dan (2) asas formal atau prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.
Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto[3], memperkenalkan enam asas sebagai berikut:
a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
b. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis);
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatal-kan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori);
e. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
f. Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).
Hampir sama dengan pendapat ahli sebelumnya Amiroedin Sjarief, mengajukan lima asas, sebagai berikut:[4]
a. Asas tingkatan hirarkhi;
b. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyam-pingkan UU yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);
d. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;
e. UU yang baru menyampingkan UU yang lama (lex posteriori derogat lex periori).
Pendapat yang lebih terperinci di kemukakan oleh I.C van der Vliesdi mana asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu asas formal dan asas materil.
Asas formal mencakup:[5]
a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke doelstelling);
b. Asas organ / lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
c. Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid);
e. Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Sedangkan yang masuk asas materiil adalah sebagai berkut:
a. Asas terminologi dan sistimatika yang benar (het beginsel van duitdelijke terminologie en duitdelijke systematiek),
b. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids beginsel);
d. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuale rechtsbedeling).
Pendapat terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria Farida,[6] yang mengatakan bahwa pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai bintang pemandu, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, di mana sebuah negara menganut paham konstitusi.
Lebih lanjut mengenai A. Hamid. S. Attamimi, mengatakan jika dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut :
a. Asas–asas formal:
1. Asas tujuan yang jelas.
2. Asas perlunya pengaturan.
3. Asas organ / lembaga yang tepat.
4. Asas materi muatan yang tepat.
5. Asas dapat dilaksanakan.
6. Asas dapat dikenali.
b. Asas–asas materiil:
1. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara.
2. Asas sesuai dengan hukum dasar negara.
3. Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum.
4. Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Dalam Islam, prinsip-prinsip perumusan peraturan perundang-undangan (qanun) juga telah lama diperkenalkan oleh ahli Islam seperti Al Ghazali, Ibnu al Qayyim al Jauziyah, dan tokoh-tokoh kontemporer lainnya. Beberapa prinsip itu antara lain:
a. Pluralisme (al ta’addudiyyah); suatu prinsip keanekaragaman, di mana setiap peraturan perundang-undangan yang disusun harus menghargai, mengakomodasi keberagaman di suatu komunitas.
b. Nasionalitas (muwathanah); spirit nasionalisme yang melandasi bangunan bangsa Indonesia harus menjadi batu pijak dan poros dalam perumusan kebijakan (meskipun ia berbasis pada syariat Islam).
c. Penegakan hak asasi manusia (iqamat al huquq al Insaniyah); menurut Imam Ghazali adalah bahwa perumusan kebijakan dioreintasikan pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan. hak asasi manusia juga diacu sebagai landasan perumusan materi kebijakan.
Terdapat enam hak yang dikenal dalam disiplin Syariat Islam:
a. Hak untuk hidup (hifdz al nafs aw al hayat)
b. Hak kebebasan beragama (hifdz a din)
c. Hak kebebasan berfikir (hifdz al aqli)
d. Hak properti (hifdz al maal)
e. Hak untuk mempertahankan nama baik (hifdz al irdh)
f. Hak untuk memiliki garis keturunan (hifdz al nasl)
d. Demokratis: secara prinsipil nilai-nilai Islam berkesesuaian (compatibel) dengan nilai-nilai demokrasi. Beberapa di antaranya:
a. Egalitarianisme (al musawah)
b. Kemerdekaan (al hurriyyah)
c. Persaudaraan (al ukhuwwah)
d. Keadilan (al adalah)
e. Musyawarah (al syuro)
f. Kemaslahatan (al mashlahah)
Ibnu al Qayyim al Jauziyah menyebutkan bahwa syariat Islam itu dibangun untk mewujudkan nilai-nilai universal seperti: al mashlahah (kemaslahatan), al adalah (keadilan), al rahmat (kasih sayang), al hikmah (kebijaksanaan).
e. Kesetaraan dan keadilan gender: setiap kebijakan disusun tidak boleh membedakan setiap jenis kelamin. Ia harus mengakomodasi dan mensetarakan gender.
Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, pada dasarnya menunjuk pada bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dibuat, baik dari segi materi-materi yang harus dimuat dalam peraturan perundang-undangan, cara atau teknik pembuatannya, akurasi organ pembentuk, dan lain-lain. Untuk memudahkan pemahaman, di bawah ini akan diuraikan penjelasan asas-asas itu yang dikelompokkan ke dalam 3 bagian asas yang harus dipenuhi. Uraian berikut ini sebagian besar mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, dengan tambahan dan penjelasan yang dideduksi dari uraian para ahli.
2.1. Asas-asas Hukum Umum
a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif); peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan itu lahir. Namun demikian, mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan masyarakat. Sebagai contoh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang digunakan untuk mengadili peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor Timur yang terjadi pada 1999.
b. Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior); peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hirarkhi norma dan peraturan perundang-undangan.
c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis); sebagai contoh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah lex specialis yang banyak mengesampingkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori); dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat klausul yang menegaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dan menyatakan peraturan perundang-undangan sejenis yang sebelumnya digunakan, kecuali terhadap pengaturan yang tidak bertentangan.
2.2. Asas Material/ Prinsip-prinsip Substantif
Secara umum, prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam menilai substansi/ materi muatan peraturan perundang-undangan adalah (1) nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender yang sudah tercantum di dalam konstitusi; jaminan integritas hukum nasional; dan (3) peran negara versus masyarakat dalam negara demokrasi.
Ketiga prinsip dasar itu jika diturunkan secara lebih rinci adalah sebagai berikut:
a. Pengayoman; memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
b. Kemanusiaan; memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat.
c. Kebangsaan; mencerminkan watak bangsa Indonesia yang pluralistik.
d. Bhinneka Tunggal Ika; memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya.
e. Keadilan; memuat misi keadilan.
f. Kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan; memberikan akses dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
g. Ketertiban dan kepastian hukum; menciptakan ketertiban melalui jaminan hukum.
h. Keseimbangan, keseresaian, dan keselarasan; menyeimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara.
i. Keadilan dan kesetaraan gender; memuat substansi yang memberikan keadilan dan kesetaraan gender dan mengandung pengaturan mengenai tindakan-tindakan khusus bagi pemajuan dan pemenuhan hak perempuan.
j. Antidiskriminasi; tidak mengandung muatan pembedaan (baik langsung maupun tidak langsung), berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, suku, agama, dan identitas sosial lainnya.
k. Kejelasan tujuan; mengandung tujuan yang jelas yang hendak dicapai, akurasi pemecahan masalah.
l. Ketepatan kelembagaan pembentuk Perda; jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
m. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan memuat substansi yang sesuai berdasarkan kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang.
n. Dapat dilaksanakan; memuat aturan yang efektif secara filosofis, yuridis, dan sosiologis, sehingga dapat dilaksanakan.
o. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; peraturan perundang-undangan harus memuat aturan yang menjawab kebutuhan masyarakat, memberikan daya guna dan hasil guna.
p. Kejelasan rumusan; bahasa, terminologi, sistematika, yang mudah dimengerti dan tidak multitafsir.
q. Rumusan yang komprehensif; muatan Perda harus dibuat secara holistik dan tidak parsial.
r. Universal dan visioner; muatan peraturan perundang-undangan disusun untuk menjawab persoalan umum dan menjangkau masa depan (futuristik), tidak hanya dibuat untuk mengatasi suatu peristiwa tertentu.
s. Fair trial (peradilan yang fair dan adil); muatan tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus menyediakan mekanisme penegakan hukum yang fair.
t. Membuka kemungkinan koreksi dan evaluasi; setiap peraturan perundang-undangan harus memuat klausul yang memungkinkan peninjauan kembali bagi koreksi dan evaluasi untuk perbaikan.
2.3. Asas formal/ Prinsip-prinsip Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Aksessibilitas dan keterbukaan; proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi perencanaan, persiapan, pembentukan, dan pembahasan harus bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap orang.
b. Akuntabilitas; proses peraturan perundang-undangan harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka yang meliputi: akurasi perencanaan kerja, kinerja lembaga legislatif dan eksekutif, serta pembiayaan.
c. Partisipasi publik; proses pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan kemampuan menangkap aspirasi dan kekhawatiran publik; kecermatan memahami masalah secara akurat; serta kapasitasnya menemukan titik-titik konsensus antara berbagai pengemban kepentingan tentang suatu isu atau permasalahan, termasuk penyediaan mekanisme partisipasi dan pengelolaan aspirasi.
d. Ketersediaan kajian akademik; proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus didahului dengan kajian mendalam atas masalah yang dihadapi atau hal-hal yang hendak diatur, yang biasanya dituangkan dalam bentuk draft akademik.
e.Kekeluargaan; proses pengambilan kesepakatan diupayakan dengan jalan musyawarah.
3. Sumber-Sumber Peraturan perundang-undangan
Sumber secara literal berarti tempat keluar, atau tempat di mana sesuatu itu diambil atau berasal.[7] Jika demikian, sumber pembentuk peraturan perundang-undangan adalah segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, keyakinan, dan lain sebagainya yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan norma-norma hukum yang kemudian diadopsi menjadi muatan peraturan perundang-undangan.
Secara teoritik, sumber peraturan perundang-undangan jika mengacu pada asas hirarkhi adalah bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang di atasnya. Namun demikian, dalam praktiknya, perdebatan dan kerja pembentukan peraturan perundang-undangan bisa mengacu pada segala macam diskursus, keyakinan, agama, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, sebagai konsekuensi sosiologis dan keberagaman yang dimiliki oleh suatu bangsa, berbagai kehendak dan aturan yang bersumber pada keyakinan idiologisnya sah-sah saja menjadi sumber hukum. Akan tetapi semua itu harus mengacu pada konsensus yang telah disepakati dan dijadikan state ground norm, norma dasar negara. Indonesia di awal kemerdekaannya hingga kini telah menyepakati bahwa Pancasila adalah hasil dan produk konsensus nasional yang telah disepakati oleh semua elemen bangsa melintasi batas wilayah, idiologi, agama, suku, dan lain sebagainya.
Sumber peraturan perundang-undangan dengan kata lain bisa disebut dengan landasan peraturan perundang-undangan. Amiroeddin Syarief[8] menyebut tiga kategori landasan:
a. Landasan filosofis, di mana norma-norma yang diadopsi menjadi materi muatan peraturan perundang-undangan mendapat justifikasi atau pembenaran secara filosofis.
b. Landasan sosiologis, di mana rumusan norma-norma hukum mencerminkan kenyataan, keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
c. Landasan yuridis, di mana norma-norma yang tertuang merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang derajat hirarkhinya lebih tinggi. Landasan yuridis dibagi menjadi dua (1) landasan yuridis formal, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang memberi kewenangan kepada organ pembentuknya; dan (2) landasan yuridis materil, yaitu ketentuan-ketentuan hukum tentang masalah atau materi-materi yang harus diatur dalam peraturan perundang-undangan.
3.1. Pancasila
Pancasila merupakan pedoman sekaligus ajaran yang telah diakui dan diyakini sebagai pandangan dan falsafah hidup bangsa Indonesia serta sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara adalah mengikat seluruh tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila itu memberikan arah bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Penegasan di atas mengandung arti bahwa secara idiil tatanan masyarakat Indonesia telah dirumuskan dalam nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila. Posisinya yang demikian kuat, Pancasila menjadi sumber bagi pembentukan peraturan perundang-undangan.
Di samping sebagai sumber, Pancasila juga merupakan instrumen penyaring nilai, norma, dan keyakinan yang lain yang hendak dijadikan peraturan perundang-undangan nasional. Misalnya sebagian orang hendak menyusun peraturan perundang-undangan berdasarkan nilai tertentu, yang bersumber dari agama dan keyakinan tertentu, di sini tugas Pancasila adalah menakar apakah ia sesuai dengan sila-sila Pancasila atau tidak. Jika tidak sesuai maka demi keutuhan nasional dan konsensus, memilih dan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara harus tetap dijaga. Meskipun Pancasila tidak lagi disebut sebagai sumber segala sumber pascalahirnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, karena isi Pancasila melekat dalam UUD 1945 yang menempati hirarkhi teratas peraturan perundang-undangan, maka sesungguhnya Pancasila tetap merupakan dasar dan inspirasi pembangunan hukum nasional.[9]
3.2. Undang-Undang Dasar 1945
Sebagai landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 merupakan norma dasar yang harus dipedomani dalam merumuskan berbagai peraturan perundang-undangan. Ia menempati urutan pertama dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan. Karakter konstitusi di manapun, ia merupakan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara yang menuntut penjabaran lebih lanjut dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang di bawahnya. Di dalam diri UUD 1945 misalnya, terdapat lebih kurang 53 perintah langusng perumusan peraturan perundang-undangan. Karena itu UUD 1945 tidak hanya mendelegasikan pembentukan perundang-udangan, menuntut atribusi, tapi juga menjadi sumber bagi perumusan peraturan perundang-undangan itu.
3.3. Yurisprudensi
Yurisprudensi atau keputusan-keputusan lembaga peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, juga bisa dijadikan sebagai sumber pembentukan peraturan perundang-undangan. Meskipun keputusan hakim itu perlu diuji kebenarannya, akan tetapi secara umum ijtihad-ijtihad (usaha penemuan hukum, rechfinding) yang dilakukan para hakim bisa kemudian dijadikan sumber bagi perumusan peraturan perundang-undangan.
3.4. Hukum Agama
Indonesia memiliki berbagai agama dan kepercayaan. Keberadaan agama-agama dan kepercayaan itu diakui keberadaannya oleh konstitusi. Secara sosiologis ia juga memiliki penganut sendiri-sendiri. Setiap agama memiliki ajaran dan norma yang diyakini dan dipeluk oleh pemeluknya masing-masing. Berbagai nilai kebenaran tersimpan di dalam agama-agama itu. Karena keyakinannya, tak pelak, dalam praktik pembentukan peraturan perundang-undangan, dipastikan dimensi agama akan merasuk di dalam setiap perspektif dan pendapat pada pembuat peraturan perundang-undangan. Namun demikian, karena tidak semua norma agama dapat dikuailfikasi sebagai norma hukum yang diyakini kebenarannya oleh semua orang, maka kalaupun agama menjadi sumber pembentuk peraturan perundang-undangan, ia harus dipastikan tidak memaksakan norma non hukum dijadikan norma hukum.
Pilihan untuk tidak memaksakan norma non hukum yang bersumber dari agama-agama dan kepercayan adalah sebagai konsekuensi politik dan sosiologis berbangsa dan bernegara. Banyak norma hukum yang terkandung di dalam agama-agama yang bisa diadopsi menjadi materi muatan peraturan perundang-undangan, tapi tidak sedikit juga norma non hukum dalam agama-agama dan kepercayaan yang justru lebih mulia dan tetap dipatuhi oleh pemeluknya, dibandingkan jika ia dipaksakan untuk ditampilkan secara formal dalam sebuah kebijakan negara.
3.5. Hukum Adat
Sama dengan agama-agama dan kepercayaan pada uraian di atas, bangsa ini juga memiliki beragama hukum adat yang masih hidup di tengah masyarakat. Hukum adat, kecuali yang sudah menjadi sistem dan diadopsi secara nasional, ia juga tidak bisa semuanya digeneralisir sebagai suatu norma yang dapat ditampilkan di aras publik dan mengikat semua orang. Karena fakta sosiologisnya bangsa Indonesia terdiri dari beragam adat. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan kearifan adat dan nilai serta norma yang dimiliki oleh sebuah komunitas adat dapat diobyektivikasi dan diakui oleh semua orang sehingga ia bisa dikualifikasi sebagai norma hukum, dan kemudian diadopsi menjadi muatan peraturan perundang-undangan.
3.6. Hukum Internasional
Hukum internasional, baik berupa perjanjian internasional, ratifikasi kovenan dan konvensi yang dikeluarkan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau badan internasional lainnya, merupakan sumber atau referensi yang bisa dirujuk dalam merumuskan peraturan perundang-undangan. Bahkan untuk beberapa kovenan dan konvensi yang sudah diratifikasi, sesungguhnya ia telah mengikat secara hukum (legally binding), yang harus dirujuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
[1] Dipresentasikan pada Mata Kuliah Hukum Perundang Undangan, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Jurusan Perbandingan Madzhab Hukum.
[2]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2002, Edisi III, h.70
[3]Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989, Cet. Ke-3, h. 7-11
[4]Amiroedin Sjarif, Op. Cit, h. 78-84
[5]A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I-PELITA IV, Jakarta: Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 1990, h. 330
[6]Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit. h. 197
[7]Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., h. 1102
[8]Amiroeddin Syarief, Op. Cit., h. 91-94
[9]Perdebatan di dalam pembahasan RUU Pembentukan Peraturan Peraturan perundang-undangan, sebelum menjadi UU, Pancasila tidak lagi disebut sebagai sumber segala sumber, karena posisinya sebagai dasar negara jauh lebih agung dibanding jika ia masuk di dalam urutan peraturan perundang-undangan. Jadi bukan berarti Pancasila diabaikan sebagai sumber pembentukan peraturan perundang-undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar