TEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA DENGAN JUJUR DAN BENAR

HUKUM ADALAH KUMPULAN PERATURAN-PERATURAN ATAU KAEDAH-KAEDAH DALAM SUATU KEHIDUPAN BERSAMA : KESELURUHAN PERATURAN TENTANG TINGKAH LAKU YANG BERLAKU DALAM SUATU KEHIDUPAN BERSAMA, YANG DAPAT DIPAKSAKAN DENGAN SUATU SANKSI. (Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH)

Senin, 01 April 2013

ilmu makalah uu

Makalah ESENISAL PERUNDANG-UNDANGAN

Rabu, 14 November 2012




BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Esensial Perundang-Undangan merupakan hakikat atau hal yang pokok dari suatu Perundnag-Undangan atau Peraturan Perundang-Undangan.
Peraturan perundang-undangan sudah menjadi suatu asas hukum atau asas pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi suatu norma hukum. Sebagai suatu norma hukum hal tersebut akan berakibat adanya suatu sanksi apabila asas tersebut tidak terpenuhi atau tidak dilaksanakan.
Maka, ketika pihak yang berwenang akan membuat suatu Peraturan Perundang-Undangan, maka ia harus mengerti bagian-bagian esensial dari Perundang-Undangan tersebut.
B.     RUMUSAN MASALAH
Makalah ini akan membahas permasalahan-permasalahan berikut ini:
1.      Bagian-Bagian esensial dari suatu Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia,
2.      Menjelaskan bagian-bagian esensial tersebut berikut contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Bagian-bagian esensial yang terdapat dalam perundang-undangan adalah sebagai berikut:
A.    Penamaan
Penamaan atau yang biasa disebut dengan judul dalam suatu kerangka perundang-undangan adalah uraian singkat tentang isi peraturan perundang-undangan yang didahului dengan penyebutan jenis, nomor dan tahun pembentukannya, serta kalimat singkat yang mencerminkan isi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan[1]
Penamaan ini selalu ada di setiap peraturan perundang-undangan dan setiap rancangan peraturan perundang-undangan. Biasanya terdiri dari keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengesahan, penetapan, atau pengundangan, dan nama resmi undang-undang yang bersangkutan yang keseluruhan ditulis huruf besar (kapital). Pada rancangan peraturan perundang-undangan, nomor dan tahun pembentukannya tidak dituliskan,
Dalam praktik di berbagai negara, judul undang-undang kadang-kadang terdiri atas judul panjang (long title) dan judul singkat (short title).
Akan tetapi, dalam praktik di Indonesia sejak dulu, biasanya judul undang-undang hanya dibuat pendek. Yang penting judul tersebut mencerminkan substansi undang-undang bersangkutan[2]
Ø  Contoh penamaan pada peraturan perundang-undangan pada umumnya:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Ø  Contoh penamaan pada peraturan perundang-undangan apabila terdapat suatu perubahan:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR
45 TAHUN 2000
TENTANG PEMBENTUKAN IRIAN JAYA
TENGAH, IRIAN JAYA BARAT, KABUPATEN
PANIAI, KABUPATEN MIMIKA, KABUPATEN
PUNCAK JAYA, DAN KOTA SORONG
Ø  Contoh penamaan pada rancangan peraturan perundang-undangan:
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Judul-judul undang-undang ini sangat penting karena menggambarkan isi norma yang diatur di dalamnya.
Panjangnya judul undang-undang dan peraturanperaturan itu dinilai penting oleh para ahli karena dapat:
(i)     menggambarkan keseluruhan isi undang-undang beserta batas-batasnya (a pointer to the subject-matter of the Act and gives an immediate clue what the statute is all about),
(ii)   berfungsi sebagai pedoman dalam memberikan makna atas teks undang-undang (a useful guide in resolving an ambiguity in the Act but will not limit the plain meaning of the text of the Act).
Oleh karena itu, adalah sah pula untuk menggunakan judul yang panjang dalam rangka memahami lingkup keseluruhan materi ataupun dalam rangka menafsirkan sesuatu materi undang- undang atau peraturan perundang-undangan yang bersangkutan[3]
B.     Pembukaan
Pada pokoknya pembukaan itu adalah merupakan kalimat pengantar dimana objek, maksud dan tujuan undang-undang yang bersangkutan dibentuk diuraikan[4]. Biasanya, pembukaan digunakan dalam 4 bidang legislatif, yakni:
(i)     Apabila materi pokok undang-undang tergolong penting secara konstitusional (constitutional importance) atau dari segi internasional dianggap penting (where the subject-matter of the legislation is of constitutional or international importance);
(ii)   Apabila undang-undang yang bersangkutan bersifat formal atau bersifat seremonial untuk menandai sesuatu peristiwa atau kejadian-kejadian yang khusus-khusus dan bersejarah (where the legislation is of a formal or ceremonial character, intented to mark a noteworthy event such as the death of a statesman, a royal visit or the anniversary of an historic occasion);
(iii) Apabila undang-undang yang bersangkutan bersifat privat atau seperti privaat atau pun bersifat “local enactment” untuk mengatasi sesuatu kompleksitas permasalahan yang bersifat lokal (where the legislation is or is akin to a private or local enactment, being intended to remedy an exceptional local problem of such complexity that an explanatory preambule is necessary to an understanding of the Act); dan
(iv) Apabila tujuan pembentukan undang-undang itu dimaksudkan untuk meratifikasi atau memberikan persetujuan atas suatu persetujuan atau perjanjian (where the purpose of the legislation is to ratify or otherwise approve an agreement entered into or intended to be entered into by the Government)[5]
Selain pembukaan dalam arti formal, sesungguhnya, semua judul, yakni berupa judul undang-undang, judul bab, judul bagian, dan/atau judul pasal juga mempunyai fungsi sebagai pembuka rumusan normatif ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam butirbutir kalimat yang dirumuskan.
            Pembukaan suatu perundang-undangan terdiri atas:
a.       Lembaga yang membentuk
Lembaga yang membentuk adalah lembaga negara atau lembaga pemerintah yang berwenang membentuk, mengesahkan, atau menetapkan peraturan perundang-undangan.
Contoh:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.
Lembaga pemerintah yang berwenang ini dituliskan dalam bentuk huruf besar semua (kapital)[6].
b.      Konsiderans
Konsiderans merupakan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan mengapa peraturan perundang-undangan tersebut perlu dibentuk. Dalam konsideran dimuat hal-hal atau pokok-pokok pikiran yang merupakan konstatasi fakta-fakta secara singkat dan yang menggerakkan pembentuk peraturan perundang-undangan  untuk membentuk perundang-undangan tersebut. Konsideran suatu peraturan perundang-undangan dituliskan dengan “Menimbang”. Apabila konsiderans terdiri dari beberapa pertimbangan, maka tiap-tiap pertimbangannya ditulis huruf kecil a, b, c, dan seterusnya serta diakhiri dengan baca titi koma (;)[7].
Konsideran yang terdapat dalam setiap undang-undang, pada pokoknya, berkaitan dengan 5 (lima) landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yang terkandung di dalam undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diatur oleh undang-undang itu. Seperti sudah diuraikan pada bagian lain dari buku ini, bagi setiap norma hukum yang baik selalu dipersyaratkan adanya 5 (lima) landasan keberlakuan. Kelima landasan dimaksud adalah landasan yang bersifat filosofis, sosiologis, politis, dan landasan juridis88, serta landasan yang bersifat administratif. Empat landasan pertama, yaitu landasan filosofis, sosiologis, politis, dan juridis bersifat mutlak, sedangkan satu landasan terakhir, yaitu landasan administratif dapat bersifat fakultatif. Mutlak, artinya, harus selalu ada dalam setiap undang-undang. Sedangkan landasan administratif tidak mutlak harus selalu ada[8].
1)      Landasan filosofis
Dalam konteks kehidupan bernegara, Pancasila sebagai falsafah haruslah tercermin dalam pertimbangan-pertimbangan filosofis yang terkandung di dalam setiap undang-undang. Undang-undang Republik Indonesia tidak boleh melandasi diri berdasarkan falsafah hidup bangsa dan negara lain. Artinya, Pancasila itulah yang menjadi landasan filosofis semua produk undang-undang Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945,
2)      Landasan sosiologis
Maksud dari landasan sosiologis ini adalah setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Gagasan normatif yang dituangkan di dalam perundang-undangan harus sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat sehingga kelak undang-undang tersebut dapat dilaksanakan dengan baik di tengah-tengah masayarakat,
3)      Landasan politis
Yang dimaksud dengan landasan politis dalam hal ini adalah bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan, baik yang tertulis maupun yang hidup dalam konvensi ketatanegaraan dari waktu ke waktu,
4)      Landasar juridis
Landasan juridis dalam perumusan setiap undang-undang haruslah ditempatkan pada bagian Konsideran “Mengingat”. Dalam konsideran mengingat ini harus disusun secara rinci dan tepat. Biasanya, penyebutan undang-undang dalam rangka Konsideran “Mengingat” ini tidak disertai dengan penyebutan nomor pasal ataupun ayat. Penyebutan pasal dan ayat hanya berlaku untuk penyebutan undang-undang dasar saja.
Misalnya, mengingat Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Artinya, undang-undang itu dijadikan dasar juridis dalam konsideran mengingat itu sebagai suatu kesatuan sistem norma,
5)      Landasan administratif
Pembentuk undang-undang tidak menganggap perlu mencantumkan landasan yang bersifat administratif tersebut dalam konsideran secara formal karena dianggap sudah dengan sendirinya telah mendapat perhatian sebagaimana mestinya[9].
c.       Dasar hukum
Dasar hukum suatu peraturan perundang-undangan merupakan suatu landasan yang bersifat yuridis bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
Dasar hukum suatu peraturan perundang-undangan dapat terdiri atas hal-hal sebagai berikut:
Ø  Peraturan atau norma huum yang memberikan kewenangan bagi terbentuknya peraturan perundnag-undangan tersebut, yaitu ketentuan-etentuan dalam UUD 1945.
Contoh:
Pasal 5 ayat (1) yo. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 bagi pembentukan undang-undang,
Ø  Peraturan perundang-undangan lainnya yang setingkat dan erat kaitannya dengan peraturan perundnag-undangan yang dibentuk,
Ø  Ketetapan MPR dapat dipakai sebagai dasar hukum apabila memiliki kaitan yang erat dengan peraturan perundang-undangan yang dibentuk, yakni apabila disebutkan secara tegas tentang pentingnya peraturan perundang-undangan yang akan dibuat tersebut,
Ø  Dasar hukum ini dirumusan secara kronologis sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan,
Ø  Dasar hukum pembentukan peraturan perundnag-undangan ini dituliskan dengan “Mengingat”. Apabila dasar hukum itu lebih dari satu, maka tiap peraturan yang mendasari itu ditulis dengan urutan angka 1, 2, 3, dasn seterusnya serta diakhiri dengan tanda baca titik koma (;)[10].
d.      Memutuskan
Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin.
Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ... (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin[11].
Contoh:
Peraturan Daerah Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
... (nama daerah)
dan
GUBERNUR ... (nama daerah)
MEMUTUSKAN:
e.       Menetapkan
Kata “Menetapkan” dicantumkan sesudah kata “Memutuskan” yang disejajarkan ke bawah dengan kata “Menimbang dan Mengingat”. Huruf awal kata “Menetapkan” ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua. Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan dicantumkan lagi setelah kata “Menetapkan” dan didahului dengan percantuman jenis Peraturan Perundang-undangan tanpa frase Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik[12].
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG
TENTANG PERIMBANGAN K E U A N G A N A N T A R A PEMERINTAH PUSAT DAN D A E R A H
f.       Judul peraturan perundang-undangan
Judul suatu peraturan perundang-undangan adalah kalimat yang diletakan sesudah perkataan “MEMUTUSKAN: Menetapkan:”
Contoh:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.
Judul peraturan perundang-undangan ditulis dengan huruf besar (kapital), dan untuk lebih memudahkan pencarian, judul peraturan perundang-undangan juga dituliskan dalam “Penamaan”
Beberapa ketentuan:
·         Khusus bagi suatu Undang-Undang, sebelum penulisan lembaga yang membentuk, bagian Pembukaannya akan dimulai dengan kalimat yang berbunyi:
“DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”
·         Dalam Pembukaan suatu Undang-undang, setelah penulisan dasar hukum “Mengingat” akan dituliskan kalimat sebagai berikut:
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
·         Bagi peraturan perundang-undangan lainnya, kedua ketentuan di atas tidak berlaku[13].
C.    Batang Tubuh
Batang tubuh suatu peraturan perundang-undangan biasanya dirumuskan dalam pasal-pasal, oleh karena itu, pasal merupakan suatu acauan dalam peraturan perundnag-undangan.
Apabila suatu peraturan perundnagan-undangan itu terlalu luas, maka pasal-pasal tersebut dapat dikelompokkan dalam BAB-BAB, apabila BAB ini terlalu luas pula, maka dapat dibagi ke dalam Paragraf, akan tetapi pembagian ini tak harus dilakukan. Suatu pasal dapat dibagi dalam ayat-ayat, sebaiknya satu ayat hanya mengatur satu hal saja dan sedapat mungkin dirumuskan dalam satu kalimat. Penulisan suatu pasal yang pendek lebih baik dari pada penulisan suatu pasal yang terdiri atas banyak ayat, kecuali bila materi dalam ayat tersebut merupakan suatu kesatuan[14]
            Dengan demikian, struktur isi undang-undang dapat pula tersusun sebagai berikut:
Bagian Pertama (judul)
Bab I (judul)
Pasal 1
Ayat (1)
Huruf a
(i)
(ii)
Bab II (judul)
Pasal 20
Ayat (1)
Ayat (2)
Huruf a
Huruf b
(i)
(ii)
Bagian Kedua (judul)
Bab VI (judul)
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf a
(i)
(ii)[15]
Batang tubuh suatu peraturan perundang-undangan dapat disusun sebagai berikut:
1.      Ketentuan Umum
Ketentuan Umum suatu peraturan perundnag-undangan diletakkan pada Bab yang pertama atau dalam pasal-pasal pertama apabila peraturan perundang-undangan tersebut tidak diadakan pengelompokan.
Isi yang terkandung di dalam Ketentuan Umum  tidak hanya terbatas kepada pengertian-pengertian operasional istilah-istilah yang dipakai seperti yang biasa dipraktikkan selama ini, namun seharusnya termuat pula hal-hal lain yang bersifat umum, seperti pengantar, pembukaan, atau “preambule” undang-undang. Akan tetapi, telah menjadi kelaziman atau kebiasaan sejak dulu bahwa setiap undang-undang selalu didahului oleh “Ketentuan Umum” yang berisi pengertian atas istilah-istilah yang dipakai dalam undang- undang yang bersangkutan[16].
Fungsi dari Ketentuan Umum ini mirip seperti “Definition Clause” di negara lain.
Adanya Ketentuan Umum ini dirasa sangat penting sebagai alat perlengkapan bagi Perancang undang-undang.
Urutan penempatan Ketentuan Umum adalah sebagai berikut:
a.       Pengertian yang memiliki lingkup umum diletakkan terlebih dahulu dari pada yang memiliki lingkup khusus,
b.      Materi yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan di dalam urutan lebih dahulu,
c.       Pengertian yang memiliki kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan[17].
2.      Ketentuan Materi yang Diatur
Kelompok ini ditulis setelah Ketentuan Umum. Ketentuan Materi yang Diatur tersebut pembagiannya tergantung pada luas atau tidaknya materi masing-masing peraturan perundang-undangan. Apabila dalam Ketentuan Umum tidak ada pengelompokan Bab, maka Ketentuan Materi yang Diatur diletakkan setelah pasal Ketentuan Umum.
Contoh:
a.       Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
(1)   Kejahatan terhadap keamanan negara;
(2)   Kejahatan terhadap martabat presiden;
(3)   Kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;
(4)   Kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
(5)   Kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya.
b.      Pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
c.       Pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda[18]
3.      Ketentuan Pidana
Ketentuan Pidana ini merupakan ketentuan yang tidak mutlak ada dalam peraturan perundang-undangan. Kadang-kadang ketentuan pidana ini diperlukan, tetapi kadang-kadang hal ini tidak diperlukan bagi suatu peraturan perundang-undangan[19].
Letak Penempatan Ketentuan Pidana ada sebelum Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup. Jika Bab Ketentuan Peralihan tidak ada, maka penempatannya ada sebelum Bab Ketentuan Penutup. Jika di dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diatur berdasarkan Bab-Bab, maka Ketentuan Pidana ditempatkan dalam pasal langsung sebelum pasal Ketentuan Peralihan, jika tidak ada pasal yang berisi Ketentuan Peralihan, maka diletakkan sebelum pasal yang berisi tentang Ketentuan Penutup.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Ketentuan Pidana antara lain sebagai berikut:
1.      Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut Peraturan Perundangundangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)[20].
2.      Ketentuan Pidana hanya dirumuskan di dalam Undang-Undang dan dalam Peraturan Pemeritah berdasarkan suatu Undang-Undang,
3.      Dirumuskan dengan jelas, tegas, dan cermat. Karena Ketentuan Pidana ini berkaitan erat dengan kepastian hukum bagi seseorang. Dalam hal ini, sanksi pidana harus jelas perumusannya. Entah itu bersifat Kumulatif, Alternatif, atau bahkan keduanya.
Contoh:
Kumulatif        : … dikenakan pidana … dan denda …
Alternatif        : … dikenakan pidana … atau denda …
Keduanya        : … dikenakan pidana … dan/atau denda …[21]
Rumusan Ketentuan Pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal yang memuat norma tersebut. Maka perlu sekiranya untuk menghindari:
a.       Pengacuan pada ketentuan pidana Peraturan Perundang-Undangan lain,
b.      Mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika unsur atau elemen norma yang diacu tidak sama,
c.       Penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat pada norma-norma yang diatur dalam norma-norma sebelumnya, kecuali untuk Undang-Undang Tindak Pidana Khusus[22].
Bagi tindak pidana yang dilakukan oleh suatu badan hukum, perseroan, yayasan, atau suatu perserikatan lainnya, harus dijelaskan apakah sanksi pidana tersebut diberikan pada:
a.       Badan hukum perseroan, yayasan, atau perserikatan tersebut, atau
b.      Mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana itu, atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian, atau
c.       Kedua-duanya[23]
Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap orang.
Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi[24].
4.      Ketentuan Peralihan
Ketentuan Peralihan adalah ketentuan yang berisi norma peralihan yang berfungsi mengatasi kemungkinan terjadinya kekosongan hukum sebagai akibat peralihan normatif dari ketentuan lama ke ketentuan baru[25].
Ketentuan peralihan dimuat dalam bab ketentuan peralihan dan ditempatkan di antara bab ketentuan pidana dan bab Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab, pasal yang memuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal yang memuat ketentuan penutup[26].
Secara garis besar, Ketentuan Peralihan meliputi:
a.       Ketentuan-ketentuan tentang penerapan Peraturan Perundang-undangan baru terhadap keadaan yang terdapat pada waktu Peraturan Perundang-undangan yang baru ini mulai berlaku;
b.      Ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan baru itu secara berangsur-angsur;
c.       Ketentuan-ketentuan tentang penyimpangan untuk sementara waktu dari Peraturan Perundang-undangan baru itu, ketentuan penyimpangan ini juga berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan;
d.      Ketentuan-ketentuan tentang aturan khusus bagi keadaan atau hubungan yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan baru itu.
Ketentuan Peralihan pada huruf a di atas sifatnya tetap, sedangkan ketentuan-ketentuan dalam huruf b, c, dan d sifatnya sementara. Ketentuan Peralihan ini terkadang diperlukan, tapi terkadang juga tidak diperlukan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan[27].
5.      Ketentuan Penutup
Ketentuan Penutup merupakan bagian terakhir Batang Tubuh suatu Peraturan Perundang-Undangan, yang biasanya berisi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a.       Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang diikutsertakan dalam melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan berupa:
1)      Pelaksanaan sesuatu yang bersifat menjalankan (eksekutif),
2)      Pelaksanaan sesuatu yang bersifat mengatur (legislatif),
b.      Ketentuan tentang pemberian nama singkat (citeer titel) atau judul kutipan pada suatu Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan.
Hal ini diperlukan apabila judul Peraturan Perundang-Undangan tersebut terlalu panjang.
Contoh:
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosiste,nya, dalam Ketentuan Penutupnya diberikan suatu judul kutipan yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 44
“Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Konservasi Hayati”
c.       Ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, Ketentuan berlakunya suatu Peraturan Perundang-Undangan dapat melalui cara-cara sebagai berikut:
1)      Bila tidak ditentukan lain, Peraturan Perundang-Undangan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
2)      Dapat ditentukan oleh Peraturan Perundang-Undangan itu sendiri.
3)      Ketentuan tentang pengaruh Peraturan Perundang-Undangan yang baru terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang lain[28]
Ketentuan Penutup berbeda dari Kalimat Penutup. Dalam undang-undang, yang biasanya dirumuskan sebagai Ketentuan Penutup adalah ketentuan yang berkenaan dengan pernyataan mulai berlakunya undangundang atau mulai pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang.
Contoh:
Ketentuan Penutup dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dirumuskan dalam Bab VIII Pasal 88 yang berbunyi, “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Sedangkan dalam UU No. 10 Tahun 2004, Ketentuan Penutup dirumuskan dalam Bab XIII yang terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 56, 57, dan 58[29].
D.    Penutup
Penutup merupakan bagian akhir dari suatu Peraturan Perundang-Undangan. Penutup ini memuat hal-hal sebagai berikut:
a.       Rumusan perintah pengundangan yang berbunyi:
“Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”.
b.      Keterangan tentang tanggal pengesahan atau penetapan dan penandatanganan pejabat[30]. Biasanya memuat:
1)      Tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
2)      Nama jabatan;
3)      Tanda tangan pejabat, dan
4)      Nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat[31].
Sesudah Penutup, dicantumkan pula keterangan tentang pengundangan dan keterangan tentang Lembaga Negara yang mengundangkan Peraturan Perundang-Undangan tersebut. Untuk undang-undang, maka pejabat yang mengesahkan adalah Presiden Republik Indonesia, sedangkan pejabat yang mengundangkan adalah menteri yang ditugasi untuk itu. Sekarang, menteri yang mengundangkan peraturan perundang-undangan adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
BAB III
KESIMPULAN
Yang menjadi esensial dalam suatu Peraturan Perundang-Undangan atau Perundang-Undangan meliputi:
1.      Penamaan
Bisa juga disebut sebagai “Judul” yang merupakan uraian singkat tentang isi peraturan perundang-undangan yang didahului dengan penyebutan jenis, nomor dan tahun pembentukannya, serta kalimat singkat yang mencerminkan isi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
2.      Pembukaan
Merupakan kalimat pengantar dimana objek, maksud dan tujuan undang-undang yang bersangkutan dibentuk diuraikan. Biasanya digunakan dalam empat bidang legislatif. Terdiri atas; lembaga yang membentuk, konsiderans, dasar hukum, memutuskan, menetapkan, judul peraturan perundang-undangan.
3.      Batang Tubuh
Biasanya dirumuskan dalam pasal-pasal dengan susunan; Ketentuan umum, ketentuan materi yang diatur, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
4.      Penutup
Berbeda dengan “Ketentuan Penutup”, penutup yang merupakan bagian paling akhir dalam suatu perundang-undangan ini berisi tentang; Rumusan perintah pengundangan, keterangan tentang tanggal pengesahan atau penetapan dan penandatanganan pejabat.
DAFTAR PUSTAKA
·         Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, Jakarta; Kanisius, 1998
·         DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma
·         DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan


[1] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta; Kanisius, 1998) hal.158
[2] DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma, hal.161
[3] Idiom, hal.166-167
[4] Idiom, hal.167
[5] Idiom, hal.168
[6] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta; Kanisius, 1998) hal.159
[7] Idiom, hal.159-160
[8] DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma, hal.169-170
[9] Idiom, hal.170-174
[10]  Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta; Kanisius, 1998) hal.160-161
[11] DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan, hal.16
[12] Idiom, hal.17
[13] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta; Kanisius, 1998) hal.161
[14] Idiom, hal.162-163
[15] DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma, hal.178
[16] Idiom, hal.179
[17] DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan, hal.36
[18] Idiom, hal.37
[19] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta; Kanisius, 1998) hal.163
[20] DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan, hal.39
[21] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta; Kanisius, 1998) hal.164
[22] DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan, hal.41
[23] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta; Kanisius, 1998) hal.164
[24] DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan, hal.42
[25] DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma, hal.187
[26] DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan, hal.43
[27] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta; Kanisius, 1998) hal.165
[28] Idiom, hal.165-167
[29] DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma, hal.190
[30] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta; Kanisius, 1998) hal.167
[31] DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan, hal.58
CATATAN:
Saya hanya sebagian kecil dari Mahasiswi yang menunaikan kewajiban saya untuk mengerjakan tugas, salah satunya adalah tugas ini. Jadi, apabila ada kesalahan mohon dimaafkan karena keterbatasan referensi yang saya punya. ARIGATO GOZAIMASU... ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar